Kita tahu bahwa untuk menciptakan generasi yang baik diperlukan sosok perempuan yang baik pula karena merekalah yang akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Jika pondasinya sudah kuat maka bangunannya akan selalu kuat, pun sebaliknya. Generasi yang baik akan membawa perubahan untuk negeri, dengan teguh dan lapang mampu menjadi pemimpin dan mau dipimpin. Jika memimpin berjuanglah ia sekuatnya hingga mampu membangun satu kesatuan yang utuh. Dalam satu kalimat hikmah disebutkan:
النساء عماد البلاد إذا صلحت صلح البلاد وإذا فسدت فسد البلاد
“Perempuan adalah tiang negara. Apabila perempuannya baik maka baik pula negara. Apabila perempuannya rusak maka akan rusak pula negara.”
Begitu pentingnya perempuan dalam sebuah keluarga, kasih sayangnya adalah bahan bakar penyemangat anaknya untuk selalu hidup dengan ilmu dan iman. Ia menjadi al-Madrasah al-Ula bagi anak-anaknya dengan segala keilmuan yang ia miliki. Ketika menjadi istri, keberadaannya tidak hanya untuk menemani melainkan juga sebagai mitra dan penyemangat bagi suaminya. Seperti halnya Siti Khadijah istri Rasulullah SAW. Pengorbanannya dalam mendukung perjalanan dakwah Rasulullah sangat luarbiasa. Beliau menjadi salah satu sumber kekuatan dan pendukung setia Rasulullah dalam suka maupun duka. Islam memandang keberhasilan perempuan terukir ketika ia mampu menghasilkan generasi yang baik dan mampu berada di garis terdepan dalam mendukung suaminya, bukan yang mampu bersaing dengan laki-laki atau terlalu berkiprah di luar rumah.
Perlu digaris bawahi, keberhasilan seorang perempuan dalam perspektif Islam juga ditentukan dari bagaimana ia menerapkan ajaran Islam secara kaffah. Spiritualitas, moralitas, dan keilmuan harus diimplementasikan secara seimbang, karena tidak menutup kemungkinan ideologi-ideologi barat akan terus menjarah pemikiran. Memanglah berat dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan, perlu waktu, mental, dan pengalaman agar pemikiran kita tidak terpengaruh dan keluar dari syariat Islam. Sudah banyak ideologi yang muncul dan mengakar diantara pemikiran masyarakat. Sekuler-liberal, kapitalis-sekuler, feminisme, modernisasi, pluralisme, radikalisme dan isme-isme lainnya sudah menjadi masalah serius yang harus terus diwaspadai. Jangan sampai perempuan sebagai pilar peradaban terjajah oleh sistem ideologi yang salah kaprah.
Salah satunya ketika feminisme diagungkan dengan dalih mengangkat perempuan dari keterpurukan. Kaum feminis menganggap peran perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga sebagai pekerjaan remeh, mengekang dan tak bernilai. Islam dinilai mendiskriminasi dan mengikat kebebasan perempuan. Sudah banyak perempuan yang terjerumus didalamnya padahal Islam sudah mengatur peran laki-laki dan perempuan agar bisa saling menyempurnakan. Perempuan tidak terukir untuk menyaingi laki-laki bahkan dalam al-Qur’an dalam surah An-Nisa’ ayat 34 telah disebutkan
الرِجَالُ قَوَامُوْنَ عَلَى النِسَاءِ
Maka tidak seharusnya perempuan mengikuti pemikiran para feminis sebab perempuan telah diciptakan dengan fitrahnya masing-masing. Islam secara historis pun terbukti memuliakan perempuan yang sebelumnya terbelenggu kebiasaan jahiliyah yang mengerikan.
Maka, hendak dikemanakan peradaban bangsa kita saat ini? Perempuan sebagai pilar peradaban suatu bangsa harus selektif dalam mengambil segala sesuatu yang baru di era global. Pengaruh dunia modern saat ini memanglah nyata sehingga eksistensinya dapat mempengaruhi segala aspek kehidupan. Mulai dari dampak negatif kecanggihan teknologi, media sosial, ideologi dan pemikiran barat sampai saat ini terus menjajah manusia. Untuk itu, dalam menyongsong peradaban Islam yang bermartabat, tentu dibutuhkan pilar-pilar bangsa yang kuat yaitu sosok perempuan yang akan mendidik generasi-generasi selanjutnya, generasi emas yang akan menjadi pemimpin umat. Mundziru-l-qoum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H