Mohon tunggu...
Ano suparno
Ano suparno Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Jalanan

FREELANCER Pernah di Trans TV sebagai Reporter, Kameraman lalu Kepala Biro TRANS. Sebelumnya, sebagai Stringer Tetap BBC London siaran Indonesia, reporter hingga Station Manager Smart FM Makassar. Setelah di Trans, saya mendirikan dan mengelolah TV Lokal sebagai Dirut. Sekarang Konsultan Media dan Personal Branding

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menulis tentang Penusukan Pak Wiranto, 2 Hal Membuat Saya Prihatin

14 Oktober 2019   20:22 Diperbarui: 14 Oktober 2019   20:30 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Semalam saya ditanyai oleh teman, saat sedang ngopi sambil kaki kiri selongsor  lurus ke depan, menyaksikan seorang vokalis mendayukan lagu, Panggung Sandiwara, milik Achmad Albar - Nicky Astria. "Ka'  penulis jalanan  belum ada tulisan tentang penusukan Wiranto? Simpel jawabanku, "belum ada yang menarik".

Sambil memesan kopi  rasa gula aren racikanm barista yang murah senyum ini, jeje dan Ohio -  sesuatu hal yang menarik itu telah ketemukan, maka mengalirlah tulisan ini.  
Lalu, apa yang menarik itu?

Bagi saya bukan pada penusukan itu? Oleh karena telah diulas oleh para nitizen melalui sosmed serta juru warta melalui media mainstreem.   Atas kejadian yang menimpa salah seorang tokoh orde baru ini, yang kemudian menjadi palang pintu bagi Jokowi tentang Politik dan Keamanan - Jendral Purn. Wiranto. Perihal kekerasan ini, saya prihatin atas dua hal.

Pertama, prihatin atas kekerasan fisik terhadap seorang pejabat negara RI.  Begitu prihatin, begitu kaget - seolah sedang menyaksikan adegan film, seolah melihat kejadian laiknya negara negara lain yang tengah dilanda kekerasan.  Kaget? Iya. Oleh karena yang Kutau, hanya Sukarno pernah mengalami hal seperti ini, percobaaan pembunuhan presiden pertama RI itu, termasuk ketika sedang berkunjung ke Makassar. Bangsa percaya? Iya. Sangat percaya. Meski beberapa pejabat lainnya juga pernah tetapi tak menyentuh secara langsung, seperti Megawati, SBY dan juga Matori Abdul Djalil, menteri Pertahanan di era Kabinet Gotong Royong.

Tetapi hal yang sangat membuat saya sangat prihatin,  adalah kekerasan verbal dari para buzzer yang menyebabkan masyarakat lebih dominan tidak mempercayai atas proses persitiwa penusukan terhadap Wiranto. Sejumlah narasi yang terukir secara rapi, terstruktur lalu dibumbuhi beberapa link link berita, semakin memperkaya hasutan untuk tidak percaya.

Mengapa bangsa ini begitu rusak dalam hal moral? Pada pekan lalu - viral perihal buzzer gelap yang merusak tatanan demokrasi kita, menciptakan stigma stigma buruk pada sesuatu. Merangkai kata menjadi kalimat melalui narasi yang ciamik, memanpaatkan sosial media untuk menghasut warga agar percaya sambil menyodorkan link, video dan meme.  Sesuatu yang salah kemudian dibenarkan oleh narasi narasi yang kemiripannya benar, lalu yang benar kemudian dinarasikan untuk menjadi buruk dan salah.  

Puncak dari ulah ternak buzzer itu adalah, menimbulkan skeptis, ketidakpercayaan antar sesama anak bangsa. Dan, yang menjadi korban adalah Menkopolkam Wiranto. Kita prihatin atas dua kekerasan itu. Kekerasan fisik dan kekerasan verbal.

Semoga cepat sembuh Pak Wir.
Penulis Jalanan, sedang seduh kopi rasa gula aren

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun