cerpen Kuntowijoyo yang terbit tahun 2016. Cerpen ini secara keseluruhan menceritakan bagaimana perbedaan dua sudut pandang mengenai hidup atau cara menjalaninya beserta bentuk perlawanan antara satu dengan yang lain dan seperti apa itu mulai memengaruhi pola pikir seseorang. Di dalamnya juga terdapat banyak bagian menyinggung masalah stereotip gender terutama oleh tokoh ayah “Buyung”. Tidak lupa juga dibubuhi konflik antara tokoh “Buyung” dengan kedua orang tuanya.
"Dilarang Mencintai Bunga-bunga" merupakan salah satu dari kumpulanBuyung digambarkan sebagai seseorang yang penuh akan rasa ingin tahu seperti yang ditunjukan di awal konflik dimana dirinya berniat mencari tahu tentang kebenaran sang kakek, tetangganya, yang dinilai keramat dan tidak banyak diketahui oleh orang-orang sekitar. Selain itu juga menampilkan sosok yang mudah terpengaruh karena seperti yang kita tahu, Buyung menggambarkan seorang ‘anak’ yang masih perlu sekolah dan pergi mengaji.
Sifat yang mudah terpegaruh terlihat saat dirinya baru pertama kali bertemu dengan sang kakek namun langsung akrab seakan berkenalan dengan teman sebaya. Ia juga menerima dengan mudah perkataan-perkataan teman tuanya itu seperti bagaimana ia menurut untuk sering datang ke rumah berpagar tingginya, menangkap apa yang dikatakannya tentang “hidup harus penuh dengan bunga-bunga, tidak peduli dengan hirak-piruk dunia.” Dengan bukti membawa bunga ditangannya setelah pulang dari sana.
Terakhir, watak yang bisa dibilang sering nampak ialah seperti anak-anak pada umumnya, yaitu menentang ketika dikekang, membrontak jika orang tuanya memaksa kehendak, namun akhirnya memilih tetap tunduk dan patuh kerena terlampau takut dan segan. Contohnya pada bagian terakhir ketika sang ayah bertanya “Untuk apa tamgam ini, Buyung?", dan seketika Buyung menjawab “Kerja!” seperti apa yang diharapkan dan pandangan sebenernya tentang hidup menurut ayahnya. Bahkan di akhir cerita, buyung seperti memutuskan untuk memilih ayah kerja bengkel dan ibu mengaji masjid karena terdapat kalimat “Bagaimanapun, aku adalah anak ayah dan ibuku.”
Seperti yang disinggung tadi, kita bisa melihat bagaimana tokoh ayah Buyung dibuat keras, berintonasi tinggi, selalu menentang apa yang tidak sejalan dengannya. Seperti saat Buyung yang selalu membawa bunga dan dimarahinya, dibuangnya bunga itu, dan lagi sering kali ditampilkan bahwa sang ayah ini tipe orang yang memagang teguh prinsip hidup untuk kerja dan kerja seperti paham kapitalisme. Selain itu, seperti yang dibahas pertama kali, tokoh ayah Buyung ini juga sangat percaya akan stereotip gender yang mana beberapa kali ia menentang perilaku putranya yang tidak nampak sebagai ‘lelaki’ dalam pandangannya.
“Laki-laki tidak perlu bunga, Buyung. Kalau kau perempuan, bolehlah. Tetapi engkau laki-laki!” adalah salah satu bagian yang menampilkan kebekuan gender pada cerpen ini. Kebekuan-kebekuan ini ditunjukkan lewat dialog tokoh ayah Buyung, seperti pada kutipan lain; “Lelaki itu mesti di luar kamar.”, dan “Engkau laki-laki. Enkau seorang laki-laki. Engkau mesti kerja.”. Dari sini sehingga bisa terlihat bahwa selain mengenai arti hidup yang penuh ketenangan jiwa dan keteguhan batin dengan hidup untuk kerja dan kerja, keinginan Buyung dengan pandangan atau prinsip “lelaki” menurut ayahnya menjadi pertentangan antara keduanya.
Setelah dua tokoh di atas, masih terdapat tokoh yang tak kalah penting pula yaitu sang kakek. Tokoh kakek ini dibuat agar adanya unsur perbandingan dengan tokoh ayah Buyung. Juga ditambah kata-katanya yang penuh akan makna konotasi namun bisa dipahami maksud dari setiap kata per kata, yang mana bertujuan membingbing, ‘menceramahi’, membuka pikiran tokoh Buyung agar ikut ke ‘jalan’ yang ia lalui.
Seperti kalimat ucapan sang kakek yang sampai harus Buyung tanyakan pada orang tuanya, “Katakanlah, apa yang lebih baik daripada ketenangan jiwa dan keteguhan batin?”, menandakan bahwa tokoh kakek di sini memiliki pengaruh pada tokoh Buyung. Selain kata-katanya yang penuh akan teka-teki makna yang bisa menarik kita pada maksud-maksud tertentu, tokoh kakek sering menghubungkan tanda dengan maksud di dunia nyata tanpa dikenali apa itu makna kias atau sebenarnya.
Untuk maksud kalimat-kalimat sang kakek sendiri bisa disimpulkan bahwa dalam pandangannya, kebahagiaan itu ada di dalam jiwa dan ketenangan batin. Hidup itu permainan dan segala hiruk-pikuk dunia hanya menipu diri. Itu datanh dari dorongan nafsu, hasrat, dan ambisi, dan inilah yang justru menjadikan manusia gelisah, kasar, dan menderita. Hiduplah seperti bunga, yang terus mekar tanpa perduli pada hal-hal di luar, hadapi semuanya dengan terseyum. Apa pun yang kita hadapi di luar selalu akan mendatangkan kebahagiaan jika jiwa kita tenang.
Dari analisis tokoh dan penokohan di atas, dapat terlihat bahwa Kuntowijoyo berhasil membuat karya sastra bernilai tinggi. Kehadiran tokoh Buyung, ayahnya, dan sang kakek menjadikan cerpen ini membawa suatu pesan lewan sintesis antar-hal yang bertentangan, sehingga menjadi suatu kelebihan bagi cerpen ini karena memiliki salah satu ciri dari entitas sastra yang baik. Dapat terlihat bahwa dengan adanya pertentangan hingga perbandingan dari dua pandangan, membuat cerpen ini bisa memberi pembelajaran dan pesan secara jelas pada pembaca.
Yakni dalam hidup kita dapat membuat pilihan sesuai dengan apa yang kita percaya, apa yang kita suka, dan membawa guna. Namun tentu, baik pandangan pertama atau kedua, masing-masing akan bisa tersampaikan dengan baik pada pembaca. Entah itu membawa setuju atau tidak, namun yang terpenting kita bisa tahu bahwa di luar sana ada banyak pandangan yang berbeda dengan kita.
Kita memang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun jika kita hidup hanya terfokus pada materi, justru malah akan membuat kita kian tak bisa menikmati hidup dari hasil kerja kita, selalu merasa kurang dan tak puas. Kemudian menyalahkan diri karena merasa sia-sia hingga harus kecewa dan terlampau Lelah. Kita dituntut untuk memiliki ini-itu sehingga harus terus bekerja, lebih banyak dan keras.
Sebenarnya tak ada kewajiban kita untuk memenuhi tuntutan itu, yang bukan kebutuhan hidup. Tak ada pula yang memaksa kita. Tapi, tanpa sadar, kita dipaksa oleh standar-standar kehidupan yang dikonstruksi oleh pandangan sosial tertentu. Maka dari itu, ada yang perlu kita lihat dari dalam diri kita. Berusaha menyadari bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup itu tidak semata-mata harus bentuk konkret yang harus dicari. Itu sudah ada dalam diri kita, apa yang kita punya, namun kita perlu berusaha sabar dan rela agar bisa merasakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H