Oleh. Purwalodra
[caption id="attachment_350850" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]
Sesampai di tanah air, selepas menunaikan Umroh selama beberapa hari di akhir Januari 2015. Satu-satu saya mencoba merenungi kembali apa saja do'a yang sempat kupanjatkan kepada Allah Swt. Dan dalam tausiyah singkat yang saya sampaikan kepada teman-teman Jama'ah Umroh, ketika masih berada di dalam bus menuju Bandara Jeddah, saya sedikit memberi saran begini, "lupakan apa yang kita minta pada Allah di Baitullah ini, jangan diingat-ingat lagi apa yang menjadi do'a-do'a kita selama di Madinah dan Mekkah." Bahkan saya katakan, "mulailah dengan lembaran baru dalam hidup ini, yang memungkinkan kita hidup lebih baik, lebih sejahtera, penuh cinta dan keindahan, serta bermanfaat buat orang banyak di tanah air nanti."
Saya berani mengatakan hal itu karena saya kuatir, kita semua berharap dan kemudian kecewa, lalu menyalahkan Tuhan. Padahal mereka berdo'a di tempat-tempat yang sangat mustajab, seperti di Raudhoh (Masjid Nabawi), di Multazam (antara Hajar Aswad sampai pintu Ka'bah), di Hijir Ismail dan tempat-tempat lainnya. Padahal menurut saya, perasaan syukur dan perilaku ikhlas kitalah, yang setiap saat kita lakukan, juga merupakan do'a yang sangat mustajab.
Do'a adalah sebuah komunikasi dengan Tuhan. Namun ada bermacam bentuk komunikasi. Ada yang berupa kata atau ucapan. Ada yang berupa simbol, seperti tatapan, sentuhan, gumaman, dan sebagainya. Atau bahkan berupa perasaan syukur atas apa yang sudah atau belum kita miliki, dan perilaku ikhlas setiap waktu, setiap hari.
Bentuk komunikasi paling sempurna dengan Tuhan adalah, ketika manusia menyatu dengan Tuhan dalam bentuk kesatuan kosmik yang menciptakan ketenangan sempurna. Pola berdoa tertinggi semacam ini biasa disebut sebagai pola berdo'anya para mistikus-eksistensialis. Disebut mistikus karena ia tidak mencari kenikmatan harta benda ataupun prestasi, melainkan kesatuan dengan Tuhan. Disebut eksistensialis karena ia menyerahkan seluruh keberadaan dirinya sebagai manusia dalam kesatuan dengan Tuhan. Di dalam pola berdoa semacam ini, iman dan kata menyatu di dalam keheningan. Inilah kedamaian sempurna. Inilah doa yang sejati menurutnya.
Menurut saya, setidaknya ada tiga tipe berdo'a. Yang pertama adalah berdo'a ala pengemis. Pola berdoa pengemis mencerminkan mentalitas pengemis yang selalu meminta, tetapi tidak pernah sungguh berdo'a. Polanya serupa yakni anda meminta kepada Tuhan. Jika diberikan anda akan bersyukur. Jika tidak diberikan anda akan mengeluh dan marah kepada Tuhan. Sementara anda sibuk berdo'a, potensi di dalam diri anda untuk bekerja dan berusaha tidak terpakai. Mirip pengemis yang meminta tanpa berusaha semaksimal mungkin, anda mengemis kepada Tuhan. Inilah pola berdoa pengemis. Inilah pola berdoa yang penuh dengan kata/ucapan, namun miskin dengan makna.
Pola berdoa kedua, yang lebih menunjukkan kedalaman penghayatan ke-iman-an adalah apa yang saya sebut sebagai pola berdoa seorang pujangga. Seorang pujangga adalah seorang 'pendekar kata' yang menciptakan kata-kata indah untuk memberikan penghargaan pada apa yang dianggapnya indah. Seorang pendo'a yang berpola pujangga akan mensyukuri apapun yang diterimanya sehari-hari dari Tuhan.
Seorang pujangga tidak pernah mengeluh. Dia selalu menciptakan kata-kata indah untuk memuji Tuhan, apapun yang dialaminya. Inilah mental seorang pujangga. Hidupnya dipenuhi keindahan. Tidak ada kata-kata jahat keluar dari mulutnya, karena ia melihat keindahan di dalam segala sesuatu, termasuk pada hal-hal yang tampak begitu jahat sekalipun.
Kemudian, pola berdoa ala mistikus eksistensialis ini tidak memiliki kata, namun dengan penuh makna mendengar dan bertatapan dengan Tuhan di dalam setiap peristiwa kehidupan. Komunikasi paling agung adalah komunikasi dalam diam, dalam pengertian, dan bukan dengan 'gempuran' kata-kata, apalagi meminta seperti pengemis. Caranya cukup sederhana yakni biasakan dia menghayati kehidupannya.
Akirnya, berdo'a dengan perasaan syukur dan ikhlas dalam menjalani kehidupan sehari-hari, merupakan do'a mustajab yang penting kita lestarikan. Mensyukuri yang kita miliki maupun belum, mensyukuri yang nampak maupun yang belum kita tahu; mensyukuri masa lalu dan masa depan. Semua do'a ini paling tidak mengiringi langkah-langkah kecil kita saat ini, untuk bisa menghayati momen-momen terindah yang selalu hadir pada 'saat ini' yang abadi.
Bekasi, 13 Februari 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H