Kedua, meta-analisis bermanfaat untuk menyusun peta penelitian (roadmap) untuk topik-topik tertentu dari suatu bidang keilmuan, untuk selanjutnya memetakan state of the art (SoTA) dari topik atau bidang kajian tertentu. SoTA juga seringkali digantikan dengan istilah “Cutting Edge” atau “Leading Edge” yang berarti “the most current research in a given area or concerning a given topic. It often summarizes current and emerging practical trends, research priorities and standardization in a particular field of interest” (Elsevier.com)”. Kegiatan ini lazim dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap kegiatan penelitian, tatkala seorang peneliti menyusun Latar Belakang dan Tinjauan Pustaka (literature review) (Susanto, 2021).
Ketiga, meta-analisis bermanfaat untuk merumuskan generalisasi dan/atau teori ilmiah terkait dengan suatu bidang kajian dari disiplin ilmu, sebagai penemuan baru (novelty/ies). Mengutip Cooper dan Hedges (1994), meta-analisis ini ibarat pembuat batu bata dan hodcarrier dari serikat ilmu pengetahuan, yang tugas utamanya adalah menata batu bata sesuai dengan rencana dan menerapkan mortar yang menyatukannya menjadi sebuah struktur bangunan keilmuan yang utuh, terintegrasi.
Dengan kata lain, meta-analisis merupakan ikhtiar ilmiah untuk merumuskan simpulan-simpulan yang lebih general hingga pada tataran teori melalui teknik inventori proposisi. Dengan teknik ini, limpahan informasi/pengetahuan dengan segala keberagamannya yang secara parsial dan diferensial diperoleh dari penelitian-penelitian individual, yang mungkin saja beberapa diantaranya belum dimanfaatkan, bisa diberikan “makna lebih.” Hal mana sulit, bahkan tidak mungkin untuk dilakukan dan dicapai dengan metode riset yang lain (Rogers, 2003)
Keempat, membantu pada pimpinan atau pengambil kebijakan dalam membuat kebijakan atau keputusan berbasis riset. Meta-analisis bisa menyediakan bukti-bukti penelitian yang sudah terkonfirmasi yang dapat dijadikan dasar pijakan kuat untuk merumuskan keputusan/kebijakan atau masalah-masalah praktis (Dias, et al., 2018).
Beberapa Eksemplar Meta-Analisis
Dalam konteks keilmuan, manfaat kedua dan ketiga lah yang terkait langsung dengan kisah penemuan ilmiah. Dalam tulisan ini, akan difokuskan pada butir kedua yaitu meta-analisis untuk tujuan menemukan dan merumuskan generalisasi dan/atau teori ilmiah, yang merupakan salah satu unsur dari paradigma (Kuhn, 1970).
Kajian ini sangat penting, karena dalam sejumlah studi meta-analisis, aspek kedua ini jarang diungkap. Padahal, ada sejumlah meta-analisis dari para peneliti/pakar yang berhasil merumuskan generalisasi-generalisasi berbasis meta-analisis. Diantaranya adalah karya Gardner, Rogers, dan Fullan.
Howard Gardner dalam karyanya Frames of Mind (1983) dan Intelligence Reframed (1999) mengajukan teori bahwa belajar terjadi melalui banyak tipe kecerdasan atau “kecerdasan majemuk” (multiple intelligences). Teori Gardner ini merupakan penemuan baru dalam konseptualisasi dan asesmen kecerdasan manusia, sekaligus menantang teori kecerdasan kognitif sebelumnya dari Jean Piaget (2000), yang dipegang secara luas di kalangan ahli kognitif. Bahwa kecerdasan manusia merupakan bawaan sejak lahir, dan merupakan kapasitas umum tunggal yang dimiliki setiap individu.
Teori Gardner ini merupakan hasil meta-analisis (walaupun Gardner tidak secara tegas mengatakan) atas opini, kumpulan anekdot, dan laporan dari sejumlah besar projek ilmiah menarik yang saat itu (mungkin juga saat ini) sedang berlangsung di berbagai laboratorium psikologi. Garder juga mengkaji banyak data dari hasil penelitian ilmu saraf, antropologi, sastra biografi, sejarah, pendidikan, humaniora, dan disiplin ilmu lainnya. Selain juga dilengkapi dengan hasil penelitiannya sendiri yang diperoleh melalui wawancara dan penelitian tentang cara kerja otak pada ratusan orang. Termasuk korban stroke, anak berbakat, penderita autis, dan apa yang disebut “savants idiot”.
Karl R. Rogers (2003) dalam karyanya yang monumental “Diffusion of Innovations”. Dalam teorinya tersebut, Rogers membangun teori tentang apa, mengapa, bagaimana gagasan-gagasan dan teknologi baru (inovasi) bisa tersebar dan diterima (difusi dan adopsigeneralisasi) oleh masyarakat. Menurutnya ada lima unsur yang mempengaruhi cepat-lambat difusi dan adopsi sebuah inovasi, yaitu atribut-atribut inovasi itu sendiri, karakteristik penerima (adopter), kanal-kanal komunikasi, waktu (tahapan sejak difusi awal hingga konfirmasi), dan sistem sosial.