Dalam pendekatan Giddens, bahwa terlalu simplistik melihat globalisasi yang melibatkan penurunan kekuasaan negara untuk digantikan oleh dominasi perusahaan multinasional. Negara-bangsa masih kuat dan penting.Â
Olehnya itu Negara tidak boleh kalah oleh kepentingan pengusaha-pengusaha yang bisa merusak SDA.  Menurut Giddens (1994), terdapat empat konteks utama di mana resiko konsekuensi tinggi tersebut muncul. Masing-masing berkaitan dengan dimensi kelembagaan modernitas. Salah satu diantaranya adalah  resiko yang berkaitan dengan dampak pembangunan sosial modern pada ekosistem dunia.
  Hubungan antara manusia dengan lingkungannya telah menjadi problematik dalam beberapa cara. Sumber sumber material yang diperlukan untuk melangsungkan kehidupan manusia, dan khususnya cara hidup bagian-bagian dunia yang telah mengalami industrialisasi, tampak terancam baik dalam jangka menengah maupun dalam jangka panjang.
  Laporan dari Club of Rome telah menunjukkan ancaman terhadap sumberdaya alam yang tidak dapat diperbarui. Kebakaran hutan yang sangat luas di Indonesia merupakan contoh paling nyata dan mutakhir dari rusak dan hilangnya kekayaan sumberdaya alam tersebut. Kapasitas bumi untuk menampung sampah atau limbah dari berbagai aktivitas industrial juga makin dirisaukan oleh para pembela ekologi.Â
Sejumlah bahaya ekologis yang kini dapat diidentifikasi, seperti dampak pemanasan global dari efek rumah kaca, penipisan lapisan ozon, kerusakan hutan tropis, kekeringan, dan peracunan terhadap air dan udara, akan terus menebarkan resiko kepada para penghuni bumi.
 Maka tawaran Solusi dari Giddens adalah humanisasi alam atau ekologi. Dalam perspektif Giddens, upaya ini akan melampaui sekadar berbagai upaya konservasi dan preservasi sumberdaya alam. Menurutnya, isu ekologi inj harus didekati dalam konteks 'detradisionalisasi', karena alam telah "berakhir' dalam cara yang pararel dengan tradisi, sehingga kini banyak orang merasa khawatir apakah alam masih memiliki peran bagi kehidupan mereka.
  Menghadapi masalah humanisasi alam berarti mulai dari keberadaan "plastic nature ', atau alam di dalam era tata post tradisional. Keputusan keputusan tentang apa yang harus dilestarikan atau diperbarui amat jarang dapat diputuskan dengan mengacu pada apa yang ada secara independen dari manusia.Â
Pertanyaan perihal penipisan sumberdaya dan kerusakan lingkungan seringkali kali dapat dianalisa dalam pengertian seberapa jauhkah keduanya menyimpang dari siklus regenerasi yang alami.
  Politik kehidupan adalah bukan politik tentang kesempatan hidup, melainkan politik tentang gaya hidup (life style). Politik kehidupan berkaitan dengan perjuangan tentang bagaimana kita (sebagai individu dan humanitas kolektif) akan hidup di dalam dunia di mana apa yang sebelumnya telah jelas (fix) baik karena alam maupun tradisi, kini menjadi subjek dari proses proses pengambilan keputusan manusia.Â
Dengan kata lain, politik kehidupan berkaitan dengan persoalan bagaimana manusia seharusnya mengambil keputusan ketika dihadapkan pada lebih banyak pilihan daripada yang mereka miliki sebelumnya. Sebagai sampelnya, isu isu ekologis tidak semata-mata hanya terkait dengan masalah lingkungan. Isu-isu ekologis lebih merupakan tanda dan juga ekspresi dari sentralitas masalah kehidupan politis, lebih dari sekedar persoalan yang ditimbulkan oleh kapitalisme.Â