Mohon tunggu...
Heri Hermanto
Heri Hermanto Mohon Tunggu... -

tanpa identitas apapun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Indonesia dan Rencana Pembakaran Salah Satu Kitab Suci pada 11 September 2010 di Florida Oleh Sekelompok Oknum Provokator

6 September 2010   02:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:25 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta, 05 September 2010 Catatan ini berisi coretan yang terdapat pada secarik kertas yang kebetulan saya temukan dalam sebuah tong sampah. Pada kertas tersebut tidak terdapat identitas penulisnya, atau bisa kita sebut anonim. Namun demikian, identitas itu tidak penting. Yang penting adalah isi coretannya. Sebelum membacanya, perlu saya tekankan, jika kita masih cenderung untuk bersikap keras seperti batu, akal dan hati kita masih beku, sangat dianjurkan untuk sesegera mungkin menutup catatan ini. Catatan ini hanya akan berguna bagi yang akal dan hatinya seperti air yang mengalir apa adanya walaupun ada rintangan di hadapannya, bagi orang-orang yang cinta perdamaian. Namun demikian, besar harapan saya kita semua mau membaca coretan si anonim yang saya salin ulang pada catatan ini, karena ini demi negara kita tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Baiklah, bagi yang sudah siap membaca, mari kita masuk ke isi dari coretan si anonim itu. Selamat membaca. ^_^ ******************************************************************************************************* Sebagian besar diantara kita pasti sudah tahu isu tentang akan dilakukannya eksekusi pembakaran kitab suci salah satu lembaga agama, yang akan dilakukan oleh sekelompok oknum di Florida, nanti pada tanggal 11 September 2010. Sekali lagi perlu saya tekankan >>>SEKELOMPOK OKNUM<<<. Jadi mohon jangan digeneralisir berdasarkan lembaga agama yang dianut oleh para oknum. Hal ini harus diingatkan karena selama ini kita tanpa sadar telah terkondisikan untuk selalu menggeneralisir / menyamaratakan sesuatu. Lagipula, pernahkah kita mencoba untuk membuat spekulasi-spekulasi terlebih dahulu sebelum membuat sebuah kesimpulan yang menganggap bahwa para oknum itu adalah dari golongan ataupun lembaga agama tertentu? Padahal siapa tahu para oknum itu adalah dari golongan ataupun lembaga agama ataupun non-lembaga agama lainnya, atau juga dari lain-lainnya bahkan dari kelompok yang sama dengan yang kitabnya akan dibakar itu, walaupun untuk kemungkinan terakhir rasanya sangat tidak mungkin. Namun tidak berarti itu tidak mungkin, karena bisa saja mereka adalah kelompok yang ingin mengacaukan situasi dan juga membenci kelompok tertentu, sehingga mereka harus membuat skenario yang cukup ekstrim untuk dijadikan alasan melakukan perlawanan. Satu hal yang pasti, para oknum tersebut adalah orang-orang yang tidak cinta perdamaian. Dan mereka pasti hanyalah para eksekutor, bukan pencetus utama dari skenario tersebut. Seperti dalam sebuah film, yang selalu ada di depan layar adalah para pemeran, bukan sutradaranya, dan bukan produsernya. Jika kita mau begitu saja diperbudak oleh nafsu kita, perasaan kita , maka reaksi kita terhadap isu di atas pasti akan mirip dengan kelompok-kelompok yang hari-hari kemarin melakukan demonstrasi di berbagai kota di Indonesia. Bahkan mungkin ucapan-ucapan kotor pun akan dengan sangat ambisius kita muntahkan bagi oknum-oknum itu. Tapi, apakah kita harus memilih sikap seperti itu? Apakah hanya itu saja satu-satunya cara untuk menyikapi isu ataupun eksekusi yang tolol itu? Apakah kita mau begitu saja diperbudak oleh nafsu kita, pikiran & perasaan yang merasa terhina, merasa lembaga agama kita dihina oleh hal itu? Tidak adakah cara lain yang lebih bijak, cara yang lebih mencerminkan bahwa kita adalah manusia-manusia yang beradab, manusia-manusia yang beragama, ataupun tidak beragama namun menjunjung tinggi perdamaian, untuk menyikapi hal tersebut? Dan lucunya, kalaupun kita tetap bersikeras memilih menyikapinya dengan cara berdemonstrasi, mengapa berdemonstrasinya tidak langsung di hadapan para oknum itu, melainkan malah berdemonstrasi di negeri sendiri. Padahal oknum-oknum itu ada di Florida sana. Mengenai menyikapi hal yang kita anggap melecehkan, menghina, dan berbagai bentuk provokasi lainnya itu. Secara otomatis, para penganut lembaga yang kitabnya akan dibakar itu pasti akan merasa dihina, dilecehkan. Mari kita berpikir sejenak, gunakan akal sehat dan hati bening. Saat nanti kitab suci itu dibakar, apakah DIA akan marah? Saya rasa tidak. DIA tidak akan memperdulikan hal tersebut. Pelecehan, hinaan seperti apapun tidak akan sedikitpun mempengaruhi DIA, tidak akan sedikitpun mengurangi ke-Maha-Suci-an-Nya, ke-Maha-Besar-an-Nya, ke-Maha-Tidak-Terbatas-an-Nya. Justru yang marah, merasa terhina adalah kita manusia yang mengagung-agungkan kitab suci tersebut. Padahal satu-satunya yang patut diagung-agungkan adalah DIA. Bahkan sebagian besar diantara kita tidak tahu bahwa di masa-masa awal perkembangnya di daerahnya, sudah terjadi kasus pembakaran beberapa versi kitab suci itu, yang pelaksanaannya didukung oleh penguasanya. Dan juga, padahal yang akan dibakar di Florida itu adalah barang yang sudah dibeli oleh mereka (oknum) dengan uang mereka sendiri. Maka hak mereka mau memperlakukan bagaimanapun pada barang yg sudah mereka beli dengan uang mereka sendiri itu. Cara menyikapi yang lain, yang lebih bijak. Jika ya dengan mempelajari dan menerapkan ajaran yang ada di dalam kitab yang kita anggap suci itu, akan membawa diri kita menjadi manusia yang baik, sabar, murah hati, unggul, dsb, maka masih wajarkah jika kita mesti menyikapi rencana pembakaran kitab di Florida sana nanti dengan cara marah, demonstrasi, dsb, apalagi dilakukan di negeri sendiri? Saya rasa jika ya yang diajarkan kitab itu adalah tentang kesabaran, ketenangan bathin, dsb., justru sikap yang harus diambil adalah membalas provokasi pembakaran tersebut dengan sikap ramah, tenang, sabar, atau seminimal-minimalnya bersikap netral (walaupun sikap netral ini pun termasuk dalam sabar, tenang itu). Kita tunjukkan bahwa kita tidak akan marah pada mereka para oknum, justru kita menyayangi mereka, memaklumi ketidaktahuan mereka, memaklumi ketidaksadaran mereka, atau kalau ingin kasar sedikit, memaklumi kegoblokan mereka. Jika ya kitab tersebut mengajarkan kebaikan, maka seharusnya kita buktikan dengan menunjukkan kebaikan, kebaikan yang tidak pandang bulu dan tanpa pamrih, bahkan pada orang yang membenci dan memusuhi kita sekalipun. Bisakah kita bayangkan, saat mereka (para oknum) melihat respon kita yang tenang, sabar? Mungkin para oknum akan mengompori lagi dengan provokasi yang lebih ekstrim. Namun kita mesti tetap tenang dan sabar. Mungkin satu waktu, karena lelah mengompori dan kita tidak merespon seperti yang mereka harapkan, yaitu marah, dsb., para oknum itu akan bingung sendiri lalu berpikir, "lho koq tidak terprovokasi ya... koq tidak marah ya... koq tidak merasa terhina...". Dan akhirnya mungkin mereka akan berbondong-bondong mau masuk menjadi anggota lembaga agama yang memiliki kitab yang dianggap suci tersebut. Bukankah ini yang diharapkan oleh para anggota lembaga agama, agama manapun itu, yang akan senang jika jumlah anggotanya bertambah, yang senang saat orang lain yang tadinya berselisih paham kemudian memutar haluan menjadi sepaham…? Bukankah cara ini jauh lebih baik dan lebih bijak ketimbang merespon dengan cara marah-marah, teriak-teriak menyebut-nyebut sebutan DIA padahal DIA saja diam, dan berdemonstrasi di negeri sendiri, padahal eksekusi pembakaran itu akan dilakukannya di Florida sana oleh sekelompok oknum yang goblok? DIA saja tidak marah, biasa-biasa saja, bahkan tidak merespon sedikitpun… lantas kenapa kita harus marah-marah? Dan kalau kita tetap bersikeras ingin melampiaskan rasa marah dan rasa terhina kita, walaupun pilihan ini tidak lebih baik daripada pilihan di atas, mungkin ini cukup bisa memfasilitasi gejolak nafsu di dalam dada kita. Caranya dengan balas membakar kitab yang dianggap suci oleh para oknum tersebut. Atau juga kalau mau berdemonstrasi, alangkah lebih tepatnya dilakukan di Florida sana, langsung di hadapan para oknum yang goblok itu. Namun hal yang perlu diingat, ini pilihan terburuk. Sudah impas. Masalah selesai. Kehidupan terus berjalan. Dan bahwa yang marah-marah adalah kita-kita manusia, sementara DIA tidak merespon apapun pada tindakan para oknum ataupun pada respon kita terhadap tindakan para oknum. Semoga tulisan ini berguna, tidak lain hanyalah untuk ketenangan, kedamaian di negeri yang kita cintai ini, tanah air Indonesia. Sadarilah, bahwa meskipun kita berbeda lembaga agama, tapi kita semua tetap satu dan sama, manusia, yang menghirup udara yang sama, berpijak di atas bumi yang sama, bernaung di kolong langit yang sama. Ada yang kulitnya merah, kuning, putih, hitam, dll., ada yang rambutnya lurus, keriting, plontos, dll., ada yang keturunan Sunda, Jawa, Minang, Dayak, Arab, Cina, dll., namun bila kita sobek saja beberapa milimeter kulit ini, maka yang akan kita lihat adalah warna darah daging dan tulang yang sama. Maka patut berbanggalah kita pada leluhur negeri ini yang memiliki pedoman-pedoman seperti gotong royong tanpa pamrih, bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa, silih asah silih asih silih asuh. Walaupun pada kenyataannya sekarang pedoman-pedoman tersebut sudah luntur karena yang kita lihat hanya perbedaan-perbedaan di luar / permukaan saja. Di dunia ini hanya ada 2 tipe orang, orang yang baik, dan orang yang jauh dari kebaikan. Semoga semuanya bisa menjadi baik… terjadilah. Damai Indonesia. Damai Bumi. Damai Semesta. ******************************************************************************************************* Demikianlah isi dari coretan pada secarik kertas yang saya temukan dalam tong sampah. Semoga berguna bagi negeri ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia, maupun bagi seluruh penghuni bumi ini, bumi yang satu, bumi yang sesungguhnya tidak ada batasan-batasan wilayah. Damai Indonesia. Damai Bumi. Damai Semesta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun