Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyempitkan Makna Kehidupan

31 Oktober 2014   15:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:04 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitupun, dalam hal kepemimpinan di berbagai bidang saat ini disempitkan menjadi semata-mata soal kerapihan administrasi. Kemampuan pemimpin untuk memotivasi dan memberikan inspirasi ke arah tujuan-tujuan yang baik telah hilang, dan digantikan dengan semata-mata dengan soal pemberian tanda tangan, dan kerapihan dokumen semata, serta kedisiplinan masuk kerja tepat pada waktunya.

Semua penyempitan-penyempitan ini, merupakan tanda-tanda pembunuhan akal sehat kita. Yaitu, akal sehat kita mengetahui, bahwa ada yang salah. Namun, karena kita merasa tak berdaya untuk memperbaiki kesalahan, maka kita pun beradaptasi. Akal sehat kita melemah, dan kini telah menyesuaikan dengan penyimpangan-penyimpangan yang ada. Inilah yang oleh Hannah Arendt dibilang sebagai banalitas kejahatan, yakni kejahatan yang tak lagi dilihat sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang "biasa-biasa saja".

Akhirnya, mau-tidak-mau, ato suka-tidak-suka kita membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir revolusioner, yakni orang-orang yang berani menggugat dan mempertanyakan segala sesuatu yang ada, menemukan kelemahan di dalamnya, dan berjuang untuk menambal kelemahan-kelemahan itu, atau mengubah seluruh tatanan yang ada, supaya lebih baik untuk semua orang. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 31 Oktober 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun