Oleh. Purwalodra
[caption id="attachment_332272" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]
Banyak yang bilang, kalo pikiran kita sempit, maka hidup ini menjadi sesempit pikiran kita. Ketika pikiran kita meluas, maka luas pulalah kehidupan kita. Kita nggak sadar kalo setiap hari hidup kita telah disempitkan. Penyempitan fikiran ini bisa berasal dari luar maupun dari diri kita sendiri. Dalam pergaulan, interaksi di kantor maupun di komunitas yang kita ikuti, penyempitan makna kehidupan ini menyempit, seakan mencekik leher kita. Gejala ini dapat kita lihat di semua bidang kehidupan, mulai dari pendidikan, politik, sampai dengan seni.
Dalam dunia politik, pemaknaannya disempitkan sehingga menjadi pengejaran kekuasaan. Partai-partai politik didirikan bukan untuk meningkatkan performa politik dalam rangka mensejahterakan rakyat, namun keberadaannya justru untuk membagi-bagi kekuasaan. Kesepakatan-kesepakatan politik dibangun hanya untuk membuat proyek-proyek baru yang penuh dengan konspirasi.
Dunia politik juga disempitkan dengan menciptakan berbagai kesempatan untuk menumpuk uang. Kita berlomba-lomba menjadi anggota DPR dan DPRD bukan untuk mengabdi, melainkan mencoba-coba membuat jaringan dan celah guna mengeruk uang negara untuk kepentingan pribadi maupun partainya. Pada saat menjadi kepala daerah, kitapun berusaha untuk mendapatkan proyek dan tender, guna menumpuk kekayaan lebih banyak lagi, paling tidak untuk melunasi pinjaman biaya kampanye politik sebelumnya.
Karenanya, ketika politik disempitkan semata menjadi pengejaran kekuasaan dan kesempatan untuk menumpuk uang, masalah besar muncul. Politik tidak lebih dari persoalan tata-kelola masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip yang bisa dipertanggungjawabkan bersama. Ketika politik tidak berjalan, tata-kelola masyarakat pun tidak berjalan, dan semua urusan akan berantakan.
Begitu pula dalam dunia pendidikan kita juga mengalami penyempitan. Pendidikan kita disempitkan menjadi semata-mata latihan untuk berhasil dalam tes ato ujian. Murid dibombardir dengan latihan tes terus menerus, terutama menjelang UN. Metode menghafal dan memuntahkan kembali menjadi yang utama, dan, sejalan dengan itu, membunuh kreativitas dan orisinalitas berpikir anak.
Pendidikan juga disempitkan menjadi semata-mata mengulang apa yang dikatakan oleh guru. Dalam arti ini, pendidikan telah berubah menjadi perbudakan pikiran. Pikiran yang kreatif dan orisinil dianggap pemberontak, maka harus didisiplinkan dan dihukum. Pada akhirnya, anak-anak menjadi robot yang patuh, tanpa kemampuan kritis dan kreativitas berpikir.
Padahal sejatinya, pendidikan adalah pembebasan anak dari kebodohan dan kemiskinan. Pendidikan juga adalah proses penyadaran anak atas situasi sekitarnya, dan mengajaknya untuk mengambil sikap yang tepat atas berbagai situasi itu. Dalam arti ini, pendidikan adalah pembentukan proses berpikir manusia untuk secara cerdas dan tepat menanggapi situasi kehidupannya. Pemahaman inilah yang terlupakan dari dunia pendidikan kita.
Selanjutnya di bidang bisnis juga mengalami penyempitan yang tidak kalah mengerikan. Bisnis semata-mata disempitkan menjadi proses untuk mengumpulkan keuntungan semata, jika perlu dengan cara-cara yang tidak halal. Padahal, bisnis adalah soal tata-kelola untuk menciptakan produk-produk yang bermutu, maupun pelayanan-pelayanan yang baik kepada masyarakat. Di dalam bisnis, keuntungan adalah akibat logis dari sebuah kualitas, dan bukan tujuan utama. Keuntungan bisnis juga disempitkan menjadi pengelolaan anggaran yang ketat, kalo perlu karyawan dikorbankan untuk hal-hal yang bersifat investasi, demi ekspansi usaha dalam meraup keuntungan yang lebih besar.
Di bidang Agama pun demikian, konteks keber-Agama-an kita mengalami penyempitan sehingga menjadi semata-mata kumpulan aturan, larangan, dan ritual semata. Saat ini, Agama kehilangan spiritualitasnya yang justru menjadi lambang kesucian dan hubungan manusia dengan yang transenden itu sendiri. Padahal, Imam Ja'far Ash-Shadiq ra, pernah mengatakan bahwa 'jika anda ingin mengetahui kedalaman agama seseorang, janganlah lihat dari betapa banyaknya ia Shalat, Puasa dan Tadarus, melainkan lihatlah bagaimana ia memperlakukan orang lain.'
Begitupun, dalam hal kepemimpinan di berbagai bidang saat ini disempitkan menjadi semata-mata soal kerapihan administrasi. Kemampuan pemimpin untuk memotivasi dan memberikan inspirasi ke arah tujuan-tujuan yang baik telah hilang, dan digantikan dengan semata-mata dengan soal pemberian tanda tangan, dan kerapihan dokumen semata, serta kedisiplinan masuk kerja tepat pada waktunya.
Semua penyempitan-penyempitan ini, merupakan tanda-tanda pembunuhan akal sehat kita. Yaitu, akal sehat kita mengetahui, bahwa ada yang salah. Namun, karena kita merasa tak berdaya untuk memperbaiki kesalahan, maka kita pun beradaptasi. Akal sehat kita melemah, dan kini telah menyesuaikan dengan penyimpangan-penyimpangan yang ada. Inilah yang oleh Hannah Arendt dibilang sebagai banalitas kejahatan, yakni kejahatan yang tak lagi dilihat sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang "biasa-biasa saja".
Akhirnya, mau-tidak-mau, ato suka-tidak-suka kita membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir revolusioner, yakni orang-orang yang berani menggugat dan mempertanyakan segala sesuatu yang ada, menemukan kelemahan di dalamnya, dan berjuang untuk menambal kelemahan-kelemahan itu, atau mengubah seluruh tatanan yang ada, supaya lebih baik untuk semua orang. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 31 Oktober 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H