Mohon tunggu...
Anom B Prasetyo
Anom B Prasetyo Mohon Tunggu... Peneliti, penulis, editor -

Lahir pada 12 Mei 1983. Penulis dan peneliti. Email: kalibenings@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Buruk Ujian Sistem Dicela

30 April 2012   07:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:56 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelibatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), menurut dia, menjadi penting. LPSK amat diperlukan demi menjamin identitas pemberi testimoni di sejumlah daerah. Dalam catatan FSGI, para guru di Garut pelapor kecurangan UN 2007 masih mendapat intimidasi hingga kini. Pelapor dari kalangan guru diancam diturunkan pangkatnya, sementara pelapor dari kalangan siswa diancam dibatalkan kelulusannya. Bagi PNS bahkan diancam dimutasi atau diturunkan pangkatnya. “Intimidasi dilakukan Disdik setempat,” ungkap Listyarti.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri mengakui UN bukan 100 persen parameter kelulusan. UN 60 persen, selebihnya, 40 persen ditentukan dari ujian sekolah. Kewenangan pusat 60 persen, menurut Wakil Menteri Dikbud Musliar Kasim, sudah menjadi ketetapan. “Kalau hanya sekolah yang menentukan, tidak ada yang belajar anak-anak,”katanya, Rabu pekan lalu.

Musliar tak yakin kecurangan UN mudah terjadi, seperti yang dilansir aliansi masyarakat sipil berupa lembar kunci jawaban. “Anda yakin itu kunci soal? Itu belum tentu kunci soal dan belum tentu kecurangan,” Musliar bertanya balik. Ia mengaku sudah mencek sendiri kesiapan soal UN ke percetakan. Soal dibuat sedemikian rupa, bahkan pegawainya pun tidak membaca. Sejumlah pelanggaran yang terjadi menurutnya akan terus diperbaiki. “Untuk itu kita buat pakta integritas buat guru. Guru yang melanggar kena hukuman.”

Namun Koalisi Pendidikan yang kekeuh menuntut penghapusan UN dinilai Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, Rochmat Wahab, terlalu berlebihan. Dalam UN peserta didik dilatih berkompetisi secara fair. Hanya saja, kompetisi dimaksud harus dilakukan secara sehat agar tak menghalalkan segala cara untuk bisa lulus. “Kalau nggak lulus, jangan disalahkan UN-nya,” ujarnya.

Kecurangan UN yang berulang, menurut dia, harus dicari akar masalahnya, kenapa masih ada pihak sekolah yang membocorkan. Pakar pendidikan ini hakulyakin kecurangan terjadi karena pihak sekolah tidak siap. Kendati tak bisa disamaratakan, UN tetap perlu untuk mengukur kompetensi peserta didik. Selain UN, moralitas menjadi bagian penting dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.

Jika seorang siswa ketahuan mencontek, menurut dia, harus diberi sanksi dan bukannya diberi bocoran. Karena itu, UN harus dijalankan secara fair agar tak memberi contoh buruk pada siswa. Menyalahkan sistem pendidikan karena adanya pelanggaran UN, kata perumus naskah akademis UU Sisdiknas ini, “seperti buruk muka cermin dibelah.”[] Anom B Prasetyo

Mingguan Prioritas 30 April 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun