Mohon tunggu...
ANNISA SHABIRAH
ANNISA SHABIRAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI

43223110043 Kampus Universitas Mercu Buana Meruya | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Prodi S1 Akuntansi | Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB | Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Quiz 10 - Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan jack Bologna

16 November 2024   20:55 Diperbarui: 16 November 2024   21:07 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PPT PROF. APOLLO TM - 10

PPT PROF. APOLLO TM - 10
PPT PROF. APOLLO TM - 10

GONE Theory oleh Jack Bologna, yang mengidentifikasi penyebab terjadinya korupsi. Teori ini menggunakan akronim "GONE" untuk merangkum empat faktor utama yang memotivasi individu atau kelompok untuk terlibat dalam tindakan korupsi. Berikut adalah penjelasan lengkapnya:

Elemen GONE Theory:

G = Greed (Keserakahan)

  • Keserakahan merujuk pada keinginan yang tidak terbatas untuk memperoleh kekayaan, kekuasaan, atau status. Individu yang digerakkan oleh keserakahan sering kali mengabaikan norma-norma etis dan hukum, berupaya untuk mendapatkan keuntungan materi sebanyak mungkin tanpa peduli konsekuensi bagi orang lain atau organisasi.
  • Seorang pejabat mungkin menerima suap dalam jumlah besar karena tergiur dengan keinginan memperkaya diri, meskipun tahu bahwa tindakannya melanggar hukum.

O = Opportunity (Kesempatan)

  • Kesempatan mengacu pada situasi atau lingkungan yang memungkinkan seseorang untuk melakukan tindakan korupsi. Ketika sistem pengawasan lemah atau tidak ada mekanisme pengendalian yang efektif, peluang untuk bertindak tidak jujur meningkat.
  • Jika suatu departemen tidak memiliki audit internal yang kuat, karyawan mungkin melihat ini sebagai kesempatan untuk melakukan korupsi tanpa takut ketahuan.

N = Need (Kebutuhan)

  • Kebutuhan mencakup situasi di mana individu merasa harus bertindak korup untuk memenuhi kebutuhan finansial atau kebutuhan lainnya. Faktor ini bisa berasal dari tekanan ekonomi, tanggungan keluarga, atau keadaan mendesak yang membuat orang merasa tidak punya pilihan lain.
  • Seseorang yang sedang terlilit utang besar mungkin melakukan penyelewengan dana untuk menutupi kebutuhan mendesaknya.

E = Exposure (Paparan)

  • Paparan di sini mengacu pada risiko yang dihadapi pelaku jika tindakan korupsinya terungkap. Semakin rendah kemungkinan pelaku ketahuan atau diadili, semakin besar kemungkinan tindakan korupsi terjadi.
  • Dalam organisasi yang tidak memiliki pelaporan pelanggaran (whistleblowing) atau hukuman yang tegas, risiko bagi pelaku korupsi menjadi kecil, sehingga mendorong lebih banyak orang untuk mengambil risiko.

Hubungan Antara Faktor-Faktor Ini

Menurut GONE Theory, korupsi terjadi ketika semua faktor ini hadir dalam suatu situasi. Keserakahan memberikan motivasi; kesempatan menciptakan jalan; kebutuhan memberikan tekanan; dan rendahnya risiko paparan memungkinkan korupsi untuk berlanjut. Dengan memahami keempat faktor ini, organisasi dapat merancang strategi yang efektif untuk meminimalkan terjadinya korupsi, misalnya dengan meningkatkan pengawasan, memperkuat sistem kontrol, dan menciptakan lingkungan yang transparan.

GONE Theory memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami mengapa korupsi terjadi. Dengan memitigasi masing-masing faktor tersebut, peluang untuk terjadinya korupsi dapat berkurang secara signifikan.

