Mohon tunggu...
Mohammad Imam Farisi
Mohammad Imam Farisi Mohon Tunggu... Dosen - Pendidikan IPS

FKIP Universitas Terbuka

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sekali Lagi Novelty(ties): Menemukan dan Memaknai Kebaruan

24 Desember 2021   10:04 Diperbarui: 24 Desember 2021   10:11 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sains Normal dan Kebaruan

Menarik pernyataan Thomas S. Kuhn kaitan antara “sains normal” (normal science) dan “kebaruan” (novelty/ties). “Normal science does not aim at novelties of fact or theory and, when successful, finds none” (Kuhn, 1970: 52).

Sains normal (SN) atau normal science adalah tahapan akhir (sekaligus awal) dalam siklus revolusi keilmuan ala Kuhn (1970). SN adalah pemecah teka-teki keilmuan (normal science as puzzle-solving) (p.41). SN adalah periode perkembangan sains yang ditandai oleh aktivitas keilmuan yang bersifat kumulatif (a highly cumulative enterprise) atas dasar paradigma tertentu (tunggal atau jamak). Sifat akumulatif dari SN ini, hanya mengizinkan peneliti untuk mengumpulkan dan memperluas iktiar keilmuan di seluruh wilayah paradigma atas dasar metode keilmuan yang baku atau standar, yang disepakati dan dipraktikkan bersama oleh komunitas ilmuwan. SN tidak hanya meningkatkan keterampilan profesionalisme para peneliti, tetapi juga menyediakan konstruksi instrumen, kosakata dan konsep yang esoteris.

Di satu sisi, paradigma sains normal mampu menyediakan segala aspek substantif dan sintaktik-metodologis keilmuan yang dibutuhkan oleh setiap peneliti untuk memastikan/meyakinkan mana masalah dan fakta yang penting dan signifikan untuk dicari dan dipecahkan secara lebih akurat, professional, dan ilmiah. Di sisi lain, paradigma sains normal semakin mengarah pada pembatasan yang sangat besar terhadap visi ilmuwan, dan semakin resisten terhadap perubahan paradigma. Ilmu pengetahuan pun menjadi semakin kaku, dan dogmatis. 

Jika seorang peneliti mendekati masalah dengan paradigma tertentu, maka sejatinya dia sudah terlebih dahulu membangun asumsi-asumsi, hipotesis-hipotesis, jauh sebelum dia turun ke lapangan dan mengumpulkan data. Akibatnya, terjadilah “bias teori,” “bias paradigma”, karena paradigma telah membingkai peneliti secara ketat dan terpola mengenai realitas dengan segala fenomena yang terdapat di dalamnya (to force nature into the conceptual boxes supplied by professional education) (Kuhn, 1970: 5).

Di dalam paradigma sains normal, para ilmuwan dan komunitasnya akan menjadi sosok “the not-too-critical professional”. Mereka telah kehilangan “intrinsic interest”, “common-sense prototype”, “sense of crisis” di dalam dirinya, yang sesungguhnya merupakan instrumen utama untuk melihat dan menemukan kebenaran. 

Paradigma sains normal tidak akan mengarahkan peneliti untuk mengejar dan menemukan hal-hal baru (masalah dan fakta). Alih-alih, ia akan menekan peneliti agar selalu mengikuti arahan paradigma. Setiap ada “hal-hal baru yang mendasar” (fundamental novelties) pun, paradigma akan senantiasa menekannya agar tidak melakukan tindakan yang dapat menjatuhkan kekuasaannya yang sah, dengan segala komitmen dasar yang melekat di dalamnya. “Normal science, a pursuit not directed to novelties and tending at first to suppress them, should nevertheless be so effective in causing them to arise” (Kuhn, 1970: 64).

Penggambaran Kuhn tentang fenomena kontekstual dari paradigma sains normal seperti ini sangat ditentang oleh Popper dalam tulisannya, ”Normal Science and Its Dangers” (Popper, 1970). Bahkan, dia mengingatkan pemaknaan seperti itu berbahaya, tidak hanya terhadap kehidupan sains dan komunitas keilmuan itu sendiri, yang sejatinya dilandasi oleh karakter “kritis”, tidak sepenuhnya “dogmatis”. Ia juga berbahaya bagi peradaban manusia. Dalam kehidupan sains, kata Popper, “…we have made genuine progress: that we know more than we did before” (p. 3).

Keberatan yang sama juga pernah terjadi pada penggunaan istilah “publish or perish” (publikasi atau binasa), karena dianggap tidak mendeskripsikan secara akurat tentang akademisi dan kehidupan mereka, juga bukan nasihat yang baik bagi akademisi. Namun demikian, seperti dinyatakan oleh Carmen Delgado (2020), sesungguhnya di balik itu, ada misi atau pesan lebih substantif yang bermanfaat. Yaitu, agar peneliti/penulis anggota komunitas keilmuan dan profesional (scientific or professional community) memiliki kesadaran, kemauan, dan komitmen yang kuat untuk mempublikasikan karya-karya akademik.

Hal sama berlaku pula pada pemaknaan sains normal. Jika benar tekanan paradigma sains normal atas komunitas ilmuwan dan kebaruan yang dihasilkan terus terjadi dan meningkat, maka akan berlaku hukum ke-3 Newton (hukum aksi-reaksi), “gaya aksi dan reaksi dari dua benda memiliki besar yang sama, dengan arah terbalik, dan segaris”. Bahwa semakin keras tekanan yang diberikan oleh paradigma, maka semakin keras pula perlawanan terhadapnya, dan penemuan baru pun niscaya tak terhindarkan. Terutama Ketika paradigma sains normal dihadapkan pada situasi anomali dan krisis.

Bagaimana Menemukan Kebaruan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun