1. Tetap memposisikan dirinya sebagai guru yang menemani siswa, bukan teman sesungguhnya. Hal ini sangat penting agar "unggah ungguh" siswa terhadap guru tetap terjaga. Para siswa dapat merasa nyaman, terbuka, dekat dengan para guru, tetapi tetap posisnya seperti guru yang "rasa teman".
2. "Pertemanan" yang tercipta, tetap tetap dengan tujuan membimbing siswa. Dalam "pertemanannya" dengan siswa, mungkin saja muncul persoalan-persoalan pribadi siswa yang "dicurhatkan" pada guru. It's okay, tetapi para guru tetap harus membatasi diri untuk tidak terlibat dalam persoalan pribadi tersebut, tetapi justru membimbing dan memberikan masukkan agar dapat ditemukan solusi yang terbaik.
3. Untuk menjaga "marwahnya", para guru kurang elok terlibat hubungan pribadi ketika masih berstatus guru dan siswa. Pada kondisi  guru yang siswanya sudah menjelang dewasa, bisa saja terlibah hubungan saling suka antara guru dan siswa. Apalagi, ketika sudah memposisikan sebagai teman, tentu hal ini sangat mungkin terjadi. Jika ingin berlanjut, seyogjanya guru harus bisa "menunda" sampai si siswa tidak lagi menjadi siswanya secara formal.
Guru sebagai teman siswa bertujuan agar siswa merasa lebih dekat sehingga lebih mudah minta pertimbangan, pendapat, masukkan, dan arahanan dari guru. Lebih dari itu, para guru dapat mengetahui lebih cepat persoalan siswanya, sehingga dapat dengan cepat membantu mencarikan solusinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H