Saya mengenal puasa sejak kelas 3 atau 4 SD. Pada saat itu, sekitar tahun 1978 atau 1979 lah. Yang jelas, saya belum paham banget syarat dan rukun puasa, serta hal-hal yang membatalkan puasa. Agak tahu sih, bahwa kata guru ngaji saya salah satu yang membatalkan puasa adalah "keluar darah"`.
Nah, ini mungkin awal kesalahpahaman saya. Tapi ya memang begitu, pada masa itu tidak seterbuka sekarang. Guru ngaji menjelaskan banyak hal dengan samar sehingga memang bisa disalahpahami oleh anak-anak. Sebaliknya, jika dijelaskan pun mungkin anak-anak seusia saya saat itu tetap juga tidak paham. Polos dan minim informasi terbuka, begitulah kira-kira.
Hari itu hari pertama puasa. Anak usia 9 atau 10 tahun pada zaman itu, khususnya di lingkunganku, banyak yang tidak puasa. Rata-rata anak mulai puasa sekitar kelas 6 atau kelas 1 SMP. Sebagai catatan, saya tinggal di lingkungan yang tidak cukup Islami. Bahkan kehidupan yang tidak Islami banyak saya temui sehari-hari.
Lingkungan tempat tinggal saya dihuni banyak agama. Islam ada, Kristen ada, Katholik juga ada, bahkan Budha juga ada. Kami hidup rukun tanpa ada pertentangan masalah agama. Tetangga saya juga banyak yang memiliki anjing. Sehingga di jalan-jalan kampung saya juga banyak bersliweran anjing besar atau kecil.
Pada masa itu, mungkin hanya saya dan adik-adik saya yang mengaji. Mushola tempat mengaji juga agak jauh. Sementara teman-teman yang beragama Islam lainnya hanya mendapatkan pelajaran agama Islam dari sekolah saja.
Hari pertama puasa terasa sangat berat. Saya sudah berusaha mempersiapkan diri dengan makan sahur yang banyak, minum yang banyak. Bahkan pada pagi hari, saya bersama beberapa orang teman bersama-sama ke pasar untuk membeli es dawet, untuk persiapan buka puasa nanti.
Bukannya malah semangat, es dawet justru membuat saya semakin merasa haus. Setiap detik saya hitung, setiap menit saya jumlahkan. Waduh, masih lama adzan Maghribnya.
Sekitar jam 11 an beberapa teman datang ke rumah saya. Mereka mengajak bermain di bekas pabrik kertas tak jauh dari rumah saya. Disitu memang sejuk karena banyak pepohonan dan area yang cukup luas untuk sekedar bermain apa saja.
Tapi semakin jauh ke dalam lokasi bekas pabrik itu, banyak terdapat rerimbunan. Banyak cerita disitu juga banyak ularnya. Bahkan kabarnya ada ular buntung yang besarnya sekaki orang dewasa.
Asyik-asyiknya bersenda gurau, tiba-tiba terdengar suara suara mendesis di semak-semak. Jaraknya cukup jauh sih, sekitar 3 atau 4 meter dari tempat kami bermain. Tiba-tiba salah seorang dari kami berteriak, "Uloooo (ular)...." Dan, sepontan kami berlarian.Â
Saya berlari sekuat tenaga. Demikian juga teman-teman yang lain. Tak sengaja tangan kiri saya menyentuh batang pohon yang berduri. Lengan kiri saya berdarah, dengan luka saya pada kulit 10 cm. Saya langsung pulang ke rumah dengan nafas terengah-engah. Saya segera cari obat merah dan kapas untuk mengobatinya.