Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Tuna Rasa, Bukan Tuna Susila

11 Mei 2015   08:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:10 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_365356" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]

Ketika ada seorang bawahan yang melampaui kewenangan atasannya, ini disebut sebagai 'Tuna Rasa' bukan 'Tuna Susila'. Ketika ada seorang bawahan menyinggung privasi atasannya juga di sebut sebagai 'Tuna Rasa' bukan 'Tuna Susila.' Demikian juga, ketika ada seorang teman yang tidak merasa sudah menyakiti teman lainnya, juga disebut sebagai 'Tuna Rasa' bukan 'Tuna Susila'. Apalagi kalo ada seorang yang tidak punya kewenangan lalu bikin aturan sendiri, ini pun namanya 'Tuna Rasa', bukan 'Tuna Susila.' Tapi, saya kurang yakin kalo ada orang yang senengnya merintah tapi nggak mau diperintah juga disebut sebagai 'Tuna Rasa', ato bukannya 'Tuna Susila' ?.

Jika ada seorang teman pengennya dapat pengakuan dari atasan, dengan menjatuhkan nama baik teman lainnya, ini namanya 'Tuna Rasa' bukan 'Tuna Susila'. Demikian juga kalo ada teman yang seneng melihat temannya susah, dan susah melihat temannya seneng, ini namanya 'Tuna Rasa' bukan 'Tuna Susila'. Jika ada teman hobinya cari kesalahan orang dan lupa dengan kekurangan sendiri juga bisa dibilang 'Tuna Rasa' bukan 'Tuna Susila'. Bahkan kalo ada teman gak mau berterimakasih karena sudah ditolong, bahkan meremehkan teman yang menolongnya itu pantas ia memiliki 'Tuna Rasa' bukan 'Tuna Susila'. Tapi, saya nggak yakin kalo ada seorang ibu lebih mentingin pekerjaan dari pada anak-anaknya bisa disebut sebagai 'Tuna Rasa', ... bukannya 'Tuna Susila ??!!!.

Paragraf sisnisme diatas terinspirasi dari beberapa pengalaman kita sehari-hari yang mencoba 'menumpulkan diri sendiri' (kata yg lebih halus dar kata 'bunuh diri'), sebagai seorang yang ingin benar-benar 'Tuna Rasa.' Dengan menjadikan dirinya 'Tuna Rasa' ini, mungkin ia berharap dapat menghilangkan trauma mental akibat masa lalunya yang begitu pedih. Hal ini dilakukan agar dirinya tidak mengalami 'kelumpuhan mental' akibat trauma tersebut, sekaligus mencari jalan untuk menutupi penderitaannya selama ini, meski hanya sementara.

Namun, perlu diwaspadai bahwa 'Tuna Rasa' karena kondisi kerja yang menekan dan bikin stress tersebut, akan menjerumuskan kita pada Tuna-tuna berikutnya. Tuna berikutnya setelah 'Tuna Rasa' adalah 'Tuna Susila.' Ketika  'Tuna rasa' ini meningkat menjadi 'Tuna Susila', maka kita tidak lagi memiliki kemampuan mengontrol, apakah sikap dan perilaku kita itu bernilai kebenaran atau tidak. Bermoral atau tidak, bahkan kita tak lagi mengenal apakah sikap dan perilaku kita itu membuat orang sakit hati atau tidak.

Dalam literatur filsafat, 'rasa' itu bukanlah semata-mata 'emosi'. Emosi adalah bagian dari rasa, namun lebih kecil dan lebih sempit ruang lingkupnya. Sementara, rasa itu selalu mengandung emosi, namun lebih kaya dan lebih luas jangkauannya. Ketika orang menyamakan keduanya, maka mereka bagaikan menyamakan bukit di kaki gunung Semeru dengan gunung Semeru itu sendiri.

Rasa di dalam diri manusia mampu menangkap totalitas dari realitas, dan kemudian mengekspresikannya secara indah dengan cara-cara estetik maupun puitik yang seringkali melampaui rasionalitas dan kesempitan bahasa itu sendiri. Oleh karena itu agar kita tidak terjangkiti penyakit 'Tuna Rasa', maka kita perlu untuk mendalami estetika, supaya kita mampu memahami kerumitan serta kekayaan dunia, menghargainya, dan mengekspresikan kehidupan ini dengan cara-cara yang indah.

Ketika rasa tidak lagi ada dalam diri kita, maka yang tersisa hanya kekumuhan, kejahatan, dan kedangkalan hidup yang menjangkiti kehidupan kita. Situasi ketanpa-rasa-an, atau 'Tuna rasa' inilah yang perlu untuk kita lampaui, dan jangan dibiarkan tumbuh dalam hati dan pikiran kita.

Banyaknya konflik disekitar kita, ternyata karena hubungan antar mereka tidak menggunakan rasa. Jadi, tidak heran jika pertemanan dan pergaulan kita kering dan tandus dari 'rasa'. Untung dan rugi menjadi dasar dari hubungan antar manusia. Ketika rugi lebih besar dari pada untung, hubungan pun terputus, serta potensi untuk terjadinya konflik pun semakin besar. Jika setiap orang menggunakan rasa dalam membangun hubungan dengan orang lainnya, perhitungan untung rugi pun menjadi relatif, dan kita bisa sungguh menemukan makna di dalam hubungan kita dengan orang lain.

Kondisi seperti ini telah menyiksa hidup kita sehari-hari, menciptakan perang antar tetangga, menjadikan lingkungan pertemanan dan keluarga sebagai tempat yang tak layak lagi untuk ditinggali. Oleh karena itu, sudah saatnya, kita bergerak melampaui krisis rasa ini. Hidup manusia tidak akan pernah utuh dan bermakna, jika ia tidak mengasah rasanya untuk memahami kekayaan realitas, dan menggunakan rasa untuk menghargai keindahan hidup bersama dengan orang lain. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 11 Mei 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun