Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menembus Batas-batas Pikiran

28 November 2014   23:56 Diperbarui: 17 Oktober 2017   14:32 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Sebagian Penulis tentu sangat yakin, bahwa ide menulis ada dimana-mana, kapan saja dan tak terbatas jumlahnya. Ide tulisan, tidak bersifat positip atau negatif, ide tulisan itu netral. Oleh karena itu, ide tulisan, tidak bisa dihakimi dan tidak bisa menghakimi, tidak bisa dinilai baik-buruknya, bahkan ide tulisan adalah lautan tak bertepi. Ide tulisan adalah fikiran kita sendiri, lebih jauh lagi, ide tulisan adalah diri kita sendiri. Descartes bulang, aku ada Karena aku berfikir, aku berfikir karena aku ada.

Munculnya sebuah ide, karena indra kita bekerja. Para pakar, mengatakan bahwa alam sekitar yang dipantau alat indera, informasi bacaan, atau proses  responsif di ranah otak memantik hal-hal baru, yang kalau dimatangkan menjadi tulisan.

Ide menulis, yang jumlahnya tidak terbatas, datang kapan saja, dan ada dimana-mana itu, tidak akan menjadi alasan untuk mengatakan bahwa kita kehilangan ide dan kekurangan ide. Yang sering terjadi adalah kita diganggu oleh fikiran kita, yang tidak mampu memilih-memilah, mana ide yang akan ditumpahkan. Fikiran kita memagarinya dengan sangat kuat. Pagar besi pikiran itu mulai dari pemilihan kata (diksi) yang tepat, sampai teori-teori penulisan yang njlimet. Faktor yang dianggap klasik, adalah tidak adanya kemauan untuk menulis dan persepsi tentang menulis itu sendiri.

Setiap teman, yang kutemui, berkeinginan kuat untuk menulis, apalagi tulisannya mendapat penghargaan dari orang lain, dimuat di media massa lagi. Menjadi penulis adalah mimpi semua orang. Apalagi kalau teman-teman saya mendengar, bahwa dengan menulis akan mendatangkan penghasilan besar. "Wuuuih ?", buru-buru cari komputer dan menulis. Aneh bin ajaib, ketika sampai di depan komputer, duduk manis sambil menarik nafas panjang, seketika itu juga, ide menulispun hilang bersama hembusan nafas panjang tersebut.

Menimbang dan seterusnya, memperhatikan dan seterusnya, memutuskan, menetapkan dan seterusnya, bahwa sumber ide itu tak terbilang. Ketika melihat sesuatu akan muncul ide, apa yang kita lihat. Ketika kita mendengar sesuatu, muncul ide, apa yang kita dengar. Ketika kita merasakan sesuatu, muncul ide, apa yang kita rasakan. Ketika kita mencium sesuatu, muncul ide, apa yang kita baui. Ketika semua itu dijadikan tulisan, bisa muncul ide di atas ide. Proses kegiatan operasional otak yang dibarengi bagian-bagian raga, juga sentuhan perasaaan dan naluri, adalah sumber ide.

Kemudian, kenapa kita nggak bisa menulis ide tersebut. Padahal tinggal nuangin aja di dalam kata-kata, gitu aja kok repot. Tapi, kenyataannya memang kata-kata yang lahir dari sebuah ide, seketika membeku, dingin bagai es batu. Sulit tumpah. Menunggu kata-kata itu mencair, mungkin baru bisa dituang di layar komputer. Namun, pengalaman seperti ini menjadi sesuatu yang biasa bagi sebagian besar kita, yang hasratnya menggebu-gebu menulis. Lantas, kita meringkuk sendirian di penjara pikiran, dan mimpi-mimpi indah menjadi penulis hanya menggumpal di batok kepala kita yang keras. Keruh, tidak jernih lagi. Buntu, tidak ada lagi jalan lurus.

Kalau saja kita mampu sedikit menemukan jalan keluar, mungkin nggak ada jalan lain, kecuali terus menulis, menulis dan menulis. Nulis apa aja, yang penting menulis. Tetapi, coba saya hitung, siapa-siapa saja yang mampu menjalaninya, tanpa rekasa, memaksa, terpaksa dan nelangsa ?. Sepertinya, buah meng-kudu rekasa, meng-kudu maksa, meng-kudu nelangsa, dan satu lagi meng-kudu bisa, harus dimakan mentah-mentah, supaya sehat dan kuat gituuu lhooo ?. Nemu aja lagi, ya ?.

Ayo, sekarang, siapa yang bisa menulis, ketika anak-anak merengek minta dipijitin, istri uring-uringan gara-gara melupakan makan malam, tagihan telepon membengkak, tagihan-tagihan hutang dah jatuh tempo, nggak punya duit lagi, nggak berani ngangkat HP. Trus, tagihan listrik sejak bulan lalu nunggak, teman-teman dikantor tidak bersahabat, motor dah tiga bulan blom bayar pajak, Ortu butuh biaya berobat, teman yang menghutangiku SMS balik ke HP saya, yang berisi kalimat tentang janji saya mau melunasi pinjaman hari ini, uang kursus anak blom kebayar, tulisan yang dikirim ke media massa nggak ada balasan, tabungan cuma ada saldo 70 rebu, capek deeech ?. Masih satu paragraf lagi kalau ditulis disini. Saya nggak tahu, ini masalah internal apa masalah eksternal. Kalau dibilang masalah eksternal, pikiran saya kok jadi mumet. kalau saya anggap masalah internal, ya memang ini terjadi pada diri saya, bukan masalah tetangga saya.

Ujung-ujungnya, nanya sama teman saya, yang sudah jadi pejabat teras, "gimana ya, kok jadi begini ?". Teman saya bilang, "Nggak tahu ?". Tapi saya pengen bisa menulis, meskipun masalah-malasah ini tetap eksis ?

"Coba gunain jiwa, kalau menulis." kata teman saya.

"Gimana, gunainnya, sementara saya belum berteman dengan, nyang mana daripada jiwa."

"Semua, yang kamu sebut masalah, datang dari pikiranmu sendiri. Jadi, gimana kalau dilupain dulu."

"Mana bisa, atuh !, aya-aya wae kang ?"

"Harus bisa ! kalau nggak bisa, silahkan aja hidup dalam lumpur penderitaan !"

"Jadi, gimana dooong ?"

"Lupakan semua, yang ada di kepalamu, pikiran yang menjadi masalahmu. Trus, jadikan dirimu tenang, semakin tenang, semakin banyak tenang, dan tenang sepenuhnya !"

"Jangan, menghipnotis begitu, dong ?"

"Ya, sudah, kalau nggak mau dihipnotis !"

"Oke, oke, aku mau, sepertinya nikmat juga, dihipnotis. He .. he .. he .. ?"

"Oke, siap !" perintahnya.

"Siap, kang ?" jawabku, yakin.

"Pertama-tama, pejamkan mata, hembuskan nafas, sampai habis dari bibir yang sedikit di monyongin. Biar udaranya sedikit-sedikit keluarnya. Kalau sudah, tarik pelan-pelan udara di depanmu, pake lubang hidung, masukkan ke dalam diafragma, dibawah paru-parumu, sampai penuh. Kemudian, keluarin pelan-pelan juga, udara yang tadi ada di bawah paru-parumu, sampai habis. Lakukan ini, minimal tiga kali aja." Ia menjelaskannya dengan detil.

"....... oke, sudah." Semangatku

"Sekarang, ulangi lagi pernafasan tadi, sampai tiga kali, mainkan pikiranmu, seakan-akan kamu sedang menulis di depan komputer, terus lakukan sampai kamu menemukan ide untuk menulis lagi."

Dengan khusuk, aku menikmati nafas yang keluar-masuk dalam paru-paruku. Ketenangan, kedamaian menyelimuti ruang dan waktuku. Dalam pikiran yang mulai damai, tergambar jelas, saya sedang menulis di depan komputer, dan menyelesaikan satu tulisan. Aku menjadi bangga dengan tulisan saya sendiri. Dan ketika ide menulis saya muncul, tersadar, mata kembali terbuka, teman saya itupun nggak tahu lagi, ada dimana. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 28 November 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun