Saya akhir-akhir ini sedikit tergelitik dengan ‘aftermath’ dari aksi 212 yang dilakukan pada awal bulan Desember ini di Jakarta.
Kenapa? Karena menurut saya, lucu saja melihat orang-orang yang mengaku sebagai ‘pejuang’ agama Islam, yang seharusnya juga memiliki pendidikan yang baik, berdebat dengan sesama umat Muslim lainnya dan bahkan melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji terhadap perempuan. Padahal, dalam agama Islam diajarkan untuk memuliakan perempuan.
Sebagai sampel, akan dibahas mengenai beredarnya foto seorang anggota FPI yang kedapatan sedang memotret bagian belakang tubuh seorang pramugari dengan pengakuan bahwa pramugari tersebut adalah kakaknya. Namun setelah diselidiki lagi, pramugari tersebut mengaku tidak memiliki saudara yang merupakan anggota FPI.
Lalu, contoh lainnya yang paling membuat saya tertarik dengan kejadian ini adalah adanya pengakuan-pengakuan para perempuan yang menjadi korban pelecehan verbal oleh para ‘pejuang’ aksi 212. Beberapa di antara netizen yang menjadi korban pelecehan verbal adalah pemilik akun Twitter @jxnxt yang mengaku bahwa dirinya diberi siulan dan dipanggil-panggil ketika sedang dalam perjalanan berangkat kerja dan berpapasan dengan rombongan bis yang membawa massa aksi 212. Selain itu ada pemilik akun @archputri, @rcameliaw, dan @alvionitarani yang juga mengalami hal yang sama, meskipun di lokasi yang berbeda.
Apa persamaan dari kedua contoh kasus yang telah saya sebutkan di atas? Persamaannya satu, yaitu kurangnya rasa saling menghargai dan sopan santun antar sesama rakyat Indonesia.
Dalam kasus pertama, bisa diketahui dengan jelas bahwa anggota FPI tersebut mengambil foto pramugari tanpa seizinnya, dan terlebih lagi ia memotret bagian tubuh dari pramugari tersebut yang kurang senonoh. Hal ini jelas merupakan suatu pelanggaran etika, karena laki-laki tersebut secara tidak langsung telah melakukan suatu bentuk pelecehan seksual dan objektifikasi terhadap perempuan, serta telah tidak menghargai martabat pramugari tersebut.
Kemudian dalam kasus kedua, mereka secara terang-terangan telah melakukan suatu bentuk kekerasan seksual. Padahal, hanya satu di antara keempat netizen yang sudah disebutkan di atas yang mengenakan rok pendek dan keempatnya berada dalam situasi umum di mana terdapat banyak orang. Hal tersebut juga bukan menjadi alasan bagi para laki-laki untuk memberikan siulan terhadap perempuan yang bahkan tidak mereka kenal, karena jika memang mereka paham akan sopan santun dan rasa saling menghargai, tentunya hal ini tidak akan terjadi terhadap keempat perempuan tersebut.
Lantas, siapa yang harus disalahkan atas perilaku mereka yang masih saja bertindak kurang sopan dan kurang menghargai sesamanya?
Jawabannya jelas bukan tingkat pendidikan. Karena, berdasarkan data Angka Partisipasi Kasar (APK) dari Badan Pusat Statistika tahun 2016, tercatat bahwa pada tahun 2015, DKI Jakarta memiliki angka persentase sebesar 76.35% untuk jenjang SMA/MA/SMK/Paket C; Provinsi Jawa Barat 70.23%; Jawa Tengah dengan 82.15%; DI Yogyakarta 82.64%; Jawa Timur dengan 80.02%; serta Provinsi Banten dengan persentase sebesar 69.76%.
Angka Partisipasi Kasar sendiri adalah persentase jumlah penduduk yang sedang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan terhadap jumlah penduduk usia sekolah yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan.
Hal ini menunjukkan, bahwa di Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya, yang merupakan asal daerah sebagian besar massa aksi 212, tidak sedikit masyarakat yang telah mengenyam pendidikan SMA atau setingkatnya. Dengan angka persentase yang rata-rata di atas 50%, seharusnya mereka yang lebih berpendidikan akan lebih mengetahui mana batasan perilaku terhadap orang yang tidak dikenal dan mana batasan perilaku terhadap orang yang sudah dikenal.