Nila memandangi langit senja dari balkon kamarnya, warna jingga keemasan menciptakan suasana yang indah. Hatinya dipenuhi rasa bahagia, mengingat delapan bulan kebersamaannya dengan Rangga. Setiap tawa dan obrolan malam di bawah bintang seakan menjadi bagian dari hidupnya yang tak tergantikan. Rangga, dengan senyum hangat dan tatapan penuh perhatian, membuat Nila merasa dicintai lebih dari yang pernah ia bayangkan.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Suatu hari, Nila merasakan ada yang berbeda. Rangga yang biasanya penuh semangat, kini berubah. Ia tampak acuh dan tidak peduli. Nila bingung, berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Saat mereka bertemu, Rangga hanya tersenyum tipis, tidak seperti biasanya yang selalu menghabiskan waktu bersama.
"Ada apa, Rangga? Kenapa kamu jadi begini?" Nila mencoba menanyakan apa yang mengganjal di hatinya.
Rangga mengalihkan pandangannya, seolah kata-kata Nila adalah angin yang berlalu begitu saja. "Nila, kita harus bicara nanti," ujarnya dengan nada datar.
Hari-hari berlalu, dan sikap Rangga semakin sulit dipahami. Ia terlihat hangat kepada teman-temannya, tertawa dan bercanda, tetapi saat bersamanya, ia seolah menjauh. Nila merasa sepi di tengah kebisingan dunia yang dulunya penuh warna.
Pikirannya berkecamuk. Apa yang salah? Apakah ia telah melakukan sesuatu yang membuat Rangga menjauh? Hatinya penuh dengan rasa sakit dan kebingungan. Setiap detik yang berlalu, kerinduan dan kesedihan menggerogoti semangatnya.
Rangga pun merasakan perasaannya semakin berat. Setiap kali melihat Nila, hatinya teriris. Ia sangat mencintainya, tapi satu hal menghalangi mereka---realitas yang sulit diterima. Rangga tahu bahwa kehadiran Nila dalam hidupnya adalah sebuah anugerah, namun ia merasa tidak pantas untuk memilikinya. Masa lalu yang kelam selalu menghantuinya, membuatnya tak mampu untuk memberikan kebahagiaan yang layak bagi Nila.
Satu sore, mereka akhirnya duduk berdua di taman yang biasa mereka kunjungi. Udara segar membawa harapan, meskipun hati mereka dipenuhi rasa pilu. Rangga menatap Nila, menahan napas sebelum mengucapkan kata-kata yang telah lama tersimpan.
"Nila, aku... aku tidak bisa bersamamu," suara Rangga bergetar. "Aku tidak mau kamu berharap lebih. Aku tak bisa memberikan apa yang kamu butuhkan."
Air mata Nila menggenang di pelupuk matanya. "Tapi aku mencintaimu, Rangga. Kenapa harus seperti ini? Kita bisa mencari jalan keluarnya bersama."
Rangga menggenggam tangan Nila, merasakan kehangatan yang selalu ia cintai. "Aku tahu. Tapi demi kebaikan kita, mungkin ini jalan terbaik. Aku... aku ingin kamu bahagia, meskipun itu tanpa aku."
Kata-kata itu menghancurkan harapan Nila. Ia ingin berteriak, ingin memaksa Rangga untuk mengubah keputusan itu, tetapi ia tahu bahwa cinta tidak selalu tentang memiliki. Kadang, cinta adalah tentang melepaskan demi kebahagiaan orang yang kita cintai.
Dengan hati yang hancur, Nila mengangguk. Mereka berdua tahu, perpisahan ini bukan akhir dari segalanya. Mungkin suatu hari, di lain waktu, mereka akan bertemu lagi---dengan cerita yang lebih indah, atau sekadar kenangan manis yang takkan pernah pudar.
Saat senja perlahan tenggelam, mereka berdua saling memandang untuk yang terakhir kalinya. Hati mereka dipenuhi rasa cinta yang mendalam, namun harus rela berpisah demi masa depan yang lebih baik. Dengan satu pelukan hangat, mereka mengucapkan selamat tinggal---untuk kini, untuk saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H