Mohon tunggu...
Annisa Salsabilla
Annisa Salsabilla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di UNIDA Gontor

konten seputar Hubungan Internasional dan isu kontemporer saat ini

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Analisa Konflik Laut China Selatan antara China dan Beberapa Negara di ASEAN

15 September 2022   23:43 Diperbarui: 21 September 2022   23:49 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://cdn-2.tstatic.net/ternate/foto/bank/images/wilayah-laut-china-selatan.jpg

Sejarah Singkat Konflik Laut China Selatan

Kawasan Laut China Selatan meliputi perairan dan daratan dari gugusan kepulauan dua pulau besar, yakni Spratly dan Paracels, serta bantaran Sungai Macclesfield dan Karang Scarborough yang terbentang luas dari negara Singapura yang dimulai dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan. Bentangan wilayah yang luas ini dan sejarah penguasaan silih berganti oleh penguasa tradisional negara-negara terdekat merupakan hal yang selalu terjadi di kawasan ini. Beberapa negara seperti Republik Rakyat China (RRC), Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam, terlibat dalam upaya konfrontatif saling klaim atas sebagian ataupun seluruh wilayah perairan tersebut. Negara Indonesia yang bukan negara pengklaim, menjadi terlibat setelah klaim mutlak RRC atas perairan Laut China Selatan muncul pada tahun 2012 di Natuna.

Laut China Selatan adalah kawasan perairan yang strategis dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Konflik antar negara yang terlibat saling klaim kepemilikan atas pulau-pulau (kepulauan) di sana (claimant states) baru muncul di dasawarsa 1970, dan berulang kembali di dasawarsa 80, 90 hingga 2010 ini. Namun tidak dapat disangkal di masa lalu, bahwa penguasa-penguasa tradisional dari China dan Vietnam dan negara-negara baik yang terlibat saling klaim sekarang maupun tidak, pernah terlibat memperebutkan kontrol atas wilayah perairan di sana. Republik Rakyat China (RRC) menyatakan klaim mereka berasal dari 2000 tahun lalu, saat kawasan Paracel dan Spratly telah menjadi bagian dari bangsa China. Menurut Pemerintah RRC, pada tahun 1947 Pemerintah RRC mengeluarkan peta yang merinci klaim kedaulatan RRC atas wilayah Laut China Selatan.

Keterangan Pemerintah RRC itu dibantah Pemerintah Vietnam, yang juga mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut, dengan mengatakan bahwa Pemerintah RRC tidak pernah mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Paracel dan Spratly sampai dasawarsa 1940. Pemerintah Vietnam kemudian menyatakan bahwa dua kepulauan itu masuk wilayah mereka, bukan wilayah RRC, sejak abad ke-17, dan mereka memiliki dokumen sebagai bukti. Filipina juga memiliki klaim kedaulatan yang sama, dengan mengangkat kedekatan geografis ke Kepulauan Spratly yang termasuk dalam ZEE (zona ekonomi ekslusif) nya sebagai dasar klaim terhadap sebagian wilayah kepulauan tersebut.

Juga, Malaysia dan Brunei memiliki klaim kedaulatan terhadap sebagian kawasan di Laut China Selatan. Menurut kedua negara bertetangga dekat itu, perairan Laut China Selatan masih dalam kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka, seperti yang ditetapkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982. Memang Brunei tidak mengklaim kepemilikan wilayah atas dua kepulauan itu, sementara Malaysia, menyatakan bahwa sejumlah kecil kawasan di Spratly adalah kepunyaan mereka.

Level Analisa

Dalam konflik ini, penulis menggunakan level analisa Internasional. Dalam analisa internasional, perairan dapat disahkan sebagai perairan historis apabila memenuhi kualifikasi berikut:

  1. Dalam kawasan yang bersangkutan, negara harus benar-benar menerapkan kedaulatannya secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang panjang.
  2. Adanya pengakuan dari negara-negara lain baik secara terbuka maupun secara diam-diam.

Hal ini sangatlah sulit bagi China. Mengingat bahwa orang- orang China baru menginjakkan kaki di kepulauan Paracel pada tahun 1909 ketika kepulauan ini di bawah kekuasaan Vietnam dan bukan lahan yang tidak berpenghuni. Orang China juga baru tiba di kepulauan Spratly pada tahun 1932.

Selain itu, penetapan dan klaim historis yang dilakukan China terhadap LCS telah melanggar konvensi hukum kelautan PBB (UNCLOS) tahun 1982. UNCLOS merupakan dasar untuk menentukan maritim, hak berdaulat, yurisdiksi dan kepentingan legitimasi ats zona maritim. Mengenai kedaulatan maritim suatu negara, UNCLOS teleh menetapkan suatu ZEE (zona ekonomi esklusif) suatu negara yang dihitung dari 200 mil dari dasar pantai. Hal inilah yang sangat bertentangan dengan klaim negara China yang hampir mengklaim seluruh wilayah LCS yang juga merupakan ZEE beberapa negara di ASEAN seperti Vietnam, Filipina, Brunei, malaysia dan Indonesia.

Analisa Konflik Laut China Selatan Berdasarkan Perspektif Realisme

Realisme merupakan salah satu konsep Hubungan Internasional klasik yang diadopsi oleh Morghentau, Stephen Walt, dan Kenneth Waltz. Dalam Hubungan Internasional, teori ini berasumsi yang menekankan keharusan-keharusan yang dihadapi oleh negara-negara untuk mengejar kekuasaan politik demi kepentingan nasional negaranya. Bagi kaum Realis, negara merupakan aktor utama dalam politik. Kehidupan warga negaranya sangatlah bergantung dari kebijakan-kebijakan negaranya. Sehingga negara dilihat sebagai pelindung wilayah, penduduk, cara hidup yang berbeda serta nilai. Menurut para realis, Terdapat hierarki internasional atas kekuasaan di antara negara-negara. Negara-negara berkekuatan besar merupakan negara yang sangat penting dalam politik dunia. Kaum realis memahami hubungan internasional sebagai perjuangan antar negara-negara berkekuatan besar dalam dominasi dan keamanan.

Dalam konflik ini, penulis menemukan adanya kepentingan nasional yang dilakukan oleh China dengan melakukan nine dash lines atas Laut China Selatan. Republik Rakyat China (RRC) menyatakan klaim mereka berasal dari 2000 tahun lalu, saat kawasan Paracel dan Spratly telah menjadi bagian dari bangsa China. Menurut Pemerintah RRC, pada tahun 1947 Pemerintah RRC mengeluarkan peta yang merinci klaim kedaulatan RRC atas wilayah LCS.

Di dalam Laut China Seltan terdapat berbagai bentuk keanekaragaman hayati serta cadangan minyak bumi yang melimpah sehingga mendorong China untuk mengklaim kawasan tersebut. Selain itu, LCS juga merupakan jalur pelayaran yang sangat penting bagi China. Jalur ini disebut sebagai maritime superhighway karena merupakan salah satu jalur pelayaran internasional paling sibuk di dunia. Hal ini dikarenakan lebih dari setengah lintas tanker besar dunia berlayar melalui jalur ini.

Resolusi Konflik Atas Permasalahan Ini

Meski banyaknya strategi-strategi dari masing-masing nagara yang memiliki hak atas Laut China Selatan maka resolusi yang bisa ditawarkan dalam kasus ini adalah dengan adanya negosiasi bilateral. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan dalam konflik ini adalah tujuan dari negosiasi China yang bukanlah menyelesaikan masalah kedaulatan karena China merasa LCS adalah milik China seutuhnya dan pihak lawan tidak boleh ngeenungkit-ungkit akan perihal kedaulatan.

Selaras dengan teori Defensive Realism, bahwa suatu kawasan akan stabil apabila juga diimbangi dengan koalisi dari negara-negara yang lebih kecil. China menyadari akan ketidakmampuannya dalam melawan negara-negara ASEAN secara keseluruhan. Maka strategi yang digencarkan China adalah divide and conquer yaitu dengan cara menumbangkan negara-negara kecil satu persatu dengan menjalin koalisi dengan cara negosiasi.

Dalam kasus ini penulis menemukan daun konflik permasalahan yaitu: Ketidakpatuhan China terhadap hukum laut internasional UNCLOS 1982 dalam wilayah teritorial dan ZEE dari sebuah negara yang memiliki hak teritorial di kawasan Laut China Selatan. Sedangkan dari dahan konfliknya akan terlihat Potensi konflik dan penyalahgunaan teritotial dan kekayaan laut di Laut China Selatan oleh China. Sedangkan inti atau akar konflik dari kasus ini ialah Terganggunya stabilitas nasional yang mengkhawatirkan setiap negara-negara yang bersengketa dengan China terutama negara-negara ASEAN.

Referensi

Aulia, I. W., 2020. ALASAN CHINA BERUPAYA MENYELESAIKAN KONFLIK LAUT CHINA SELATAN MELALUI PENDEKATAN DIPLOMASI BILATERAL. Undergraduate (S1) thesis, Universitas Muhammadiyah Malang.

CNN Indonesia, 2022. “Sejarah Konflik Laut China Selatan yang Jadi Rebutan [online]. In https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220511135122-118-795477/sejarah-konflik-laut-china-selatan-yang-jadi-rebutan/2 [accessed at 21 September 2022].

Rochester, J. M., 1978. “The “National Interest” and Contemporary World Politics” The Review of Politics, Vol. 40, No. 1: pp. 77-96

Sahrasad, H., 2015. “Konflik Laut China Selatan: Rivalitas China-AS dan ASEAN”. Konfrontasi: Jurnal Kultural, Ekonomi Dan Perubahan Sosial, 2(2), 6-17.

Tempo.co, 2016. “Ini Perjalanan Sengketa Kawasan Laut Cina Selatan” [online]. In https://dunia.tempo.co/read/787130/ini-perjalanan-sengketa-kawasan-laut-cina-selatan [accessed at 21 September 2022]

Toruan, G. T. L., 2020. “Peran Strategis Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan dalam Perspektif Stabilitas Keamanan Regional”. Jurnal Keamanan Nasional, 6(1), 111-129.

Wahyudi, A. H., 2016. “Peran dan Strategi Indonesia bersama ASEAN Dalam Upaya Meredakan Konflik Laut China Selatan [The Role and Strategy of Indonesia with ASEAN to Reduce Conflict in the South China Sea]”. Verity: Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional (International Relations Journal), 8(16), 17-30.

 

Pohon Konflik

dokpri
dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun