Mohon tunggu...
Andrean Pasaribu
Andrean Pasaribu Mohon Tunggu... Melihat Dunia -

Seorang yang ingin menjadi HEBAT!!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mari Membasmi Tradisi

24 Maret 2014   19:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:33 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa yang terlintas di benak kita apabila kita mendengar kata tradisi? Mungkin kita akan membayangkan berbagai produk budaya nusantara seperti tari-tarian atau upacara adat atau kesenian lainnya yang perlu kita lestarikan. Pertanyaannya, apa(nya) perlu dilestarikan?

Menurut KBBI, tradisi memiliki arti “adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat” atau “penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar”. Apabila kita resapi makna kata tersebut, maka kita akan memahami bahwa tradisi adalah kebiasaan inheren atau pola pikir inheren. KBBI sendiri tidak memaknai tradisi sebagai kebiasaan inheren yang baik atau pola pikir inheren yang baik. Hal tersebut meyakinkan kita bahwa kata tradisi memiliki arti yang universal: setiap kebiasaan masyarakat baik itu bersifat positif atau negatif.

Maka dari itu, berperilaku toleran berlandaskan motto “Bhinneka Tunggal Ika” adalah tradisi Indonesia, berperilaku sopan santun adalah tradisi Indonesia, hormat pada orang tua adalah tradisi Indonesia, menghargai jasa para pemimpin adalah tradisi Indonesia, menghormati pemimpin adalah tradisi Indonesia, nembak SIM adalah tradisi Indonesia, perebutan kekuasaan adalah tradisi Indonesia, politik uang adalah tradisi Indonesia, KKN adalah tradisi Indonesia, ups.

Kenapa kebiasaan-kebiasaan buruk yang diajarkan VOC bisa menjadi tradisi yang mengakar di masyarakat Indonesia? Apakah tradisi korup tersebut memang diajarkan oleh nenek moyang kita? Mungkin saja ya, tapi sebagian besar tidak. Kita tentu pernah mendengar kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, penguasa nusantara pada eranya. Dua kerajaan itu adalah lambang kesuksesan peradaban Indonesia. Akan tetapi, tentu saja kita perlu ingat bahwa peristiwa Perang Paregreg atau konflik Rakai Pikatan – Balaputeradewa adalah sejarah hitam di balik kejayaan mereka.

Abad demi abad berlalu, dan kemudian datanglah para pendatang dari Eropa yang berkepentingan dalam menj(el)ajah nusantara. Mereka menjalani sejuta cara untuk memerosokkan bangsa ini agar menikmati masa-masa titik nadir untuk selama-lamanya. Perang Ternate-Tidore, Perang Paderi, Perang Diponegoro, dan lain sebagainya adalah permulaan dari kehancuran bangsa ini. Mari kita ambil satu sampel: Perang Diponegoro.

Sebagai seorang kelahiran Magelang, sulit untuk menilai siapa salah dan siapa benar dalam Perang Diponegoro. Perang Diponegoro bukanlah hanya perang antara orang pribumi dengan orang kumpeni, akan tetapi Bupati Magelang saat itu pun ikut berperang melawan Pangeran Diponegoro. Keterlibatan Bupati Magelang Danoeningrat dalam melawan pasukan Diponegoro pun bukan tanpa alasan.

Andai saja Raffles tidak mengangkat Danoeningrat menjadi bupati, atau apabila Danoeningrat menjadi bupati karena kemauan rakyat dan bukan karena kemauan Inggris, Danoeningrat tidak akan mengalami pergulatan batin yang hebat sehebat itu. Tentu saja, Danoeningrat ingin sekali membantu Diponegoro untuk mempertahankan bangsa Indonesia, membebaskan bumi Magelang dari tangan imperialis Britania dan Belanda. Akan tetapi, apakah daya seorang “staf”, seorang “pemimpin” dari sekian banyak budak? Bisakah pemimpin dari para budak bisa melawan tuan yang paling lemah sekalipun. Danoeningrat merasa harus menjaga dan mengemban amanah yang diberikan oleh tahta dari Belanda, yang berarti politik balas budi pun berlaku.

Seperti itulah kumpeni menjalankan politik divide et impera, yaitu dengan berbagai cara termasuk membawa konflik melalui pencokolan kekuasaan, harta, dan fasilitas. Ditambah lagi, jauh sebelum peristiwa yang berujung dengan penangkapan sang pangeran di Residentwoning, Magelang, VOC telah mengajarkan kepada kita bagaimana menghancurkan organisasi dari sisi finansial – korupsi.

Perebutan kekuasaan dan KKN, sayangnya, ditanamkan oleh kumpeni selama 3,5 abad di seluruh penjuru negeri. Tentu saja tradisi ini menjadi cukup mengakar dan menyebar. Ya, kekuasaan dan harta sudah menjadi hidangan utama manusia Indonesia sejak jaman dahulu, dan hingga sekarang paradigma seperti itu masih saja tertanam. Entah itu masa kerajaan Mdang, Majapahit, Pajang, Mataram, era Portigus, era VOC, era Perancis Napoleon, era Inggris, era Belanda, era Jepang, era Soekarno, era Soeharto, dan era reformasi, penyembahan kekuasaan dan harta mewarnai cara hidup bangsa kita, entah dari sisi sosial, politik, maupun ekonomi.

Ketika sebuah generasi menganut sistem kepercayaan paganisme terhadap dewa kekuasaan dan dewa harta, apa yang selama ini generasi muda lakukan? Tentu sudah bisa ditebak apa yang dilakukan oleh generasi ‘penerus’ bangsa ini. Maka tak heran, apabila kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan oleh para generasi pendahulu terus menerus ditransferkan ke generasi selanjutnya dan dosa-dosa besar tersebut terakumulasi di generasi paling akhir. Sekarang, kalau dilihat dalam kehidupan yang nyata, khususnya dalam hal pemerintahan Indonesia, kebiasaan-kebiasaan buruk yang terselubung semakin berkembang menjadi kebiasaan-kebiasaan buruk yang diekspresikan secara terang-terangan dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang diekspresikan secara lebih implisit dengan muka yang indah. Sekarang, mari kita cermati poin kedua, kebiasaan buruk yang diekspresikan secara lebih implisit dengan muka yang indah, melalui sebuah contoh di kehidupan nyata: APBN.

APBN tidak bisa dipungkiri adalah asupan gizi kita, ketika jiwa nasionalisme adalah nafas kita. Maka dari itu, kita memerlukan APBN yang baik dan bernutrisi. Untuk memperoleh APBN yang bernutrisi, semua rakyat Indonesia perlu mengendalikan APBN, sehingga APBN dapat bekerja secara ideal. Akan tetapi, bagaimana kenyataanya? Selain tingkat fraud dalam penganggaran dan realisasi APBN yang tinggi, inefisiensi membuat APBN kita menjadi keruh. APBN yang inefisien bisa kita gambarkan sebagai APBN yang obesitas, yang tentu jauh berbeda dengan APBN yang ‘kekar’ dan ‘gagah’, meskipun bobotnya sama-sama 1,2 kuintal.

Inefisiensi APBN disebabkan karena terlalu banyak program yang tidak diketahui apa manfaatnya. Sekarang, mari kita bertanya apa manfaat dari program bagi-bagi pengaman gratis? Secara rasional, hal tersebut benar-benar tidak ada manfaatnya, dan bahkan lebih besar mudaratnya. Akan tetapi, kenapa pemerintah tetap melakukannya? Terlepas dari contoh tersebut, sebagian besar penyebabnya adalah karena apabila mereka ditanya “Mengapa?”, kemudian mereka menjawab “karena dulu juga dilakukan”. Program-program pemerintahan pun semakin lama semakin menjadi tradisi yang dangkal yang kehilangan substansi programnya.

Inilah substansi dari tulisan ini. Sudah saatnya kita mengubah cara pandang kita mengenai apa yang dilakukan. Kita harus basmi semua tradisi, meskipun itu kelihatannya buruk atau baik. Tradisi itu sudah jelas tidak memiliki manfaat karena dilakukan untuk mengikuti apa yang pendahulu kita lakukan tanpa memahami substansi dari tradisi tersebut. Yang perlu kita pertahankan adalah kebudayaan, kultur, hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia kita dan para pendahulu kita yang menimbulkan nilai-nilai positif tanpa melupakan substansi dari kebudayaan tersebut.

Membasmi tradisi bukan berarti membumihanguskan kebudayaan yang sudah turun temurun diaktualisasikan dalam kehidupan kita, yang harus kita lakukan adalah pemaknaan ulang dari apa yang kita biasakan. Apabila cara berperilaku yang kita lakukan memiliki substansi positif sehingga memungkinkan diri kita untuk memaknai substansi positif tersebut secara integral, maka jangan hilangkan cara berperilaku tersebut, vice versa.

Di kampung kelahiran saya, Wironayan, ada kesenian Jathilan Campur. Kesenian ini baru menjadi sebuah tradisi, yang dilakukan secara turun-temurun dari pendahulu-pendahulu kami. Tradisi ini meliputi upacara-upacara yang penuh dengan klenik, yang perlu dibasmi karena tidak mendidik anak-anak kami, melunturkan nilai-nilai positif agama Islam, dan menimbulkan ketergantungan pada kekuatan magis. Tradisi Jathilan Campur ini perlu dibasmi, akan tetapi tidak harus dengan meniadakan kesenian tersebut. Yang perlu dilakukan adalah mengubah tradisi Jathilan Campur ini menjadi produk kebudayaan yang dapat menularkan nilai-nilai positif kepada masyarakat. Tradisi mengundang setan perlu diubah menjadi kebudayaan tutur tinular melalui tontonan mendidik dan sarat akan makna dakwah. Tradisi joged-menjoged tanpa arti perlu diubah menjadi produk kebudayaan yang menularkan nilai keberanian melawan kekuatan angkara murka yang diperantarai melalui pertunjukan perang antara pasukan Purbaya dengan pasukan Jin Sonta dan para buto-butonya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun