"Manusia tidak bisa dikorbankan, sekalipun atas nama Tuhan"
M. Eko Purwanto
Ibadah Qurban yang dilaksanakan setiap bulan Dzulhijjah, bermula dari risalah Nabi Ibrahim As dan putranya Ismail. Peristiwa ini memiliki hikmah besar dalam kehidupan manusia di muka bumi ini. Ketaqwaan Ibrahim dan putranya Ismail, adalah contoh yang sangat nyata dan berharga bagi ummat manusia saat ini dan masa yang akan datang, dan ini merupakan kepentingan Allah Swt untuk memanusiakan manusia, dan senantiasa menyelaraskan kepentingan-Nya untuk memuliakan manusia sebagai makhluknya.
Al-Qur'an menggambarkan bahwa ketika dua orang ayah dan anak kekasih Allah Swt itu telah siap melaksanakan Qurban sesuai dengan perintah-Nya, dimana Nabi Ibrahim As. telah siap dengan pisaunya dan Ismail telah membaringkan diri dengan penuh keberserahan kepada Allah Swt, ternyata tanpa di duga Allah Swt berseru kepada Ibrahim As, agar Qurbannya diganti dengan seekor domba (QS. Ash Shafat: 103-107). Maka yang kemudian terjadi bahwa di satu sisi perintah Qurban terlaksana dengan baik dan pada waktu yang bersamaan yang menjadi Qurban bukanlah seorang manusia yang bernama Ismail, yakni seekor domba."
Pesan spiritual di balik sejarah pelaksanaan Qurban tersebut, mungkin perlu diajukan pertanyaan kritis-filosofis: "Mengapa Allah Swt MERALAT sebagian perintah-Nya dalam pelaksanaan Qurban yang sudah pasti akan dilaksanakan oleh Ibrahim terhadap putranya Ismail tersebut ?" Padahal, jika Allah Swt tidak meralat perintah-Nya, Ibrahim dan Ismail pasti akan melaksanakan perintah Qurban itu apa adanya.
Kemudian, Kalau saja pada saat itu, Ibrahim menyembelih putranya Ismail sebagai Qurban atas perintah Allah Swt, maka sudah bisa dipastikan bahwa generasi berikutnya akan memahaminya bahwa Ismail adalah obyek Qurban atas nama perintah Allah Swt (agama). Peristiwa ini mengandung pesan spiritual yang luar biasa besar, bahwa kepentingan Allah Swt untuk memanusiakan manusia memang sungguh nyata. Dan kalau boleh kita tegaskan tentang pesan spiritual kepada seluruh manusia yang disampaikan Allah Swt melalui risalah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail, adalah bahwa manusia tidak boleh diqurbankan sekalipun atas nama Tuhan (agama).
Ketika kita memahami bahwa manusia tidak boleh diqurbankan sekalipun atas nama agama, apalagi hanya sekedar atas nama ... atas nama yang lain. Setinggi apapun tujuan dan kepentingan dalam kehidupan ini (baik individual, organisasi/ perusahaan, bahkan Negara) tidak boleh terjadi peristiwa dimana manusia menjadi korban atas kepentingan individual, lembaga/organisasi/perusahaan, maupun Negara. Spirit kearifan seperti inilah sebenarnya yang hendak ditanamkan oleh Islam melalui syariat Qurban.
Kita sama-sama melihat kenyataan bahwa sejak zaman perbudakan, revolusi industri sampai kejayaan kapitalisme saat ini, manusia seakan-akan sudah menjadi tumbal bagi kemajuan sebuah sistem yang mereka bangun. Manusia-manusia di muka bumi ini tidak lebih dari sebuah komoditas yang diperdagangkan dan kemudian dikorbankan, sebagai tumbal atas nama revolusi atau atas nama, atas nama lainnya. Masih ingatkah kita tentang peristiwa Reformasi tahun 1997-1998 lalu ? berapa banyak manusia yang menjadi korban dari sebuah perubahan sistem politik dan kenegaraan di Indonesia. Lalu apakah setelah perubahan atas nama reformasi itu, manusia tidak lagi menjadi korban dari sistem yang dibuatnya sendiri ?. Lagi, lagi, dan lagi ... manusia selalu dikorbankan atas nama, atas nama yang lain di negri ini.
Pertanyaaan terakhir, kapan kita berhenti menjalani siklus ‘pengorbanan' manusia atas manusia di seluruh muka bumi ini ?. Jawaban pertama, adalah ketika kita mampu memaknai pesan spiritual qurban ini secara universal, dan jawaban kedua, adalah hanya Allah Swt yang mengetahuinya. Wallahu ‘Alam Bisshawwab.
Bekasi, 25 Oktober 2010.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H