Pendahuluan

WHAT

   Korupsi merupakan masalah yang sangat kompleks dan sulit untuk diatasi, terutama di negara berkembang sepertin Indonesia, di mana korupsi telah menjadi budaya yang sulit dihilangkan. Oleh karena itu, penerapan hukum pidana menjadi sangat penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, pemberantasan korupsi tidak bisa hanya mengandalkan hukum pidana saja, melainkan juga memerlukan dukungan dari berbagai sektor, seperti penguatan tata kelola pemerintahan yang baik, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, serta partisipasi aktif masyarakat dalam memantau tindakan pemerintah.

   Korupsi adalah tindakan tidak jujur yang memanfaatkan jabatan atau kuasa untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain. Di Indonesia, korupsi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999, yang mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang melawan hukum untuk memperkaya diri, orang lain, atau korporasi dengan dampak merugikan keuangan atau perekonomian negara.

   Secara global, korupsi telah menjadi masalah lama. Skandal besar, seperti Skandal Watergate di Amerika Serikat pada 1970-an, menunjukkan bahwa korupsi bisa menyebabkan ketidakstabilan politik hingga pengunduran diri presiden. Di Indonesia, perkembangan undang-undang korupsi mencakup pembentukan KPK dan revisi berbagai undang-undang yang terkait dengan korupsi.

   Membahas secara singkat tentang apa itu korupsi dalam konteks Indonesia dan memperkenalkan salah satu kasus korupsi yang telah diputuskan oleh pengadilan sebagai contoh penerapan teori Jack Bologna.

Pengertian Korupsi dalam Konteks Indonesia

Korupsi adalah tindak pidana yang melibatkan penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi atau kelompok yang merugikan keuangan negara. Di Indonesia, korupsi sering terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari penyalahgunaan anggaran negara, suap, hingga gratifikasi. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus korupsi di Indonesia terjadi di berbagai tingkatan pemerintahan dan sektor swasta, serta melibatkan berbagai kalangan, mulai dari pejabat tinggi hingga pengusaha.

Contoh Kasus: Korupsi Proyek e-KTP

Salah satu contoh kasus korupsi besar yang dapat dijadikan studi adalah kasus korupsi proyek e-KTP yang melibatkan penggelapan dana proyek bernilai triliunan rupiah. Kasus ini melibatkan banyak pejabat dan telah menjadi perhatian publik karena dampaknya yang besar terhadap keuangan negara. Di kasus ini, dana yang seharusnya digunakan untuk proyek pengadaan KTP elektronik dialihkan untuk keuntungan pribadi dan kelompok, mengakibatkan kerugian negara yang sangat signifikan.

WHY

Bagaimana korupsi di Indonesia dapat dipandang dalam konteks penyebab sistemik yang lebih luas.

Signifikansi Kasus Korupsi di Indonesia

Kasus-kasus korupsi seperti proyek e-KTP penting karena mengungkap kelemahan sistem pengawasan di Indonesia. Hal ini juga menunjukkan bagaimana korupsi bisa melibatkan banyak pihak, yang membuatnya menjadi kejahatan kolektif dan terstruktur. Korupsi ini penting untuk dianalisis karena memiliki dampak luas terhadap kepercayaan publik terhadap pemerintah dan instansi terkait. Penggunaan pendekatan Jack Bologna memungkinkan kita memahami faktor-faktor penyebab korupsi dalam kasus ini, serta mencari cara untuk mencegah kasus serupa di masa depan.

Melihat fenomena korupsi massal di Indonesia yang bersamaan dengan diterapkannya konsep desentralisasi maka tentu tidak dapat dipisahkan dengan model birokrasi patrimonial di Indonesia sehingga praktik korupsi yang melibatkan aparat birokrasi terus terjadi. Budaya berfikir kritis tentu tidak akan lahir bila kultur patrimonial masih di praktekkan dalam birokrasi di negara ini. 

Hal itu dapat dilihat sejak rezim Orde Baru, birokrasi hanya dijadikan sebagai alat legitimasi untuk mengkontrol keakraban dan kehangatan berwarga negara sebagai makhluk sosial dan politik.12 Politisasi birokrasi memang dibentuk sebagai lumbung suara pada saat pemilihan umum serta berguna untuk memastikan loyalitas “ideologi” birokrasi pada si penguasa. Kemunculan desentralisasi pun tidak banyak mengubah watak, perspektif, dan orientasi birokrasi untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya membuat praktek korupsi tumbuh subur.

Setidaknya terdapat dua pola praktik korupsi yang melibatkan Kepala Daerah, yaitu13 Pertama, kepala daerah yang terlibat korupsi, memperlihatkan bahwasannya ada gejala korupsi birokratis karena mengingat kekuasaannya sebagai kepala daerah yang memunculkan kesempatan untuk melakukan penyelewengan dan kadang kala melibatkan bawahannya sebagai susunan hierarki birokrasi. Kedua, korupsi yang melibatkan kepala daerah merupakan korupsi kolaboratif yang timbul atas prakarsa beberapa pihak demi melanggengkan kedudukan mengingat tupoksi dari masing-masing pihak. Korupsi kolaboratif lahir ketika ada power yang seimbang antara eksekutif sebagai pihak yang diawasi dalam hal ini kepala daerah dengan legislatif sebagai pihak yang mengawasi dalam hal ini DPRD.

HOW

Bagian ini menjadi fokus utama artikel dan akan membahas penerapan pendekatan Jack Bologna untuk menganalisis penyebab kasus korupsi di Indonesia.

Penerapan Pendekatan Jack Bologna (Segitiga Penipuan)

Pendekatan segitiga penipuan dari Jack Bologna terdiri dari tiga elemen utama: Tekanan (Pressure), Kesempatan (Opportunity), dan Rasionalisasi (Rationalization). Berikut adalah penerapan ketiga elemen tersebut dalam kasus korupsi proyek e-KTP.

Tekanan (Pressure)

  • Deskripsi Tekanan Finansia
    Tekanan merupakan dorongan atau motivasi yang membuat seseorang melakukan tindakan korupsi. Dalam konteks kasus proyek e-KTP, tekanan bisa berasal dari kebutuhan finansial pribadi, tuntutan untuk mempertahankan gaya hidup, atau adanya beban politik yang harus dipenuhi.
  • Pengaruh Lingkungan: Tekanan di sini juga bisa muncul dari lingkungan sekitar, seperti partai politik yang membutuhkan dana untuk operasional atau kampanye. Para pelaku bisa merasa terdorong untuk mengamankan keuntungan finansial demi menjaga hubungan politik atau mendapatkan dukungan di masa depan.
  • Tekanan Institusi atau Sosial: Dalam beberapa kasus, tekanan bisa datang dari ekspektasi institusi atau sosial di mana adanya anggapan bahwa melakukan korupsi adalah hal yang wajar dalam menjalankan posisi tertentu. Tekanan semacam ini juga bisa menjadi faktor signifikan yang mendorong seseorang melakukan korupsi.

Kesempatan (Opportunity)

  • Lemahnya Sistem Pengawasan
    Kesempatan terjadi ketika ada kelemahan dalam sistem atau lingkungan yang memungkinkan tindakan korupsi terjadi. Dalam kasus e-KTP, lemahnya pengawasan proyek, baik internal maupun eksternal, menjadi salah satu faktor utama. Misalnya, adanya celah dalam mekanisme tender yang memungkinkan penggelembungan dana proyek tanpa pengawasan yang ketat.
  • Kurangnya Transparansi: Dalam pengelolaan anggaran proyek besar seperti e-KTP, kurangnya transparansi juga membuka peluang bagi para pelaku untuk menyalahgunakan dana yang dialokasikan. Sistem yang tidak transparan membuat pelaku bisa menyembunyikan tindakan mereka, baik dari publik maupun dari auditor.
  • Keterlibatan Banyak Pihak: Dalam kasus e-KTP, keterlibatan banyak pejabat dan pihak terkait memperbesar kesempatan untuk melakukan korupsi. Dengan banyaknya pihak yang memiliki akses ke dana proyek, pengawasan menjadi semakin sulit dilakukan. Ketiadaan atau ketidakberfungsian sistem pengendalian internal membuat proses ini semakin rawan terhadap penyalahgunaan wewenang.

Rasionalisasi (Rationalization)

  • Justifikasi Tindakan
    Rasionalisasi adalah proses di mana pelaku mencari pembenaran atas tindakannya. Dalam kasus ini, pelaku mungkin merasionalisasi tindakan mereka dengan menganggap bahwa dana yang diambil tidak akan berdampak besar karena proyek tetap berjalan atau mereka merasa memiliki "hak" atas dana tersebut setelah memberikan kontribusi kepada pihak yang berwenang.
  • Kebiasaan Korupsi dalam Lingkungan Kerja
    Ketika korupsi telah menjadi hal yang dianggap lumrah di lingkungan kerja atau institusi tertentu, pelaku dapat dengan mudah merasionalisasi tindakannya sebagai sesuatu yang "normal." Dalam kasus e-KTP, mungkin saja pelaku berpikir bahwa tindakannya hanyalah bagian dari praktik umum di institusi tersebut.
  • Motif Membantu Kelompok atau Partai
    Pelaku juga dapat merasionalisasi korupsi dengan dalih bahwa tindakan ini dilakukan untuk kepentingan kelompok atau partai, yang dianggap sebagai "pengabdian" kepada mereka yang membantu karir atau posisinya.

Pencegahan Berdasarkan Pendekatan Jack Bologna

Menerapkan pendekatan Bologna untuk pencegahan korupsi dalam konteks Indonesia, beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

  • Mengurangi Tekanan Finansial dan Sosial: Pemerintah perlu menyediakan sistem kompensasi yang adil dan mencegah tekanan dari partai atau kelompok yang memaksa pejabat melakukan korupsi.
  • Memperkuat Pengawasan dan Transparansi: Membangun sistem audit yang lebih kuat dan transparansi anggaran yang lebih baik akan mengurangi kesempatan bagi pejabat atau karyawan untuk melakukan korupsi.
  • Membentuk Budaya Anti-Korupsi: Menanamkan nilai integritas dan transparansi melalui pelatihan, hukuman tegas bagi pelaku korupsi, dan pengawasan ketat akan mengurangi pembenaran yang mungkin digunakan oleh pelaku untuk melakukan korupsi.

Penerapan pendekatan Jack Bologna dalam analisis kasus korupsi proyek e-KTP menunjukkan bahwa korupsi sering kali dipengaruhi oleh tekanan yang dihadapi oleh pelaku, adanya kesempatan akibat lemahnya pengawasan, dan rasionalisasi yang digunakan untuk membenarkan tindakan tersebut. Dengan memahami ketiga elemen ini, kita dapat merancang strategi yang lebih efektif untuk mencegah korupsi. Reformasi sistem pengawasan dan peningkatan integritas di kalangan pejabat menjadi kunci untuk memberantas korupsi di Indonesia.

Daftar Pustaka
PPT/Modul Prof. Apollo 

Alamsyah, Wana, Lais Abid, and Agus Sunaryanto, ‘Laporan Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2018’, 2018, 1–33 

‘Mayoritas Kasus Korupsi Kepala Daerah Terkait Infrastruktur Artikel Ini Telah Tayang Di Kompas.Com Dengan Judul “Litbang Kompas: Mayoritas Kasus Korupsi Kepala Daerah Terkait Infrastruktur”, Https://Nasional.Kompas.Com/Read/2019/12/09/14424681/Litbang-Kom’ 

Waluyo, Bambang, ‘OPTIMALISASI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Bambang Waluyo Kejaksaan Agung Republik Indonesia Email’, Jurnal Yuridis, 1 (2014), 169–82

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun