Oleh. Purwalodra
[caption id="attachment_356078" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]
Dalam status BB teman, siang ini, tertulis kalimat Darwis Tere Liye begini, "seseorang yang kita lupakan boleh jadi yang mengingat kita paling banyak, seseorang yang kita sakiti boleh jadi yang memikirkan kita paling sering." Kalimat ini mengisyaratkan kita bahwa manusia tidak mampu melepas begitu saja masa lalunya. Perlu ada proses panjang dan metode sistemik untuk melupakan masa lalu yang begitu menyakitkan. Selain itu juga, dibutuhkan jiwa besar untuk tidak menganggap masa lalu sebagai suatu kenyataan, dan sebuah peristiwa yang sudah 'basi'. Namun, meskipun belum ada penelitian mendalam, pengen sih tahu berapa prosentase rata-rata kaum perempuan atau laki-laki yang mampu melupakan masa lalunya dengan elegan ?.
Kesiapan manusia untuk mengalir dengan kejadian-kejadian tidak semudah diucapkan. Ia membutuhkan mental baja, skaligus stamina psikhis yang prima. Hilangnya orang-orang terkasih, atau dustanya orang-orang yang dicinta merupakan peristiwa hidup sehari-hari yang sulit dibuang ke laut. Bagai batu karang yang tidak pernah hancur oleh hempasan ombak di pantai. Masa lalu begitu kuat dan mengerikan.
Ketika masa lalu mencekik kita, maka hati akan selalu terluka. Air mata menetes tanpa daya. Hidup terasa begitu sepi. Keluarga dan teman diam tersembunyi. Itulah situasi batin orang-orang yang terluka. Hidup menggiring kita ke ujung nestapa. Tak ada teman seperjalanan yang menguatkan. Yang ada adalah butir-butir kenangan akan pengkhianatan.
Seorang filsuf kontemporer terkemuka asal Slovenia, Slavoj Zizek, pernah menyatakan, bahwa hidup berasal dari katastrofi, atau bencana besar. Alam semesta bermula dari ledakan besar. Orang lahir ke dunia melalui penderitaan sang ibu. Cinta bukanlah gula kehidupan, namun justru sumber dari rasa sendu.
Maka orang perlu untuk melihat guncangan hidup sebagai bentuk kelahiran dari "yang lain". Bahkan segala sesuatu yang di sekitar kita sekarang ini bermula dari sebuah bencana raksasa yang menimpa penguasa dunia sebelumnya, yakni dinosaurus. Maka guncangan bukanlah bagian dari kehidupan, melainkan justru kehidupan itu sendiri.
Para pahlawan adalah mereka yang terluka. Medan perang menempa mereka. Luka tubuh adalah buktinya. Luka adalah simbol dari kepahlawanan yang perkasa. Hal ini berlaku pula untuk luka mental kita. Kekecewaan dan penderitaan mental adalah simbol dari kepahlawanan jiwa. Orang perlu menyadari dan merawat luka itu dengan setia. Luka mental tidak boleh dilupakan, melainkan justru diterima dengan lapang dada.
Banyak orang takut akan lukanya. Lalu mereka tenggelam dalam hiburan semu, mulai dari alkohol, seks bebas, dan narkoba. Luka kita tidak jadi memperkaya, melainkan sesuatu yang berlalu tanpa makna. Buah dari semua itu adalah kedangkalan hidup di dunia. Oleh karena itu, luka mental tidak pernah boleh dilupakan. Sayatan batin adalah simbol dari keperkasaan jiwa. Orang perlu melihatnya sebagai koleksi yang membanggakan. Penderitaan dan kekecewaan adalah piala-piala tanda keagungan jiwa.
Luka adalah kesempatan, dan krisis adalah peluang. Keduanya adalah peluang untuk menunjukkan, siapa kita sesungguhnya. Terlebih krisis adalah kesempatan untuk berbuat baik. Kita seringkali melihat kekecewaan sebagai kerugian. Padahal kekecewaan adalah kesempatan untuk memaafkan. Kekecewaan adalah waktu yang tepat untuk berbuat baik. Kekecewaan adalah kesempatan bagi kita untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan kita. Kekecewaan, penderitaan, dan krisis bukanlah bumbu kehidupan, melainkan justru esensi dari kehidupan itu sendiri. Dari semua arguemen ini, "mungkinkan aku akan selalu menyakitimu, agar kamu sering-sering mengingatku !" Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 18 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H