Mohon tunggu...
Ano suparno
Ano suparno Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Jalanan

FREELANCER Pernah di Trans TV sebagai Reporter, Kameraman lalu Kepala Biro TRANS. Sebelumnya, sebagai Stringer Tetap BBC London siaran Indonesia, reporter hingga Station Manager Smart FM Makassar. Setelah di Trans, saya mendirikan dan mengelolah TV Lokal sebagai Dirut. Sekarang Konsultan Media dan Personal Branding

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cerita Toleransi dari Kampung

19 Desember 2019   13:49 Diperbarui: 19 Desember 2019   14:33 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

******
Dan akhirnya tiba pulalah debat yang paling dinanti oleh seisi kampung. Debat ini berlangsung di tengah lapangan, yang pada sekelilingnya berjejer rumah rumah warga. Lampu listrik telah menerangi beberapa ruas debat, sekelompok gang sebelah duduk, bersarung dan hanya mengenakan sendal jepit. 

Para orang tua di kampung kami duduk pula serumpun, berjejer rapi tanpa ada yang mengomandai, bocah bocah seusia SD tak peduli apa yang terjadi. Melihat terang benderangnya malam hari di kampung kami, seluruh sebaya mereka berkumpul layaknya sedang bersekolah malam. Mereka lupa bahwa besok adalah memasuki ujian hari terakhir.

Gufron, seorang calon kepala desa memulai berpidato. "Assalamu Alaiukum warahmatullahi Wabarakatuh. Bapak panitia yang terhormat, orang tua saya yang paling tercinta, mama, adik adikku, tetanggaku, handai taulan dan seluruh seisi kampung desa Labitar. Malam ini kita berkumpul di sini untuk menentukan nasib desa kita ke depan". 

Belum sempat Gufron berpanjang lebar menebarkan pesona kalimatnya, Sahabud tiba tiba berdiri, ia menyanggah dan menyebut Gufron terlalu bertele tele menyampaikan maksud dan tujuannya. Sahabud memang diminta oleh konsultannya untuk berani berbicara, berani dalam segala hal, tak peduli apa yang ia sampaikan benar, salah atau masuk akal. 

"Yang penting kamu berani, itu saja. Kalau berjanji jangan nanggung, janjikan warga ke surga" saran konsultannya. Terngiang terus kalimat itu pada pikiran Sahabud. Maka ia memberanikan diri bicara sebelum dipersilahkan, "Saya tidak berpanjang lebar berbicara di sini seperti Gufron yang sok paham kondisi desa kita ini. Kalian semua minta apa? Saya pasti kabulkan. Kujanjikan kalian apapun asalkan memilihku," janji Sahabud. 

Tak ada yang bisa menghalangi Sahabud berjanji, setiap ada yang menyela, tim Sahabud melalakan mata seolah hendak menerkamnya. Calon kades terakhir adalah Banizur, seorang petani tamatan SMP. Selain bertani, Nizur begitu ia dipanggil adalah mekanik sepeda. Sejak kelas 3 SD, ia selalu bersepeda ke sekolahnya meski jarak sekolah dengan rumahnya, melangkah pun tak sampai 10 menit. 

Ia sangat menyukai sepeda hingga akhirnya memiliki bengkel sepeda. Tiba saatnya pidato,  Banizur berdiri, singkat ia berbicara. "Saya tak berani berjanji sebab kita ini tinggal di kampung. Cukup calon anggota DPR dan calon bupati yang hoby berjanji, kita jangan ikut ikutan." ujarnya simpel. Terlalu sering berjanji lanjut Banizur maka semakin seringkali pula kelak ia akan berbohong lalu mencarikan  alasan agar masyarakat puas.

Seorang pemandu yang paling tinggi tingkat pendidikannya di Desaku mencap dirinya sebagai pemandu debat pilkades,  Sakka', nama yang sangat kampung. Ia baru saja menamatkan sekolahnya ditingkat SMA, hendak melanjutkan ke perguruan tinggi tapi ia memilih kembali ke kampung halaman. "Kenapa tak satupun menyinggung soal toleransi, tema debat", kata Sakka mengingatkan para calon. 

Tiga calon kades rupanya telah melakukan pertemuan sehari sebelum debat berlangsung. Mereka bertemu secara rahasia membahas tema debat yang panitia syaratkan.  Ketiganya sepakat tak akan menyinggung soal toleransi alasan mereka simpel, toleransi tak perlu diatur apalagi diperdebatkan. 

Semakin diperdebatkan, maka semakin menimbulkan perbedaan di tengah tengah masyarakat. "Jangan ikut ikutan orang kota, di kampung kita toleransi sudah sangat sopan, santun dan penuh adab. Toleransi tak perlu diatur-atur, disuruh-suruh apalagi berkumpul seluruh kelompok.  Tak bisa itu. Alami saja, seperti orang orang di kampung. Campur tangan pikiran orang kota di kampung, justru merusak kehidupan bermasyarakat kita". Kalimat ini disampaikan oleh seorang perwakilan calon kepala desa Labitar, yang menurutnya adalah hasil diskusi mereka sehari sebelum debat.

******
Sepekan setelah debat berlangsung, pemilihan kepala desa telah usai, dan yang terpilih adalah seorang tukang bengkel sepeda. Ayahku seperti malam malam sebelumnya, menerima sejumlah sejawatnya menikmati sajian kopi pada teras rumahku.  Pukul delapan malam, tak ada lagi kendaraan roda empat membunyikan klaksonnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun