Mohon tunggu...
Anselmus Puasa
Anselmus Puasa Mohon Tunggu... Dosen - nama panggilan Amos

Amos si penggemar film Kung Fu China

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Waktunya Memilih Pemimpin Daerah

5 November 2020   09:55 Diperbarui: 5 November 2020   10:14 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertarungan seru terjadi di 270 daerah yang lagi menggelar perhelatan pemilihan kepala daerah. Semakin dekat hari 'H' (9 Desember 2020), suasana semakin memanas. Hal itu terlihat dari setiap ajang kampanye, begitu juga di medsos, para pendukung saling mengejek, saling menjatuhkan, saling menyindir satu dengan yang lain.

Meskipun semua orang berharap bahwa konten perdebatan harusnya berisikan tentang visi dan misi para kandidat, dan apa saja program dan kebijakan yang akan mereka perbuat bagi masyarakat saat mereka terpilih nanti. Sayangnya harapan seperti itu, masih sebatas angan-angan belaka.

Hal paling menonjol dalam ajang Pilkada, adalah perseturuan antar pendukung, di mana masing-masing pihak mengedepankan kehebatan atau keunggulan dari pasangan yang mereka dukung, dan menjatuhkan, bahkan menghina  para saingan politik mereka.

Fakta yang ada, kita harus mengatakan bahwa kultur berdemokrasi kita masih kanak-kanak, belum dewasa. Para elite dan rakyat harus terus belajar berdemokrasi, agar tidak terjebak dalam arena demo-crazy yang mengarahkan kita pada pertikaian, perseturuan dan permusuhan, satu dengan yang lain.

Belajar Berdemokrasi

Pasca digulirkan reformasi pada tahun 1998, konon bahwa saat itu juga mulai bertiup angin demokrasi di alam pertiwi, Indonesia. Walaupun kultur demokrasi yang sudah digulirkan itu, dinamikanya naik-turun dan mesti terus ditumbuh-kembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Terutama dalam membangun pemerintahan yang baik dan yang bersih. Baik dari arah pusat, hingga ke pelosok daerah-daerah. Apalagi pada ajang pemilu, bisa dikatakan, masih banyak kasus, yang dapat kita simpulkan, dengan satu pernyataan bahwa "hasil menghianati proses."  

Tentu saja para pegiat demokrasi, menaruh harapan bahwa negara ini akan menjadi negara yang kuat dalam menciptakan iklim demokrasi yang baik dan sehat. Meskipun, Indonesia bukanlah Amerika Serikat atau salah satu negara di Eropa dengan tradisi demokrasi yang panjang dan sudah sangat baik.

Akan tetapi, kita tidak boleh berkecil hati atau menjadi minder atau bahkan kecewa dan frustrasi atas kenyatan berdemokrasi yang ada. Coba lihat saja, pada setiap ajang pemilu, yang muncul bukanlah pertarungan dan perdebatan soal visi dan misi serta program-program, tetapi yang terjadi adalah saling menyerang dan saling menjelekkan lawan-lawan politik, dengan tujuan, tentunya untuk menjatuhkan. Oleh karena itu, kita mesti banyak belajar perihal hidup berdemokrasi.

Sebagai negara yang terus belajar berdemokrasi,  berarti kita diminta untuk secara serius, terus-menerus  menata segala sikap dan perilaku politik kita sebagai anak warga, agar saling menghargai setiap perbedaan yang ada. Perbedaan pilihan, perbedaan pandangan, perbedaan pendapat adalah suatu kekayaan dalam iklim demokrasi.

Setiap perbedaan, jangan dipandang sebagai  sesuatu yang salah  atau aib bagi kebersamaan; orang yang berbeda paham dengan kita, jangan dilihat sebagai lawan atau musuh yang harus disingkirkan atau dihancurkan.  Bila kesadaran seperti itu, terus dimekarkan dan dikembangkan, maka demokrasi yang baik dan sehat adalah suatu keniscayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun