Manusia terlahir sebagai makhluk yang saling bergantung dan selalu bersosialisasi. Adam membutuhkan Hawa begitu juga sebaliknya. Manusia, Allah ciptakan dengan sebaik-baik rupa, sesempurnanya penciptaan dengan akal dan ego. Menjadi penjaga bumi, menjadi pelaksana wahyuNya.
Melihat diri kita sendiri sebagai manusia, kita tak pernah dapat dipisahkan dari manusia yang lain, kita akan selalu terikat. Begitulah hubungan kita dengan sesama manusia yang lain bermasyarakat.
Akan selalu ada ikatan yang menyatukan sesama manusia.
 Yang terkecil ikatan keluarga, ayah ibu dan anak anaknya, lalu hingga keturunannya. Meluas lagi, gabungan dari keluarga-keluarga kecil beserta keturunannya yang sedarah maupun tidak sedarah menjadi Suku.
Kita terikat dengan ikatan suku, Suku Jawa, Suku Madura, Suku Sunda beserta ketentuan-ketentuan adatnya.Â
Terkadang antar suku bisa terjaga baik hubungannya bisa tertolak hubungannya, Suku A tidak boleh menikah dengan suku B, karena alasan-alasan dari para tetua yang telah mereka percayai sejak dahulu.
Lebih luas lagi, kumpulan dari suku-suku, kita terikat dengan ras, serumpun, kemiripan budaya, kemiripan bahasa, walau seringnya kita terpisah karena garis negara. Itu yang paling berpengaruh hari ini. Ikatan kenegaraan. Adat kita mirip, budaya kita senafas, bahasa kita hampir sama. Tapi, ikatan negara telah memisahkan kita yang sebenarnya bisa jadi bersaudara, satu simbah.
Ikatan-ikatan ini seringnya memisah-misahkan kita  dibanding menyatukan. Bukankah ikatan itu mempersatukan? Menjadikan kita satu yang tak terpisahkan.
Tapi terkadang berbeda suku saja kita tak rukun, berbeda keluarga saja kita tak saling percaya, berbeda negara saja kita curiga. Yang terburuk, ketika mereka yang kesulitan hidup, tertindas, teraniaya di belahan negara lain kita tak bisa berbuat apa-apa karena terpisah batas negara. Yang katanya "urusi dulu tanah airmu, baru urusi negara lain". Yang katanya "mereka bukan urusanku, negara mereka berbeda denganku". Tapi, dimanapun  itu mereka juga manusia seperti kita.
Jadi apakah ikatan suku, ras, negara, bangsa itu justru memisahkan kita? Menurunkan kepedulian dan meninggikan egois kita?
Lalu apa ikatan yang bisa mengikat manusia tanpa pandang bulu? Yang benar-benar tak membedakan warna kulit, tak membedakan berdasarkan tempat lahir, adakah itu?
Ada, dan itu dinamakan ikatan akidah, tak sembarangan akidah tetapi akidah Islam. Ikatan yang bahkah bisa  menjadikan mempersaudarakan seseorang tanpa ada hubungan darah, saudara sesama muslim. Saudara satu akidah.
Tapi, apa ada ikatan akidah lain selain akidah Islam?
Ada, ikatan akidah Nasrani yang menggabungkan kerajaan-kerajaan di Inggris Raya ketika mereka bersatu atas nama gereja yang dipimpin oleh Paus di Vatikan yang akhirnya menorehkan sejarah persatuan mereka di bawah panji Perang Salib. Tapi, masihkah mereka bersatu setelah perang salib usai? Tidak, sudah menjadi pemahaman banyak orang bahwa setiap gereja memiliki aturannya masing-masing, perbedaan hari kelahiran Kristus, perbedaan hari natal itu di musim dingin atau musim panas, perbedaan isi kitab Injil dan lain-lain, yang itu urusan dalam agama mereka.
Tapi persatuan akidah Islam, walau telah berlalu beribu abad lamanya, ketika kita diingatkan bahwa kita harus bersatu di bawah panji Islam, tak ada yang ingkar, semua merindukan persatuan itu. Persatuan yang tak membeda-bedakan kita, persatuan yang dimanapun kita berada, ketika kita mengucap 'Assalamu'alaikum' maka akan di jawab dengan 'Wa'alaikumussalam'. Persatuan yang tak memisahkan kita atas dasar tanah dan laut. Persatuan yang justru membawa rahmat bagi semesta Alam. Persatuan hakiki, persatuan terbaik, Persatuan Islam.
Rindukah kamu dengan persatuan ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H