Mohon tunggu...
Mohammad Imam Farisi
Mohammad Imam Farisi Mohon Tunggu... Dosen - Pendidikan IPS

FKIP Universitas Terbuka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bumikan Sains untuk Masyarakat

31 Mei 2022   10:31 Diperbarui: 31 Mei 2022   10:39 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan kata lain, publikasi ilmiah sesungguhnya merupakan panduan simbolisasi antara "memelihara tradisi akademik" (maintain academic tradition) dan "unjuk prestasi dan kebanggan akademik" (show academic achievement and pride). Karena itu, tidak heran jika para penulis "berlomba-lomba" untuk mempublikasikan karya-karya ilmiahnya ke jurnal ilmiah dan/atau prosiding yang terakreditasi nasional dan/atau bereputasi internasional; memiliki indeks sitasi yang tinggi; dan memiliki faktor dampak (impact factor) yang bagus. Atau lazim disebut "scientometric approach" (Wikipedia). Fenomena inilah yang sejak awal 2000an menjadi paradigma baru dalam menilai derajat "scholarliness" sebuah karya akademik.

Namun demikian, tidak semua pakar sepakat bahwa tingkat "scholarliness" sebuah karya akademik didefinisikan dan dinilai hanya semata-mata berdasarkan pada tempat artikel tersebut diterbitkan (jurnal elite/bereputasi atau tidak), dan pada penggunaan index dan impact factor jurnal. Diakui atau tidak, disadari atau tidak, sistem ini telah menciptakan elitisme dalam tradisi publikasi akademik (Lee, 2012; Round & Miller, 2005). Bahkan, dalam American Society of Cell Biology tahun 2012 dalam deklarasinya berjudul "San Francisco Declaration on Research Assessment: Putting Science into the Assessment of Research (DORA)" menegaskan bahwa pendekatan impact factor jurnal "has its deficiencies and should not be used for the quality assessment of scientific research." (Dani, 2018: 20).

Pada titik ini, para elite intelektual sesungguhnya juga memiliki kewajiban akademik dan moral untuk "membumikan" dan "mendekatkan" sains kepada seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya kepada lapisan tertentu melalui publikasi/diseminasi yang tidak hanya terbatas pada jurnal/pertemuan ilmiah. Makna publikasi/diseminasi harus diperluas, menjangkau ke media-media publikasi/diseminasi yang bisa diakses oleh semua orang, dari segala lapisan. Seperti media massa, jurnalisme publik (citizen journalism), media-media sosial, dan berbagai platform media popular lainnya.

Sudah saatnya media-media popular seperti itu menjadikan ruang dan media publikasi para pakar, agar hasil-hasil pemikiran/penelitian mereka lebih terpublikasi/terdiseminasi, dan tidak hanya dikonsumsi oleh kalangan yang sangat terbatas, dan/atau hanya teronggok di ruang-ruang perpustakaan, yang disinyalir merupakan pemborosan besar hasil riset (Hamid, 2016).

Apalagi, di era keterbukaan informasi digital saat ini, semua media cetak popular telah memiliki platform digital. Di samping media-media sosial dan jurnalisme publik yang disediakan oleh koorporasi media seperti Kompas, Tempo, dll. Semuanya sudah membuka ruang bagi akademisi yang ingin menulis berbagai hal terkait fenomena dan realitas keseharian kehidupan masyarakat (politik, ekonomi, sosial, budaya, dll.). Bahkan, saat ini kedudukan peran media-media seperti ini telah menjelma menjadi "media tandingan" bagi media massa arus utama, dan muncul sebagai kelompok/kekuatan penekan (Farisi, 2022).

Para elite intelektual (pakar, peneliti, ilmuwan, ahli) sudah saatnya memiliki kemauan, kesadaran, dan komitmen untuk melakukan "Politik Media Sosial" (Farisi, 2021), memperbanyak publikasi hasil pemikiran/riset dalam bentuk catatan, opini, kolom, analisis dan semacamnya yang tersedia di media-media popular sebagai ruang pencerahan demokratis dan berkeadaban yang mampu menciptakan warga negara (citizen) dan warganet (netizen) beradab sebagai basis network society. Dibandingkan dengan model-model pengembangan yang ada (Abbassi, 2003; Riel & Polin, 2004; Teodorescu et al., 2012), publikasi popular melalui media-media ini merupakan model paling mudah dan sederhana dalam ikhtiar untuk membangun knowledge-based community.

Jika hal ini terjadi, miskinnya komunikasi sains antara pakar dan masyarakat di Indonesia dapat diantisipasi. Ruang-ruang di media popular pun tidak lagi diisi oleh para oportunis untuk menyebar hoaks, disinformasi, dll. Sebuah fenomena yang digambarkan oleh Tom Nichols sebagai era "The Death of Expertise" (2017). Sebuah era yang mengampanyekan perlawanan terhadap ilmu pengetahuan yang telah mapan. Ditandai oleh rongrongan secara eksploratif dan massif atas otoritas para ahli, dan sentimen anti-keahlian dan anti-intelektualisme, yang tentu sangat berbahaya bagi kehidupan intelektual atau kecendekiaan.

The death of expertise harus menjadi peringatan keras atas stabilitas dan kelangsungan hidup tradisi agung universitas di era informasi, yang suatu saat akan runtuh, jika para akademisi tidak merawat keagungan khasanah intelektual dalam bentuk kehadirannya secara intelektual, memberikan pencerahan kepada masyarakat di ruang-ruang media publik, yang sesungguhnya menjadi tujuan akhir dari semua ikhtiar intelektual mereka.

Komitmen dan kesadaran untuk turun dari singgasana dan berbagi hasil pemikiran/riset tentang fenomena dan realitas masyarakat melalui publikasi populer, juga diharapkan dapat menghindarkan para akademisi agar tidak melulu fokus pada 'terdengar pintar' daripada membumikan sains pada masyarakat" (Junaedi, 2021); dan agar terhindar dari "kutukan pengetahuan" (curse of knowledge) (Kennedy, 1995) yang menyebabkan komunikasi sains antara pakar-masyarakat semakin tidak terjembatani, karena masyarakat sulit untuk memahami isi tulisan mereka. Kutukan ini terjadi sebagai akibat dari bias pikir para akademisi yang lebih berorientasi pada "perspektif kepakaran" dengan gaya dan pilihan kata penuh jargon, esoteris, simbolis, dan semacamnya, daripada "perspektif keawaman" dengan gaya dan pilihan kata yang lebih memasyarakat, mudah dipahami.

Namun demikian, komitmen dan kesadaran personal maupun kolektif dari para akademisi tidak banyak berarti, manakala kebijakan-kebijakan baik di tingkat kementerian maupun institusi/Lembaga kurang mendukung. Sebagai gambaran, bisa dilihat pada sejumlah peraturan seperti Permendikbud No 92/2014 (beserta PO-PAK 2013, dan PO-PAK 2019).

Dalam Permen tersebut, pemerintah memberikan perhatian lebih pada dosen yang berhasil mempublikasikan karya ilmiah di jurnal nasional terakreditasi (Sinta 1 sd. 6) atau jurnal internasional bereputasi (terindeks Scopus, Wos) diganjar angka kredit antara 10---40 AK. Sedangkan karya ilmiah popular yang dipublikasikan di koran/majalah popular/umum hanya diganjar angka kredit 1 AK. Itupun jumlahnya dibatasi paling banyak 5% dari angka kredit unsur penelitian untuk pengajuan ke semua ienjang. Belum lagi jika ada insentif/reward yang disediakan oleh institusi peneliti bagi mereka yang berhasil mempublikasikan karya-karya ilmiahnya di jurnal/prosiding nasional dan/atau internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun