Denis duduk termenung di sudut kafe favoritnya, tatapannya kosong mengarah ke jalanan yang dipenuhi kendaraan. Di hadapannya, secangkir kopi hitam mulai mendingin. Hari-hari belakangan ini selalu diwarnai oleh pikiran yang tak kunjung henti---tentang Syila, wanita yang tak seharusnya ia cintai, namun yang kini begitu mengisi ruang hatinya.
Syila hadir seperti angin sepoi-sepoi di musim panas. Awalnya hanya sekadar teman biasa, seseorang yang Denis tak pernah bayangkan bisa begitu dekat. Namun lambat laun, kehadiran Syila membawa kehangatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Di tengah-tengah percakapan sederhana dan tawa yang mengalir, Denis mulai menemukan sesuatu yang tak ada dalam hubungan dengan pasangannya selama ini.
"Den, apa kabar?" suara lembut Syila membuyarkan lamunannya. Wanita itu berdiri di depannya, mengenakan dress sederhana berwarna biru, namun pesonanya tetap membuat hati Denis bergetar.
"Aku baik, Syil. Duduklah," jawab Denis, mencoba menahan kegugupannya.
Mereka mulai berbincang, seperti biasa, tanpa beban. Syila bercerita tentang pekerjaannya, tentang mimpi-mimpinya, dan tentang hal-hal kecil yang selalu membuat Denis merasa hidup. Bersama Syila, Denis merasa bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus berpura-pura. Ada kebebasan yang ia temukan dalam tawa dan candaan Syila, sesuatu yang tak pernah ia dapatkan di rumah.
Namun, setiap tawa itu membawa rasa bersalah yang semakin dalam. Di rumah, ada seseorang yang menunggunya, seseorang yang telah lama bersamanya. Denis mencintai pasangannya, tentu saja, tapi cinta itu mulai terasa berbeda---seperti sesuatu yang sudah nyaman namun tanpa gairah, seperti matahari yang redup di sore hari. Sedangkan Syila adalah fajar yang menyala, yang membawa Denis kembali merasakan apa itu jatuh cinta.
"Syil, aku..." Denis menghela napas panjang, tangannya gemetar. "Aku tak bisa terus seperti ini."
Syila tersenyum, meski matanya terlihat sedikit sendu. "Aku tahu, Den. Aku tahu kamu punya seseorang di rumah. Aku juga tahu kamu tidak bisa meninggalkannya begitu saja."
"Tapi aku ingin bersamamu," kata Denis tanpa ragu. "Kamu membuatku merasa hidup, kamu memberikan banyak hal yang tidak pernah aku rasakan selama ini. Bersamamu, aku merasa lebih dari sekadar ada."
Syila terdiam sejenak. "Den, aku bukan orang yang bisa membuatmu memilih. Aku hanya ingin kamu bahagia, dan kalau kebahagiaanmu bukan denganku, aku bisa terima."