Mohon tunggu...
Anselmus Puasa
Anselmus Puasa Mohon Tunggu... Dosen - nama panggilan Amos

Amos si penggemar film Kung Fu China

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rohaniawan: Antara Altar, Tahta, dan Harta

26 Maret 2024   10:44 Diperbarui: 26 Maret 2024   10:44 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jaman Edan 

Anggur merupakan salah jenis satu minuman keras yang dapat  memabukan setiap orang yang mengkonsumsi secara berlebihan. Akan tetapi bila kita berbicara  tentang mabuk karena minuman keras, tidaklah terlalu membawa dampak yang luas bagi orang disekitarnya (makanya, minuman keras meski dilarang tetapi tetap diberi ijin untuk di jual). Justru yang paling berbahaya adalah mabuk bukan karena minuman keras, tetapi mabuk kekuasaan, dan mabuk karena nalar kita benar-benar sudah kehilangan akal sehat. Sehingga seseorang  bertindak layaknya orang gila, bertindak nekat atau bertindak edan.

Banyak kritikan dari umat, bahwa perginya sang rohaniwan dari kekudusan dan kesucian ALTAR, karena nalar mabuk telah menggerogoti dirinya.  Nalar mabuk yang dimaksudkan di sini adalah keikutsertaan para rohaniwan dalam urusan bisnis politik dewasa ini benar-benar karena hanya dan demi mengejar TAHTA dan HARTA (mudah-mudahan tidak ikut-ikut mengejar WANITA). Padahal panggilan suci seorang rohaniwan adalah berdiri di depan Altar (tempat mempersembahan korban) sebagai penyambung lidah Allah untuk memberitakan kebaikan, kebenaran, keadailan dan kejujuran bagi  umat. Dan apa yang diberitakan itu, itulah yang dihidupi, dijalani dan dilakoni oleh sang rohaniwan disepanjang hayatnya, di manapun ia berada dan ditempatkan.

Sang Rohaniwan sejati, harus tetap menjaga kesucian hidup layaknya seekor ikan yang meskipun tinggal dan hidup di air asin tetapi sang ikan tidak ikut-ikutan asin. Rupanya nalar teler telah membentuk karakter baru sang rohaniwan, sehingga ia berperilaku sebagaimana kata pribahasa, "masuk kandang ayam berkokok, masuk kandang kambing mengembik dan masuk kandang serigala mencakar dan menerkam apa saj ayang ada di hadapannya. Makanya tesis Thomas Hobbes, homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi sesamanya) paling banyak dipraktekan dalam dunia berpolitikan dan dunia bisnis di Indonesia. Sebab, kalau tidak ikut-ikutan menjadi serigala di tengah-tengah persaingan ini, maka kita hanya mendapat ampas, dan hidup kita akhirnya pun amblas tanpa bekas. Dan kalau itu yang terjadi, maka benar apa yang pernah diwangsitkan sang pujangga asal tanah Jawa, yakni Ronggo Warsito, bahwa jaman ini jaman edan, siapa yang tidak ikut-ikutan edan, dia tidak dapat kebagian (ora edan, ora kedumen).

Penutup

Pada awal tulisan telah disinggung bahwa KEBENARAN adalah yang paling kuat di dunia. Dapatkah kebenaran itu ditegakan di bumi pertiwi Indonesia dewasa ini?  Harapan mesti tetap dibangun oleh kita semua umat yang mengaku beragama dan ber- Tuhan. Sebab kalau tidak ada harapan lagi atau kalau kita telah berhenti berharap, maka kita pun berheti menjadi seorang manusia. Dimana panggilan kemanusiaan setiap orang adalah memanusiakan manusia. Bukankah seorang menjadi manusia butuh suatu proses panjang ? Seorang ibu dengan tekun mengajar anaknya berjalan, berbicara, bertindak dan berperilaku baik, benar, adil, dan jujur. Dangan kata lain, seorang ibu disepanjang hidupnya berupaya memberi dan membagi pengetahuan dan ketrampilan yang ia miliki kepada sang anaknya.  Sehingga anak manusia itu akan tumbuh menjadi seorang pribadi yang bertanggungjawab (responsibility) baik pada dirinya sendiri maupun dalam kehidupan bersama sebagai komunitas masyarakat. 

Pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh sang anak itulah yang kita sebut sebagai kompetensinya. menurut Gordon, ada enam hal yang terkandung dalam kompetensi, yakni: Pengetahuan (knowledge), Pemahaman (understanding), Ketrampilan ( Skill), Nilai (value), Sikap (attitude), minat (interest). Jadi dalam tataran ini, tidak ada seorang ibu (baca:orang tua) yang mengajarkan anaknya (sebagai seorang manusia) untuk berperilaku dan bertindak layaknya seekor binatang buas, yang siap menghabisi siap saja yang melawan dan menghalang jalannya dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan serta keinginan hidupnya.

Sudah waktunya sang rohaniwan (ulama, pendeta dan imam), mengambil sikap tegas, lugas dan cerdas sebagai pejuang-pejuang KEBENARAN, untuk berperang dan menentang segala bentuk kejahatan berupa korupsi, narkoba,free sex, togel, terror,illegal loging, illegal fishing, perdagangan manusia dan lain sebagainya. Sehingga wajah bangsa yang santun, beradab dan berbudaya, semakin bercahaya. Semoga !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun