Mohon tunggu...
Ano Darno
Ano Darno Mohon Tunggu... profesional -

just a simple man, usia 30-an, mencari manfaat dan berusaha memberi manfaat melalui tulisan walaupun bukan seorang penulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bukan Yani, Tapi Harto

7 Juni 2012   05:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:18 12475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_185236" align="aligncenter" width="300" caption="Presiden Sukarno dan Jenderal Soeharto (sumber http://dulujaman.blogspot.com/ )"][/caption] Kemarin adalah hari lahir Bung Karno, lahir 6 Juni 1901 di Surabaya (ada versi lain yang menyatakan di Blitar). Dan besok adalah hari lahir Pak Harto, lahir 8 Juni 1921 di Godean Yogyakarta. Dua orang tokoh besar Indonesia yang sama-sama berzodiak gemini dan sama-sama pernah menjadi presiden di republik ini dalam waktu relatif lama dibanding para penerusnya. Banyak cerita mengenai dua tokoh tersebut yang sudah banyak beredar baik dalam bentuk buku maupun dalam bentuk artikel dan tulisan-tulisan di internet. Dari sekian banyak cerita mengenai dua tokoh besar itu, ada satu kisah yang cukup menarik dan belum banyak terungkap. ******* Kisah ini berdasarkan kesaksian Ki Utomo Darmadi yang diceritakan kepada Bung Roso Daras (Penulis buku tentang Bung Karno). Ki Utomo Darmadi adalah purnawirawan Kapten TNI AD dan lama bertugas sebagai anggota ajudan Presiden Sukarno. Beliau juga merupakan adik satu ayah dari pahlawan pemberontakan PETA Blitar, Supriyadi. Dari kesaksiannya terungkap bahwa Bung Karno secara sadar ataupun tidak disadari pernah dua kali meramal bahwa Soeharto lah yang akan menggantikan posisi dirinya sebagai presiden RI. Yang unik, ramalan Bung Karno itu justru dilakukan jauh-jauh hari sebelum peristiwa G 30 S terjadi. [caption id="attachment_185242" align="alignleft" width="180" caption="Ki Utomo Darmadi (sumber http://rosodaras.wordpress.com/ )"]

1338621411484369455
1338621411484369455
[/caption] Ramalan pertama terjadi di pertengahan tahun 1963. Saat itu Mayjen Soeharto telah selesai mengemban tugas sebagai Panglima Komando Mandala dalam Operasi Trikora, dengan misi tunggal merebut Irian Barat. Tugas itu membawa hasil gemilang dengan kembalinya Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Selanjutnya Bung Karno menggelorakan Operasi Dwikora dengan misi mencegah terbentuknya negara Federasi Malaysia, karenanya operasi itu lebih dikenal dengan Operasi Ganyang Malaysia. Untuk mendukung Operasi itu, Bung Karno membentuk Komando Siaga (Koga) dan yang diangkat menjadi panglima adalah Laksamana Madya Udara Omar Dani. [caption id="attachment_185245" align="alignleft" width="180" caption="Laksamana Madya Udara Omar Dani (sumber: Wikipedia)"]
133862192563020873
133862192563020873
[/caption] Namun rupanya pengangkatan Omar Dani sebagai Panglima Koga membuat Soeharto kecewa. Soeharto nampaknya mengharapkan dirinya lah yang diangkat sebagai Panglima Koga. Mungkin Soeharto ingin mengulang kesuksesannya sebagai Panglima Komando Mandala dalam merebut Irian Barat. Tapi Bung Karno tentu sudah memiliki pertimbangan lain dalam mengangkat Omar Dani. Sebagai bentuk kekecewaan, Soeharto mengajukan pengunduran diri dari dinas militer. Untuk itu, dia menghadap Presiden Sukarno dan mengajukan pengunduran dirinya. Bung Karno kemudian bertanya kepada Soeharto, "Nek pensiun, trus kowe arep dadi opo?”(kalau pensiun, lalu kamu mau jadi apa?) Soeharto menjawab: "Menawi kepareng, kulo purun dados gubernur Irian Barat” (kalau diizinkan, saya sanggup jadi Gubernur Irian Barat). Tetapi Bung Karno menolak pengajuan itu, dan berkata kepada Soeharto: "Ora Har... kowe ojo dadi gubernur... terus tirakat... kowe mengko dadi sak nduwure gubernur" (tidak Har... kamu jangan jadi gubernur... terus lah tirakat... kamu nanti akan jadi di atas gubernur). Itulah "ramalan" pertama Bung Karno kepada Soeharto. Dalam konteks teritorial, jabatan pimpinan di atas gubernur adalah presiden. Sejarah kemudian mencatat, Soeharto terus berkarir di militer hingga jatuhnya Presiden Sukarno. Ramalan ke dua terjadi pada tahun 1964 pada suatu sidang kabinet yang juga dihadiri oleh beberapa petinggi militer seperti Brigjen Jamin Ginting, Brigjen Juhartono, Mayjen Sukowati, dan juga Mayjen Soeharto. Pada sesi istirahat, Presiden Soekarno secara santai bertanya kepada Menteri Penerangan, Mayjen Achmadi: "Mad, menurutmu yang nanti mengganti saya siapa?" Kemudian Achmadi menjawab spontan: "Mas Yani, Bung!" (maksudnya adalah Menpangad, Letjen Ahmad Yani). Tanpa diduga, Bung Karno melotot dan berkata: "Bukan, bukan Yani! tapi itu tuh, yang mengenakan celana kombor". Bung Karno bicara begitu sambil melirik ke arah Soeharto yang ada di sudut ruang yang lain, agak jauh dari posisi Bung Karno dan Achmadi. Inilah ramalan ke dua Bung Karno tentang Soeharto. [caption id="attachment_185244" align="alignleft" width="180" caption="Letjen (TNI) Ahmad Yani (Sumber: Wikipedia)"]
1338621576740859376
1338621576740859376
[/caption] Pada sidang kabinet tersebut nampaknya Soeharto mengenakan seragam PDL, sehingga Bung Karno menyebutnya yang memakai celana kombor (longgar). Usai kejadian itu, sejumlah petinggi Angkatan Darat di Front Nasional banyak yang memperbincangkannya. Tidak sedikit yang memandang remeh Soeharto dengan mengungkit pendidikan formalnya yang rendah. Di samping ada juga yang mengingatkan dengan mengatakan bahwa Bung Karno memiliki ilmu ladunni (kemampuan melihat sesuatu yang belum terjadi). Bung Karno mungkin hanya bermaksud menghibur untuk meredakan kekecewaan Soeharto ketika mengucapkan: "Kamu akan jadi di atas gubernur". Kemudian anggaplah memang Bung Karno memiliki ilmu ladunni, dan di suatu hari di tahun 1964 mendapat "petunjuk" bahwa Soeharto lah yang akan menggantikan dirinya sebagai presiden RI. Ketika mendapat "petunjuk" tersebut, tentunya Bung Karno merasa heran dan tidak percaya. Sebab bagaimanapun juga, Soeharto -(setidaknya hingga 1 Oktober 1965)- tidak termasuk jenderal yang diperhitungkan untuk memegang tampuk pimpinan nasional, terlebih menjadi presiden. Lain halnya dengan Yani yang secara emosional memiliki kedekatan pribadi dengan Bung Karno. Setelah mendapat "petunjuk" tersebut, Bung Karno malah berkata -walaupun hatinya mungkin masih belum percaya- kepada Mayjen Achmadi bahwa Soeharto lah yang akan menggantikan dirinya sebagai presiden RI. ******* Dari rangkaian peristiwa di atas, terlepas dari betul/tidak atau akurat/tidaknya penuturan Ki Utomo Darmadi, pelajaran yang dapat kita ambil adalah tentang pentingnya menjaga ucapan. Jangan pernah anggap remeh setiap ucapan yang kita lontarkan, terlebih jika ucapan itu menyangkut orang lain. Sebab pada hakekatnya setiap ucapan tentang orang lain adalah do'a.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun