Semalam saya ditanyai oleh teman, saat sedang ngopi sambil kaki kiri selongsor  lurus ke depan, menyaksikan seorang vokalis mendayukan lagu, Panggung Sandiwara, milik Achmad Albar - Nicky Astria. "Ka'  penulis jalanan  belum ada tulisan tentang penusukan Wiranto? Simpel jawabanku, "belum ada yang menarik".
Sambil memesan kopi  rasa gula aren racikanm barista yang murah senyum ini, jeje dan Ohio -  sesuatu hal yang menarik itu telah ketemukan, maka mengalirlah tulisan ini. Â
Lalu, apa yang menarik itu?
Bagi saya bukan pada penusukan itu? Oleh karena telah diulas oleh para nitizen melalui sosmed serta juru warta melalui media mainstreem. Â Atas kejadian yang menimpa salah seorang tokoh orde baru ini, yang kemudian menjadi palang pintu bagi Jokowi tentang Politik dan Keamanan - Jendral Purn. Wiranto. Perihal kekerasan ini, saya prihatin atas dua hal.
Pertama, prihatin atas kekerasan fisik terhadap seorang pejabat negara RI. Â Begitu prihatin, begitu kaget - seolah sedang menyaksikan adegan film, seolah melihat kejadian laiknya negara negara lain yang tengah dilanda kekerasan. Â Kaget? Iya. Oleh karena yang Kutau, hanya Sukarno pernah mengalami hal seperti ini, percobaaan pembunuhan presiden pertama RI itu, termasuk ketika sedang berkunjung ke Makassar. Bangsa percaya? Iya. Sangat percaya. Meski beberapa pejabat lainnya juga pernah tetapi tak menyentuh secara langsung, seperti Megawati, SBY dan juga Matori Abdul Djalil, menteri Pertahanan di era Kabinet Gotong Royong.
Tetapi hal yang sangat membuat saya sangat prihatin, Â adalah kekerasan verbal dari para buzzer yang menyebabkan masyarakat lebih dominan tidak mempercayai atas proses persitiwa penusukan terhadap Wiranto. Sejumlah narasi yang terukir secara rapi, terstruktur lalu dibumbuhi beberapa link link berita, semakin memperkaya hasutan untuk tidak percaya.
Mengapa bangsa ini begitu rusak dalam hal moral? Pada pekan lalu - viral perihal buzzer gelap yang merusak tatanan demokrasi kita, menciptakan stigma stigma buruk pada sesuatu. Merangkai kata menjadi kalimat melalui narasi yang ciamik, memanpaatkan sosial media untuk menghasut warga agar percaya sambil menyodorkan link, video dan meme. Â Sesuatu yang salah kemudian dibenarkan oleh narasi narasi yang kemiripannya benar, lalu yang benar kemudian dinarasikan untuk menjadi buruk dan salah. Â
Puncak dari ulah ternak buzzer itu adalah, menimbulkan skeptis, ketidakpercayaan antar sesama anak bangsa. Dan, yang menjadi korban adalah Menkopolkam Wiranto. Kita prihatin atas dua kekerasan itu. Kekerasan fisik dan kekerasan verbal.
Semoga cepat sembuh Pak Wir.
Penulis Jalanan, sedang seduh kopi rasa gula aren
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H