Begitupun, dalam hal kepemimpinan di berbagai bidang saat ini disempitkan menjadi semata-mata soal kerapihan administrasi. Kemampuan pemimpin untuk memotivasi dan memberikan inspirasi ke arah tujuan-tujuan yang baik telah hilang, dan digantikan dengan semata-mata dengan soal pemberian tanda tangan, dan kerapihan dokumen semata, serta kedisiplinan masuk kerja tepat pada waktunya.
Semua penyempitan-penyempitan ini, merupakan tanda-tanda pembunuhan akal sehat kita. Yaitu, akal sehat kita mengetahui, bahwa ada yang salah. Namun, karena kita merasa tak berdaya untuk memperbaiki kesalahan, maka kita pun beradaptasi. Akal sehat kita melemah, dan kini telah menyesuaikan dengan penyimpangan-penyimpangan yang ada. Inilah yang oleh Hannah Arendt dibilang sebagai banalitas kejahatan, yakni kejahatan yang tak lagi dilihat sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang "biasa-biasa saja".
Akhirnya, mau-tidak-mau, ato suka-tidak-suka kita membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir revolusioner, yakni orang-orang yang berani menggugat dan mempertanyakan segala sesuatu yang ada, menemukan kelemahan di dalamnya, dan berjuang untuk menambal kelemahan-kelemahan itu, atau mengubah seluruh tatanan yang ada, supaya lebih baik untuk semua orang. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 31 Oktober 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H