Mohon tunggu...
Annisa Salma O
Annisa Salma O Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

an Information Systems student who is currently taking fifth semester at Gunadarma University

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan dan Kesetaraan Gender di Lingkungan Masyarakat

22 Januari 2024   15:42 Diperbarui: 23 Januari 2024   08:48 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedari dulu, banyak sekali hal-hal yang dituntut dari seorang perempuan. Banyak sekali hal yang diatur seperti dari cara kita makan, cara kita berpakaian, cara kita bersikap, cara kita berbicara, bahkan perilaku kita juga. Banyak perempuan yang ingin berekspresi secara bebas namun takut melakukannya. Takut tidak diterima oleh masyarakat.

Banyak sekali perempuan yang ingin mandiri, namun keadaaan sosial tidak sepenuhnya mendukung. Banyak sekali perempuan yang ingin mengeksplor dan mencoba hal-hal baru tapi tidak berani karena takut dipandang berbeda. Banyak sekali perempuan yang mempunyai mimpi-mimpi tinggi tapi takut tidak diterima oleh masyarakat. Tiga hal tersebut merupakan beberapa alasan dari banyaknya alasan yang bisa membuat kita sebagai perempuan secara tidak sadar mentolerasi sikap-sikap tersebut, menormalisasikan perlakuan sexism yang didapat sampai menyalahkan diri sendiri atas perlakuan tidak senonoh yang dilakukan orang lain.

Masih banyak perempuan-perempuan di dunia yang menerima perlakuan sexism.  Ketika ingin mengutarakan pendapat atau mencoba membuka suatu diskusi sering dianggap tidak serius atau berlebihan. Karena perlakuan itulah perempuan tumbuh menjadi seseorang yang mencemaskan pendapat orang lain dibanding memperdulikan kepentingan dan keinginan diri sendiri, menjadi takut dan ragu untuk mengembangkan potensi yang dimiliki karena takut dengan tuntutan masyarakat.

Di Indonesia sendiri masih banyak kebiasaan norma sosial atau budaya yang menerapkan aturan bahwa menjadi seorang perempuan maka harus bisa melakukan semua pekerjaan rumah sejak usia dini. Bahwa seorang perempuan harus bertanggung jawab atas pekerjaan rumahnya. Sampai pada akhirnya perempuan juga merasa lelah karena selalu dituntut untuk memenuhi ekspektasi tentang "Perempuan Ideal" atau bahkan "Calon Ibu yang Ideal". 

Salah satu bukti bahwa masalah seksisme sudah ada sejak lama dapat dilihat dari esai "A Vindication of The Rights of Woman" dari seorang penulis Inggris, Mary Wollstonecraft. Esai yang mempertanyakan tentang kesetaraan gender ini ditulis pada abad ke-18. Esai ini sengaja ditulis untuk mempertimbangkan ketidaksetaraan hak yang dimiliki perempuan dan meluasnya objektifikasi terhadap perempuan.  Melalui karyanya, Mary menekankan bahwa perempuan mempunyai hak atas pendidikan dan kesempatan yang sama untuk berkontribusi kepada masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa diskriminasi gender, adalah salah satu "perang" terbesar bagi perempuan dan masih berlangsung dalam jangka waktu yang lama.

Maka, untuk mengurangi ketidaksetaraan gender, perspektif sosiologi menyarankan berbagai kebijakan dan tindakan untuk mengatasi faktor budaya dan struktural yang berkontribusi terhadap terjadinya ketidaksetaraan gender, kebijakan dan tindakan tersebut diantaranya adalah :

  1. Menjamin akses yang setara terhadap pendidikan

Terdapat kemajuan signifikan dalam kesetaraan pendidikan, namun kesenjangan masih ada. Menurut Laporan Kesenjangan Gender Global pada tahun 2020, disebutkan bahwa dibutuhkan waktu 14 tahun untuk menutup kesenjangan tersebut sepenuhnya.

  1. Memberdayakan perempuan di tempat kerja

Di sebagian besar tempat kerja, terdapat lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan yang menduduki posisi tingkat tinggi. Kesenjangan upah berdasarkan gender juga terjadi di banyak tempat dan bersinggungan dengan ras dan etnis. Diskriminasi gender dapat diatasi dengan menawarkan cuti berbayar dan pengasuhan anak, mendukung lebih banyak perempuan dalam jabatan senior, dan meninjau gaji. Perlu diingat juga bahwa pandemi Covid-19 berdampak besar terhadap kesetaraan gender di tempat kerja. Lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki yang meninggalkan pekerjaannya, sering kali karena perempuan cenderung lebih banyak mengurus anak. 

  1. Memperkuat perlindungan hukum

Diskriminasi gender bisa berakibat fatal karena sering kali mengarah pada pelecehan dan penyerangan seksual. Kekerasan dalam rumah tangga khususnya tersebar luas. WHO memperkirakan perempuan berusia 15-49 tahun pernah menjadi korban dalam hubungan kekerasan fisik dan/atau seksual. Pada tahun 2021, Bank Dunia mengkaji apakah undang-undang kekerasan dalam rumah tangga sudah efektif. Mereka menyimpulkan bahwa meskipun ini bukan satu-satunya metode yang diperlukan untuk melindungi perempuan, namun hal ini penting. Undang-undang ini perlu ditegakkan dan diperkuat bila diperlukan.

  1. Mencapai representasi politik yang lebih baik

Representasi politik merupakan salah satu bidang dengan kesenjangan gender terbesar. Hingga September 2021, hanya ada 26 perempuan yang menjadi Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan di 24 negara. Berdasarkan data dari 133 negara, perempuan hanya mencakup 36% dari seluruh anggota badan musyawarah lokal. Hanya ada dua negara yang sudah mencapai 50%. 

 Memastikan bahwa perempuan memiliki keterwakilan yang lebih berarti dalam pemerintahan akan menjadi langkah menuju arah yang benar. Pemerintahan yang hanya terdiri dari laki-laki sering kali gagal mempertimbangkan hak-hak perempuan. Dari sana, kita harus memampukan perempuan untuk menjadi berbudi luhur seperti laki-laki.

Perempuan tidak mendapatkan kesempatan ini karena kebajikan sejati hanya dapat dicapai melalui pemahaman dan tindakan -dan perempuan tidak dianjurkan untuk melakukan hal tersebut. Sebaliknya, perempuan hanya diajarkan untuk tampil berbudi luhur. Artinya, mereka diajari untuk fokus pada kecantikan dan keanggunan mereka daripada pada kemampuan berpikir dan kekuatan intelektual yang akan menghasilkan rasa hormat yang sejati.

Orang tidak bisa mendapatkan rasa hormat seperti itu dengan mudah, mereka harus mendapatkannya. Perempuan berada pada posisi yang sangat dirugikan karena mereka tidak diberi akses terhadap pendidikan yang diperlukan untuk mendapatkan rasa hormat yang dimiliki laki-laki terhadap orang lain. Perempuan tidak akan mampu mendobrak hambatan ini sampai mereka memiliki akses terhadap pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kebajikan dan membuat keputusan rasional yang bermanfaat bagi masyarakat.

Tugas kita adalah secara bertahap mengubah budaya yang salah menjadi budaya yang lebih baik seiring berjalannya waktu. Apalagi ini termasuk ke dalam budaya patriarki, budaya yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Sehingga setiap orang bisa hidup tanpa  rasa takut karena jenis gendernya. Ketika perempuan menyadari kebebasannya, tidak lagi teraniaya dan tidak takut oleh tuntutan  masyarakat sosial, Saya yakin seorang wanita mampu mewujudkan potensi penuhnya dan  merasa bahagia sepenuhnya. Saya percaya jika perempuan dapat mencapai potensi maksimalnya, maka lingkungan masyarakat pun akan menjadi lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun