Mohon tunggu...
Mohammad Imam Farisi
Mohammad Imam Farisi Mohon Tunggu... Dosen - Pendidikan IPS

FKIP Universitas Terbuka

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hidup Adalah Pertarungan Untuk "Eksistensi atau Ko-eksistensi?"

29 Desember 2021   08:45 Diperbarui: 30 Desember 2021   08:14 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kuhn: Revolusi Sains dan Perubahan Paradigma

Thomas S. Kuhn adalah ilmuwan ketiga yang menegaskan bahwa hidup adalah sebuah perjuangan atau pertarungan untuk bisa bertahan dan melanjutkan hidup. Khususnya terkait dengan kehidupan sains dan tradisinya. Situasi anomali dan kesadaran terhadapnya memainkan peran penting bagi terjadinya penemuan dan perubahan paradigma. Dalam situasi anomali ini pula, terjadi pertarungan, pergulatan, atau kompetisi antar-paradigma. Sebuah pertarungan hidup-mati yang sarat kompetisi dan konfrontasi antara "paradigma lama" (existing paradigm) yang sedang menghadapi krisis keilmuan dan kepercayaan, dengan "calon-calon pengganti paradigma" (alternate candidate of paradigms) yang menawarkan perspektif baru, segar, dan lebih akurat dalam menghadapi krisis dan memecahkan masalah dan teka-teki keilmuan.

Tesis ini dapat ditelisik dari pernyataan Kuhn, bahwa "tradisi sains normal yang muncul dari sebuah revolusi ilmiah (new paradigm, extraordinary science, atau dominant theory) tidak hanya tidak sesuai, tetapi seringkali benar-benar tidak dapat dibandingkan dengan apa yang telah terjadi sebelumnya (paradigma lama)" (The normal-scientific tradition that emerges from a scientific revolution is not only incompatible but often actually incommensurable with that which has gone before) (Kuhn, 1970: 103).

Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai prinsip "ketidaksebandingan paradigma" (incommensurability of the normal-scientific traditions). Ketidaksebandingan antar-paradigma ini dikarenakan dua hal, yaitu setiap paradigma memiliki masalah dan enigma keilmuan berbeda untuk dipecahkan, dan standar keilmuan dan/atau definisi sains di antara paradigma tersebut juga tidak sama. Karena itu, bagi Kuhn, di era sains normal hanya ada satu paradigma (single paradigm) yang berjaya dan unggul. Bahwasanya, dalam setiap episode perubahan paradigma, selalu bersifat "menghancurkan" (destructive) sekaligus "membangun" (constructive). Menghancurkan/menggantikan paradigma lama, dan membangun paradigma baru yang lebih handal memecahkan masalah-masalah keilmuan.

Teori revolusi keilmuan Kuhn pun, tak lepas dari kritik, seperti disampaikan oleh Laudan (2012); Weinberg (1998); serta Popper, Feyerabend dan Laktos (1970), di dalam sebuah kolukium internasional yang secara spesifik membahas dan membedah logika penemuan Kuhn. Namun, lepas dari pro dan kontra terhadap teori Kuhn, kita tidak dapat memungkiri bahwa teori ini telah banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu dan kehidupan. Walaupun teori ini banyak mengambil contoh kasus dalam ilmu-ilmu kealaman dan bidang yang ditekuni oleh Kuhn, tetapi teori telah menginspirasi dan digunakan oleh para ilmuwan dalam wilayah ilmu sosial humaniora untuk memahami dinamika yang terjadi di internal masing-masing disiplin ilmu.

Tiga ilmuwan dan teorinya di atas menegaskan bahwa hidup tidaklah linear, melainkan dinamis, penuh lika-liku perjuangan, pertarungan atau kompetisi. Mereka bisa bertahan hidup dan melanjutkan keturunan jika mampu menjadi pemenang dalam proses "seleksi alam" (Darwin), "perjuangan kelas" (Marx), atau bisa mengatasi "situasi anomali dan krisis" (Kuhn) yang penuh dengan turbulensi kehidupan.

 

Kehidupan adalah Ko-eksistensi  

Namun demikian, tampaknya tidak semua ilmuwan memiliki dan mengembangkan pemikiran dualisme yang mengedepankan arti pertarungan, pergulatan, kompetisi, atau persaingan. Banyak juga ilmuwan yang menawarkan pemikiran yang mencoba mencari linkage atau pertautan atas dasar kebersamaan, kolaboratif, ko-eksistensi antarindividu, antarklas, dll.

Mereka antara lain Piaget dengan teori konstruktivisme kognitif (skemata); Vygotsky (1979) dengan teori konstruktivisme sosial yang terkenal dengan teori "Zone of Proximal Development"; Ritzer (1975) dengan teori Sosiologi sebagai Sains Berparadigma Ganda; Capra (2000) dengan teori ekologi holistik-integratif dan menolak pandangan mekanistik Cartesian-Newtonian; Brameld (1956) dengan teori rekonstruksionisme; atau Giddens (2000) dengan teori strukturasinya.

Bagi mereka para proponen ko-eksistensi, semua kehidupan di bumi terhubung dan terkait satu sama lain, membentuk sebuah mahasistem kehidupan. Perubahan yang terjadi pada salah satu aspek niscaya berdampak pada aspek-aspek yang lain. Realitas itu sejatinya merupakan suatu sistem, yang tercipta dari relasi-relasi simbiotik di antara berbagai unsur di dalam sistem secara keseluruhan, dan dari berbagai perspektif secara terpadu. Di alam nyata, segala sesuatunya saling berkaitan terus-menerus selama-lamanya. Tak ada garis pemisah yang tegas antarfenomena (fisikal, biologis, sosial, dll.). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun