Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Deritamu Ada di Sudut Candamu

26 Februari 2015   15:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:29 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_353008" align="alignright" width="323" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]

Entah mengapa setiap saya melihat orang-orang yang sedang tertawa dengan membuli orang lain,  saya melihat begitu banyak penderitaan disana. Demikian juga, orang-orang menyulitkan orang lain, biasanya yang bersangkutanpun sedang dalam kesulitan. Apalagi mereka yang selalu merasa paling benar sendiri, orang-orang ini sudah pasti memiliki penderitaan yang begitu dalam. Semua penderitaan manusia ini bersumber pada kekosongan bathin. Bathin yang kosong inilah akar dari seluruh kejahatan di muka bumi.

Hampir setiap orang di era hedonis saat ini merasakan sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Mereka merasa, bahwa mereka tidak dapat hidup, jika tidak mendapat pengakuan dari orang lain. Mereka merasa, bahwa mereka tidak bisa bahagia, jika tidak memiliki uang banyak untuk membeli barang-barang. Perasaan kurang semacam ini menghantui begitu banyak orang, hampir sepanjang hidupnya. Uang yang dulunya sebagai alat tukar dan barang-barang mewah, menjadi tuhan-tuhan kecil yang disembah di mana-mana oleh siapapun.

Kekosongan bathin manusia yang coba diisi dengan sesuatu di luar dirinya, semakin membuat bathinnya kering. Tak heran jika narkoba, seks, agama, mistik dan konsumtivisme menjadi alternatif untuk mengisi kekosongan bathin mereka. Namun, semuanya tetap tak bisa mengisi kekosongan bathin yang ada. Penderitaan pun berlanjut.

Ketika keadaan telah menjadi sedemikian rumit, orang-orang yang bathinnya kosong tak segan menyakiti orang lain. Untuk mempertahankan gaya hidup konsumtif, sebagai pelarian dari kekosongan bathin yang dirasakan, orang bersedia korupsi. Bahkan, orang bersedia membunuh orang lain, supaya ia bisa merasakan kepuasan sementara. Dunia pun dipenuhi dengan orang-orang yang menderita secara batiniah, dan kemudian saling menyakiti satu sama lain. Semuanya hidup dalam kesalahpahaman mendasar, bahwa mereka bisa mendapatkan kepenuhan hidup dengan mencari kepuasaan dari benda-benda di luar dirinya.

Selanjutnya, salah satu racun paling mematikan dari filsafat barat adalah pandangan, bahwa manusia adalah mahluk individualistik yang terpisah dari manusia lainnya, dan juga terpisah dari alam. Pandangan ini menyebar begitu luas ke berbagai negara di dunia melalui proses kolonisasi/penjajahan di masa lalu, dan proses globalisasi di masa sekarang. Media cetak dan elektronik (terutama internet) berperan besar di dalam menyebarkan pandangan ini.

Dalam kekosongan bathin, orang bisa saja menjajah dan menguasai orang lainnya. Namun, ia tetap akan merasa menderita di dalam hatinya. Pemahaman keterpisahan manusia mendorong orang masuk ke dalam kesepian dan kekosongan batin yang lebih dalam, walaupun ia memiliki uang, kekuasaan, nama besar dan beragam barang mewah lainnya.

Mungkin saja, jalan keluar dari derita kekosongan bathin ini sebenarnya sederhana, yakni kita harus mulai melihat ke dalam diri kita sendiri, dan mencoba menemukan kepenuhan hidup disana. Kita harus berhenti mencoba mengisi kekosongan batin kita dengan hal-hal eksternal, seperti uang, nama besar, barang-barang dan kenikmatan-kenikmatan lainnya. Ketika kita menengok ke dalam, kita akan menyadari, siapa diri kita sebenarnya. Di dalam proses menyadari diri kita yang sejati, kita pun lalu akan sampai pada kesadaran, bahwa segala hal di alam semesta ini adalah kesatuan dari jaringan yang tak terpisahkan dan membentuk sebuah sistem.

Kita dan orang lain adalah satu. Kita dan alam adalah satu. Penderitaan mereka adalah penderitaan kita sendiri. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kita sendiri. Pemahaman ini tidak boleh hanya menjadi pemahaman intelektual semata. Ia harus sungguh menjadi bagian dari kesadaran kita sehari-hari. Ketika kita bertindak dari kesadaran mendasar, bahwa apa yang kita cari sudah selalu tertanam di dalam diri kita sendiri, dan bahwa segala hal di dunia ini adalah satu kesatuan dan saling terhubung satu sama lain, maka segala yang kita alami dan lakukan akan selalu bisa membantu diri kita sendiri dan orang lain. Di dalam kesenangan, tindakan kita akan membantu diri kita, orang lain, semua mahluk hidup dan alam sebagai keseluruhan. Bahkan di dalam penderitaan dan kesedihan berat, tindakan kita juga bisa membantu mereka semua.

Kesalahpahaman kita terhadap hidup dan kehidupan ini hanya menciptakan penderitaan di dalam hati kita. Ketika hati kita menderita, kita pun lalu dengan mudah menyakiti orang lain. Kita juga dengan mudah menghancurkan kehidupan lain dan alam ini, demi pemuasan sementara kita. Akhirnya, saya cuma mau bilang, "jangan tunjukkan deritamu disudut tawamu yang membahana !." Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 26 Februari 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun