Mohon tunggu...
Ana Soleha
Ana Soleha Mohon Tunggu... -

:)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ini tentang Vero

2 Januari 2013   17:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:36 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, Dialah Vero. Orang virgo berwajah semi timur tengah yang aku temukan melalui ujung jari. Akibat komunikasi yang intens kita mengenal satu sama lain lebih dalam.

Pria ini yang membuat jantungku berdansa mengikuti cerita – cerita setengah fiksi yang dia ujarkan setiap malam melalui pesawat telepon. Kita bermain peran sebagaikerang yang tenggelam dilautan asmara. Alhasil, permainan itu menjebak kami dalam peran yang lebih dalam.

LOVE

Dia itu nyawa yang dihembuskan dalam balutan raga pria yang aku cintai. Aku tidak bisa pungkiri. Kekagumanku terhadap keagungan raganya. Dia tidak terlalu baik dalam bertutur. Hanya saja, dia sudah melukis matahari pada halaman – halaman mendung akibat tragedi beberapa bulan lalu. Tutur katanya tajam seperti pisau. Dan aku adalah batu asahnya. Kita sangat cocok satu sama lain.Brutal, ganas, liar, bebas, merdeka, dan… mencari Tuhan. Kombinasi yang unik. Tapi itulah kami.

Hari – hari merah jambu kami lalui dengan begitu meriahnya. Hingga suatu hari, Vero bukan lagi “LOVE” yang aku kenal. Dia seperti tikus yang melihat kucing jika dengan aku. Dia menolak apapun yang kuberikan padanya. Satu per satu dia kembalikan perkataanku. Dia habis memakiku. Sungguh aku rasakan tajamnya pisau itu di gesekkan pada batu asahnya. Hssssss….

Suatu ketika aku biarkan diriku seperti seorang pelacur. Merendahkan serendah – rendahnya untuk meminta kembali hari merah jambu itu. dan yang ia beri adalah harta. Kekayaan yang tak kuinginkan. Aku bisa saja menjadi apa pun untuk mendapatkan penghidupan. Jadi aku tak butuh kekayaan itu. aku bisa mendapatkan dunia jika aku mau. Dan akan kutukarkan denganmu, Vero. Tapi Vero malangkutetappada pendiriannya. Menghilang. Namun ia bawa satu utas benang dari selendangku. Entahlah apa maknanya. Yang terjadi hanyalah sakit jiwa yang setiap hari aku rasakan. Rasa cemburu jika ada yang memilikimu di luar sanamenggerogoti hatiku. Rasa perih ketika ditariknya benang itu dari kejauhan. Rindu dendam!

Pikiranku tak ada diragaku lagi. Ia melayang berpetualang bersama Vero. Bersamaan itu pula Jantung yang dulu berdansamenjadi mengamuk dan membawaku ke peristirahatan. Tapi aku belum mati.

Satu pekan setelah ia pergi, ia pun kembali. Dia…. Tersesat. Dan menemukan jalan pulang dengan menelusuri benangselendangku. Akhirnya ia berbaring disamping tubuhku yang lemah. Untuk menemuinya aku tak mau terlihatkalah. Aku warnai lagi bibir ini dengan gincu kesukaanku. Lalu terjadilah dialog diantara kami. Dia memulai pembicaraan dengan tamoang yang gugup.

“ Hai ”

“Dari mana saja kamu satu pekan ini?”

“Aku frustasi dan mencoba untuk menyelesaikan masalah”

“Frustasi padaku?”

“Tidak. Sama sekali tidak.”

“Lalu?”

“Akuberjalan sampai ke ujung kota dan bertemu seseorang di sana”

“Siapa?”

“Seorang wanita”

“haha… Kau mencintainya?”

“Ya”

“Lalu?”

“LOVE”

“Apa? LOVE itu kita, Vero. Bukan yang lain. Jika kau bertemu dengan wanita lain, kau bisa menyebutnya dengan yang lain. Bukan LOVE. Yang LAIN!!!”bentakku.

“Ya. Dia LOVE juga untukku”

“Siapa, Vero? ”

“Ibuku”

Aku tertegun sejenak lalu meletuslah tawa yang terbahak – bahak. Aku merasa lega dan bahagia. Rupanya LOVE selain aku adalah ibunya, yang sudah bisa ditafsirkan sebagai calon ibuku juga. Karena kami sudah merancangnya. Ditengah – tengah tawaku itu ia mencobamerapikansikapnya yang kacau karena rasa takut lalumelanjutkan perkataannya.

“Dia akan menjadi ibu mertua bagi gadis yang mampu membeli dunia dan seisinya ”

“Ya, Itu Aku.”

“LOVE, jujur… kau masih mencintai aku kan?”

“Ya . Sangat”

“Kau akan selalu mendukungku. Ya kan?”

“Ya… selalu”

“LOVE, hari dan tanggal sudah ditentukan. Baju sudah dipesan. Undangan segera beredar. Ibuku sangat berharap. Dan demi usia ibuku”

“Hahahha…Kau akan membuat kejutan di akhir kesabaranku”

“Ya, sepertinya begitu. Pinangan sudah diterima dan kami menikah bulan depan. ”

Mendengar kejutan itu aku tertegun. Lalu aku tertawa terbahak – bahak mengiringiVero yang mulai melangkah meninggalkanku. Kali ini utas benang itu tidak digenggamnya. Tapi diikatkan di kaki kirinya. Aku masih tertawa hingga aku menyadari bahwa aku sudah tak bersamanya lagi.

“Vero, ibarat nafas, kaulah udara yang mengalir di rongga – rongga organku”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun