Dersik menelisik kalbu
Padahal mataku yang membiru
Berlomba-lomba dengan langit
yang menjadi latar belakangmu
Â
Gemericik air dekat tak lagi terasa pekat
Kalah dengan binaran matamu yang menyengat
Kutatap wajah itu dalam dalam
Sampai rasanya masuk mencapai endotel
Â
Namun kubiarkan mengendap disana
Yang akhirnya membutakan mata hatiku juga
Fisik itu bak dibentuk eksklusif oleh Tuhan
Di tempat dan waktu yang sudah ditentukan
Â
Lihatlah gemulai kerlip kelopak mata itu
Tak kalah berbinar dari pantulan cahaya pintu kaca
Ingin kurengkuh dan tak seorangpun dapat menikmatinya
Kecuali aku, si pengagum rahasia
Â
Rambut itu tak berkilau hitam
Semu merah, coklat bahkan aku tersirat kilatan putih disana
Menandakan seorang pemikir kritis nan analitis
Sering kau dapati sudut mataku melirik tipis
Aku ingin berbincang, demi merasakan atmosfer inibersamamu
Mendebatkan hal-hal rumit yang memojokkanku
Membuka mataku akan hal yang selama ini semu
Akan jadi cerita yang indah, bersediakah?
Â
Jemari itu menggodaku
Ingin kutautkan bersamaan dengan waktu
Kubawa ke peradaban dimana waktu bisa dihentikan
Senyum itu sesekali sangat tak punya adab
Ibarat kata benda, akan kucuri dan tak kukembalikan. Maafsayang.
Â
Kala itu, terakhir kali kita bertemu
Aku menyesal akan satu hal
Karena aku tak membiarkan keberanianku menguar
Untuk mengajakmu terabadikan dalam gambar
Kini tersisa bayang dan sajakku yang mengabadikan figurmu
Di kehidupan selanjutnya, izinkan aku lebih berjuang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H