Di sekolahnya Puji bercerita bahwa ia merupakan salah satu pelajar yang nilainya tak bisa dipandang remeh remeh. Â Kala sekolah hingga SMP, Puji tak pernah terlempar pada lima besar meskipun ia mengaku sangat menjengkeli beberapa mata pelajaran, terutama mata pelajaran Kimia dan bahas Inggris. Â
Puji menyebutnya, mata pelajaran itu adalah jam libur bagi dirinya, sebab sudah bisa memastikan dia tak akan masuk belajar- Puji pula mengaku telah memiliki sejumlah alasan untuk tak masuk kelas. Nasib Puji tak sebagus dengan puluhan temannya di kampung yang tak sanggup menyambung sekolah.
Sejawat Puji yang tentu tak bisa ku kenali nama nama nya, adalah bagian dari 4 juta lebih warga Indonesia yang putus sekolah oleh karena tingkat kemiskinan yang masih mendera Indonesia. Â Mereka yang telah putus sekolah, sebagian memilih menjadi gelandangan, membantu orang tua di kampung, berjualan pada emperan toko dan sudut kota serta tak sedikit pula memilihkan dirinya berleha-leha di teras rumah seraya menghitung kalender, sekiranya kapan lagi berlangsung pesta demokrasi sekelas Pilkada dan pemilihan legislatif, masa di mana uang mengalir deras yang tak tahu asal muasalnya.
Nasib anak anak tak bersekolah atau putus sekolah sepantasnya menjadi pekerjaan utama bagi Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Bukankah seorang saja anak putus sekolah, merupakan musibah bagi peradaban kemanusiaan. Data kemiskinan di negeri yang baru saja melantik presiden serta para menterinya itu, menyebutkan bahwa jumlah anak putus sekolah 4.586.332 anak. Â
Lalu pada satu sisi, Nadiem Makarim menyentuh sistem pendidikan yang ia akan rubah, seolah mengikuti arus nitizen yang telah menganggungkannya, sebagaimana ia telah sukses bersama Gojek, sebuah perusahaan unicorn yang merubah sistem dan cara pandang manusia menggelontorkan dananya saat berbelanja serta berkendara. Â Nadiem mungkin lupa, bahwa ancaman anak anak Indonesia adalah, putus sekolah. Â
Sesaat setelah Hiroshima luluh lantak oleh bom atom, kaisar Hirohito berdiri di atas puing puing bekas bom atom yang amat dahsyat, yang membuat Jepang sadar se sadar sadarnya. Bergetir bibir sang Kaisar, lalu ia berucap selamatkan anak anak, sebab merekalah yang akan membangun dan menciptakan masa depan Jepang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H