Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membebaskan Hati

7 Maret 2015   09:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:02 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14256959652128917656

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_354379" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]

Sudah seminggu ini darah-rendahku kumat, alias tekanan darah menurun sampai 90/60. Semangat untuk beraktivitas menjadi menurun drastis .. tis .. tis .. tiiiis. Bawaaannya cuma perasaan kecewa dan pengen marah aja. Ditambah lagi dengan kondisi pikiran yang masih labil, dengan berbagai tuntutan yang belum bisa terpenuhi dengan segera. Sementara tugas-tugas konseptual yang harus selesai cepat sedang menungguku dibalik tumpukan berkas di beberapa sudut ruangan. Sekarang aku berada dalam tegangan antara kegelisahan dan kecemasan.

Kondisi tersebut mengawali tulisan ini untuk sekedar melepas belenggu yang diam-diam mengikat diriku sendiri saat ini, lantaran beberapa tujuan jangka pendek yang kumiliki, tiba-tiba berubah menjadi ambisi. Sementara, meskipun belum bisa dikatakan sebagai suatu kegagalan, beberapa usaha yang sudah kujalani nyata-nyata menemui jalan buntung ... eh, buntu.

Kita ketahui bersama, bahwa manusia selalu memiliki tujuan hidup. Tujuan ini yang memaksa kita tidur malam-malam, bangun pagi-pagi, bekerja dan beraktivitas lainnya. Tentu, ketika kita tidak memiliki tujuan plus tidak memiliki semangat hidup, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada diri kita. Hidup kita menjadi hampa, tanpa tujuan. Syukurlah bahwa yang menjadikan kita memiliki semangat hidup sampai hari ini adalah tujuan kita. Kita bisa bergerak, bekerja dan beraktivitas tidak lain dan tidak bukan, karena di hati dan benak kita masih tertanam tujuan.

Tujuan yang menguat lalu mengkristal menjadi semangat hidup biasanya berubah menjadi ambisi. Dengan ambisi yang kita miliki maka kita memiliki semangat untuk mencapai ambisi kita itu dengan semua daya dan kemampuan yang ada. Boleh jadi ambisi yang akan kita capai ini dilumuri oleh berbagai cara yang kurang etis atau melanggar nilai-nilai yang berlaku umum. Tapi, ambisi memang tidak mengenal nilai-nilai. Bagi ambisi yang penting tercapai. Titik.

Dalam memperjuangkan ambisi, kita sering terjebak dalam suatu tegangan antara kecemasan dan kegelisahan hidup. Karena, setiap ambisi menuntut pemenuhan meskipun dengan cara-cara tidak halal. Boleh jadi, kecemasan dan kegelisahan hidup inilah yang memicu tindakan-tindakan yang tidak bernilai atau tidak sewajarnya. Kecemasan dan kegelisahan yang menjadi fondasi dari ambisi ini juga yang menjadi awal dari keterpenjaraan jiwa kita. Ditambah lagi dengan ketidakpastian akan usaha yang kita jalani. Dengan demikian, Ketidakpastian ini juga membuat tegangan di dalam diri kita menjadi semakin besar.

Mengingat bahwa dalam setiap keputusan kita, selalu ada dua kemungkinan, yakni : gagal atau berhasil. Maka keberhasilan adalah subuah kemungkinan. Ia bukanlah kemutlakkan, bahkan jika kita telah mengupayakan segala cara untuk mencapainya. Kegagalan juga suatu kemungkinan nyata. Namun, kegagalan akan terus menghantui setiap usaha kita. Ia tak bisa disangkal, walaupun kita mengupayakan segala cara untuk menjauhinya.

Ada satu cerita kecil dari Cina Kuno. Ketika seorang pemanah memanah tanpa kepentingan dan emosi, ia memiliki kemampuan tertingginya. Kemungkinan besar, ia akan berhasil. Ketika ia memanah untuk memenangkan pertandingan, kemampuannya menurun seperempat. Kemungkinan besar, ia akan gagal memanah targetnya, ketika ia memanah untuk mendapatkan hadiah emas dan permata, bahkan ia kehilangan seluruh kemampuannya. Dalam kondisi semacam ini, maka kegagalan adalah sebuah kepastian.

Cerita singkat tersebut merupakan kiasan tentang kebebasan yang kita miliki di dalam hati kita. Pelajaran dari cerita tersebut juga menggambarkan bahwa kita tetap wajib berikhtiar alias berusaha, meski hasilnya tidak bisa kita tentukan kepastiannya. Jika perlu, kita wajib berusaha tanpa emosi dan obsesi untuk keberhasilan di masa depan. Kita wajib berusaha, tanpa terpaku pada hasil yang akan dicapainya di masa depan. Dengan kata lain, kita sudah semestinya berusaha dengan kebebasan hati kita.

"Kegagalan" adalah sebuah "kata". Kegagalan adalah label yang kita tempelkan pada suatu peristiwa. Ia bukanlah kenyataan itu sendiri. Ia adalah tempelan pikiran kita atas pengalaman tertentu. Begitu pula dengan "keberhasilan". Ia juga adalah "kata". Ia juga adalah label. Ia bukanlah kenyataan dan ia akan berubah, sejalan dengan perubahan manusia dan masyarakat.

Keduanya sementara dan semu. Keduanya akan berubah. Keduanya akan datang, dan kemudian pergi. Ketika kita menjadikan keberhasilan ataupun kegagalan sebagai tujuan, sekaligus obsesi dalam hidup kita, berarti kita menjalani hidup yang palsu. Sebenarnya, hidup kita bukanlah tentang berhasil atau gagal. Ia bukanlah perlombaan. Ia bukanlah pertempuran. Ia bukanlah pengejaran ambisi. Ia bukanlah usaha untuk menghindari kegagalan atau mencapai keberhasilan/kesuksesan.

Kita tidak boleh hanya berfokus pada gagal dan sukses saja. Semuanya adalah semu dan palsu. Kita perlu belajar untuk melihat apa yang lebih kekal dan lebih dalam dari kegagalan atau keberhasilan itu sendiri. Kita perlu untuk "melampaui" kegagalan dan keberhasilan itu.

Sekarang, mari kita sama-sama melihat ke dalam diri kita. Apa yang kekal dan menjadi pembebas dari kehidupan di antara percikan kegagalan dan keberhasilan tersebut ?. Tentu saja, yang kekal adalah kebebasan hati kita. Kita sudah semestinya bisa menyadari perjalanan hidup kita sendiri, lalu mencapai kebebasan di dalam hati. Kebebasan inilah yang membuat kita tidak lagi memilih antara berhasil atau gagal. Kita juga tidak lagi memilih sakit atau senang, kaya atau miskin. Kita bebas dari obsesi dan ambisi, sambil terus berikhtiar mengisi hidup kita dengan hal-hal yang bermakna. Disinilah kebahagiaan kita tiba-tiba berwujud, karena kebahagiaan berada diatas derita dan kesenangan, diatas berlimpahnya harta dan kemiskinan, serta diatas keberhasilan dan kegagalan. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 07 Maret 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun