Oleh. Purwalodra
[caption id="attachment_350733" align="alignright" width="300" caption="Foto Koleksi Pribadi"][/caption]
Sudah seharusnya saya berfikir untuk tidak selalu menerima tantangan atau tugas yang menuntut banyak konsekuensi, khususnya waktu, tenaga dan biaya. Karena ketika pekerjaan yang sudah menyentuh batas waktu penyelesaian, maka akan berakibat fatal untuk pekerjaan-pekerjaan lainnya. Selain itu, ketenangan juga akan sulit diperoleh ketika ada beberapa tugas yang belum bisa terselesaikan. Apalagi pekerjaan tersebut bersifat konseptual yang menurut pandangan orang awam sangat mudah dilakukan. Tapi, bukankan pekerjaan otak ini bisa mengakibatkan orang stress dan penuh tekanan alias depresi ?.
Bagi orang yang tidak pernah membuat konsep, biasanya menganggap mudah karena kerjanya cuma mikir, trus dibuat tulisan dech. Padahal tidak semudah orang mengira demikian. Semua konsep harus memiliki referensi yang jelas dan rasional, serta sesuai dengan apa yang akan dirumuskan. Namun, ironisnya, ketika seorang yang memang ahli ngonsep mengatakan bahwa membuat konsep itu mudah dilakukan, Â tiba-tiba dikemudian hari ia tak lagi mudah membuat separagraf pun konsep. Ternyata, apapun profesinya, apapun pekerjaan yang dilakukan, ketika kesombongan sudah berada di ubun-ubun, kok ndilalah ada saja halangannya.
Sebenarnya saya tidak percaya dunia mistis, apalagi klenik, namun saya sering dibikin heran gak ketulungan, ketika keyakinan saya berada dipuncak maka disinilah saya harus menuai kegagalan. Dugaan saya sementara adalah, karena adanya kesombongan dan ego yang begitu besar pada diri saya, serta sikap meremehkan suatu masalah, yang membuat saya lupa diri dan tak mampu menakar kemampuan ideal yang saya miliki. Akhirnya, kemampuan apapun yang kita miliki akan menjadi sia-sia tanpa penghormatan pada kemampuan-kemampun yang belum kita miliki. Artinya, kita tidak boleh sombong dengan apa yang kita miliki dan tidak boleh meremehkan orang lain yang tidak memiliki kemampuan seperti kita.
Dalam interaksi sehari-hari, baik dengan teman-teman sekantor maupun keluarga di rumah, kita sering juga dihadapkan kepada hal-hal di luar nalar kita sendiri. Ketika kita 'merasa bisa' melakukan sesuatu pekerjaan atau tugas-tugas tertentu, maka hasilnya justru tidak optimal. Namun, pada saat kita 'bisa merasa' bahwa pekerjaan atau tugas-tugas tersebut membutuhkan perhatian yang serius dan membutuhkan sumber daya untuk menyelesaikannya, biasanya tugas tersebut rampung dengan maksimal. Lagi-lagi bahwa meremehkan persoalan akan melipatgandakan persoalan tersebut menjadi masalah yang tidak mampu kita pecahkan.
Dalam konteks pengambilan keputusan, kita sudah semestinya berpihak kepada orang-orang yang 'Bisa merasa', dari pada orang-orang yang 'Merasa bisa.' Bergaul dengan orang-orang yang 'merasa bisa' dalam jangka panjang, justru akan membunuh diri kita sendiri, karena sikapnya yang tidak mau mengerti orang lain dan tidak mau menjadi murid bagi siapapun. Orang yang 'merasa bisa' akan cenderung menilai dirinya sendiri merasa benar, tanpa peduli bahwa orang lain belum tentu salah. Orang-orang seperti ini berpenampilan sempurna, seakan-akan tanpa cela. Namun, seiring dengan waktu dan intensitas interaksi, semua cela akan muncul dengan sendirinya.
Akhirnya, orang-orang yang 'bisa merasa' akan lebih mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dan lebih memahami masalah yang dihadapinya. Sehingga, orang yang 'bisa merasa' akan lebih mudah memecahkan masalahnya, dibanding dengan orang-orang yang 'merasa bisa'. Saran saya begini, jauhi orang-orang yang 'merasa bisa' dan dekati orang-orang yang 'bisa merasa'. Karena, ketika kita bekerja dengan orang yang 'bisa merasa', kita merasa ada difikiran dan hatinya. Namun, ketika kita bekerja dengan orang yang 'merasa bisa', jangan ditanya dech, pasti sakitnya bukan cuma disini !, tapi dimana-mana ... !!!. Â Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 12 Februari 2015.