Setelah dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) kemudian mengumumkan nama-nama Menteri pada 26 Oktober 2014 silam. Sehari setelahnya, Presiden Jokowi melantik dan mengambil sumpah para anggota Kabinet. Kabinet yang dibentuk diberi nama Kabinet Kerja dan terdiri dari tiga puluh empat Menteri, termasuk empat Menteri Koordinator (Menko). JIka dicermati, ada hal-hal menarik, unik dan khas Jokowi yang bisa disaksikan publik saat ia mengumumkan dan melantik para Menteri. Memanfaatkan dua momentum tadi, Presiden Jokowi menyampaikan beberapa pesan simbolik untuk menegaskan visi, orientasi dan karakter Kabinet Kerja yang ia bentuk. Karena itu, untuk memahami visi, arah dan orientasi Presiden Jokowi, mesti pula mengerti pesan-pesan simbolik yang kerap ia sampaikan. Fokus tulisan ini adalah menangkap pesan-pesan simbolik ala Jokowi dan berupaya memahami makna di baliknya. Lantas, apa saja pesan simbolik ala Jokowi?
Pertama, saat mengumumkan dan memperkenalkan para Menteri ke hadapan publik, Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan seluruh anggota Kabinet Kerja mengenakan kemeja putih polos lengan panjang. Ini tak lazim, mengingat pada era-era sebelumnya para Menteri selalu memakai setelan jas, mengenakan dasi dan berkebaya. Dengan mengenakan kemeja putih polos seharga Rp. 100.000,00 hingga 120.000,00, Jokowi menegaskan bahwa kabinetnya adalah kabinet sederhana. Bandingkan dengan harga setelan jas pria atau kebaya wanita yang bisa berharga jutaan rupiah. Lewat cara ini, Jokowi ingin menularkan semangat hidup sederhana pada para pembantunya. Dengan itu diharapkan Menteri bisa solider, bersimpati, bahkan berempati pada kehidupan sederhana mayoritas rakyat Indonesia. Ini cara Jokowi mengajarkan pejabat untuk merasakan penderitaan rakyat, sekaligus mendekatkan pejabat pada rakyat dengan meniadakan jarak antara keduanya. Bagi Jokowi, pejabat tak perlu tampil mewah dan keren dalam busana. Yang utama, pejabat bisa bekerja sekeren mungkin untuk mempersembahkan “kemewahan” bagi rakyat. “Kemewahan” yang dimaksud adalah meningkatkan taraf-kualitas hidup rakyat dalam berbagai bidang, mulai dari kesehatan, pendidikan, kesejahteraan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan sebagainya.
Kedua, kemeja lengan panjang putih yang dikenakan para Menteri tidak dibiarkan memanjang hingga pergelangan tangan, melainkan digulung sebagiannya. Ini menyiratkan pesan bahwa Jokowi-JK dan jajaran Kabinet Kerja siap menyingsingkan lengan baju untuk turun tangan bekerja demi kemajuan-kesejahteraan rakyat Indonesia. Pesan ini juga dialamatkan kepada rakyat. Rakyat diharapkan tidak saja berpangku tangan, tapi berpartisipasi aktif, bahu-membahu, bergotong-royong, bersinergi bersama pemerintah membangun bangsa. Itu pula sebabnya kabinet Jokowi-JK diberi nama Kabinet Kerja. Kerja untuk rakyat adalah fokus dan orientasi utama kabinet ini. Presiden Jokowi hendak menekankan pada para pembantunya bahwa rakyat adalah tuan yang harus dilayani, sementara pemerintah adalah pelayan publik. Sebagai pelayan, pemerintah harus memberikan layanan berkualitas prima pada rakyat karena sejatinya, jabatan dan kekuasaan adalah sarana untuk melayani publik. Pola kerja Jokowi adalah turun langsung (blusukan) ke pusat-pusat persoalan publik. Dengan cara itu, Jokowi dan para Menteri bisa secara langsung mendengarkan keluhan, jeritan, aspirasi serta berkomunikasi langsung dengan rakyat. Dengan berdialog langsung, Jokowi juga bisa menimba solusi dari rakyat. Jika selama ini persoalan-persoalan publik hanya dibicarakan oleh elit, sementara rakyat jarang didengarkan dan diajak bicara, kini Jokowi mengajak rakyat untuk bersama-sama membicarakan, bahkan mencari solusi bagi persoalan yang dihadapi. Kerja ala Presiden Jokowi adalah kerja yang melibatkan partisipasi publik dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Disiplin, kerja keras, kerja cerdas, kreatif-inovatif adalah modal dasar kesuksesan kerja kabinet Jokowi.
Ketiga, ketika disebutkan namanya oleh Presiden Jokowi, para Menteri berlari, bukan berjalan, saat menuju tempat yang telah disediakan. Aksi lari para Menteri mengandung makna bahwa Jokowi mengharuskan para pembantunya untuk bekerja cepat, tidak lamban, tidak menunda atau mengulur waktu untuk membereskan persoalan masyarakat. Mengingat demikian banyaknya masalah bangsa, butuh waktu cepat dalam bekerja. Jokowi melecut para Menterinya agar bekerja gesit, cepat dan cekatan. Semangat Jokowi “Kerja, kerja dan kerja” secara cepat sejalan dengan semangat Wapres JK yang identik dengan tag line “Lebih Cepat, Lebih Baik” (Faster, Better). Agar unggul dalam kompetisi, termasuk persaingan antarnegara, dibutuhkan sejumlah keunggulan dan keutamaan. Charles Darwin mengintrodusir konsep “Survival of the Fittest”. Namun, seiring pesatnya perkembangan dunia dan cepatnya kemajuan teknologi komunikasi-informasi, untuk bisa unggul dalam persaingan global, gagasan Charles Darwin perlu diperkaya dengan ide “Survival of the Fastest”. Yang bisa lebih cepat akan unggul. Kendati mengutamakan kecepatan dalam bekerja, Jokowi-JK tetap menekankan pentingnya kecermatan, ketelitian dan kualitas hasil kerja. Kerja cepat penting, tapi harus tepat dan akurat.
Keempat, warna kemeja putih mengandung arti kabinet harus bersih dari mentalitas korup dan perilaku koruptif. Krisis multi-dimensional yang dialami Indonesia utamanya disebabkan karena proses penyelenggaraan negara dijalankan secara koruptif. Korupsi menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa hingga mengantar bangsa menuju ambang kehancuran. Presiden Jokowi yakin kabinet bersih adalah modal utamanya untuk membebaskan Indonesia dari berbagai persoalan bangsa. Dengan kabinet bersih, kerja-kerja Kabinet akan mendapat dukungan dan kepercayaan publik. Terkait hal ini, bisa dipakai ilustrasi, ruangan kotor hanya bisa dibersihkan dengan menggunakan sapu bersih. Mustahil ruangan kotor bisa dibersihkan dengan sapu kotor. Warna putih adalah simbol bersih. Itu sebabnya, saat merekrut para Menteri, Jokowi meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memeriksa rekam jejak calon Menteri. Ia tak mau berkompromi dengan pejabat korup. Ia tak ingin citra tak bersih dan korup menjadi beban bagi Kabinetnya. Ini caranya “meminjam tangan” pihak lain untuk “membunuh” calon Menteri korup.
Dalam menyusun Kabinet Kerja, Presiden Jokowi sebenarnya sudah optimal-maksimal, walau hasilnya tampak tak ideal. Sebagai Presiden, JJokowi memiliki hak prerogatif, tapi faktanya ia bukan satu-satunya aktor tunggal yang menentukan formasi-komposisi kabinet. Ada sejumlah aktor lain yang turut menentukan, tentu dengan kepentingan politik beragam. Terjadi bargaining games, tarik-menarik kepentingan dalam proses penyusunan kabinet. Implikasinya, tak mudah bagi Jokowi menepati janjinya membentuk kabinet tanpa syarat. Kabinet Jokowi-JK justru terasa sarat syarat, terutama jika melihat para Menteri berlatar politisi parpol. Jokowi tampak belum sepenuhnya merdeka dari cengkeraman dan intervensi dalam menyusun komposisi kabinet. Bahkan, diduga kuat, ada Menteri dalam Kabinet Kerja yang direkomendasikan KPK dan PPATK agar tidak diangkat sebagai Menteri. Namun, untuk membuktikannya, baiknya KPK dan PPATK membuka hasil pemeriksaan para Menteri ke publik. Warna putih juga mengandung arti suci dan tulus. Maksudnya, kekuasaan harus suci, tidak dinodai, tidak dikotori oleh perilaku korup dan tidak disandera konflik kepentingan. Kekuasaan mestinya bekerja tulus, lurus, semata untuk kemajuan, kesejahteraan-keadilan rakyat.
Kelima, saat dilantik dan diambil sumpah, para Menteri mengenakan batik, bukan memakai jas seperti masa-masa sebelumnya. Batik adalah identitas Indonesia, simbol nasionalisme Indonesia. Hal ini bisa dibaca bahwa Jokowi hendak memberi pesan bahwa dalam bekerja, Kabinet Kerja harus sungguh mencerminkan identitas dan karakter bangsa Indonesia. Visi dan orientasi adalah demi kepentingan nasional bangsa Indonesia. Kemandirian ekonomi dan kedaulatan politik hanya bisa tumbuh mekar, jika bangsa Indonesia memiliki kepribadian dalam bidang kebudayaan. Itu berarti, di tengah intensifikasi arus globalisasi dengan berbagai pengaruh dan dampaknya, bangsa Indonesia harus tetap memiliki jatidiri dan karakter bangsa yang kokoh dalam interaksi internasional. Itulah sebabnya Bung Karno sangat menekankan pentingnya nation and character building. Dalam perspektinya, Indonesia adalah bangsa besar, tetapi sering kali rendah diri alias bermental kecil, karena masih belum bebas dari mentalitas kaum terjajah.
Dengan mengenakan batik, Presiden Jokowi juga ingin menularkan semangat cinta dan bangga pada produk-produk asli Indonesia.Para Menteri juga ditularkan semangat berani mandiri dan berdikari dengan berlandaskan pada ideologi Pancasila. Berdikari dan mandiri dalam konteks ini bukan berarti anti asing atau harus menyendiri dan menjadi autarkis. Berdikari adalah sikap mental untuk berani menentukan pilihan secara merdeka, berdaulat yang dapat membebaskan bangsa dari ketergantungan dalam berbagai aspek pada pihak asing. Menegakkan harkat-martabat bangsa, harus bermula dari kesungguhan melakukan revolusi mental bangsa, sebagaimana kerap diucapkan Presiden Jokowi. Tak ada perubahan besar dalam sejarah, tanpa perubahan mental. Revolusi mental perlu dan mendesak guna memberantas segala praktek buruk yang merusak bangsa. Revolusi mental berarti mencampakkan habitus lama, dan menggantinya dengan habitus baru demi kejayaan bangsa. Publik berharap, Jokowi mampu merealisasikan ucapannya melalui tindakan konkrit, dan tidak berhenti sebatas janji atau memainkan simbol-simbol politik. Pesan simbolik Presiden Jokowi baru bermakna jika diwujudkan dalam tindakan nyata.**** *Penulis, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional, Jakarta, Peneliti Center for Democracy and Transparency (CDT).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI