Hal itu dapat dilihat sejak rezim Orde Baru, birokrasi hanya dijadikan sebagai alat legitimasi untuk mengkontrol keakraban dan kehangatan berwarga negara sebagai makhluk sosial dan politik.12 Politisasi birokrasi memang dibentuk sebagai lumbung suara pada saat pemilihan umum serta berguna untuk memastikan loyalitas “ideologi” birokrasi pada si penguasa. Kemunculan desentralisasi pun tidak banyak mengubah watak, perspektif, dan orientasi birokrasi untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya membuat praktek korupsi tumbuh subur.
Setidaknya terdapat dua pola praktik korupsi yang melibatkan Kepala Daerah, yaitu13 Pertama, kepala daerah yang terlibat korupsi, memperlihatkan bahwasannya ada gejala korupsi birokratis karena mengingat kekuasaannya sebagai kepala daerah yang memunculkan kesempatan untuk melakukan penyelewengan dan kadang kala melibatkan bawahannya sebagai susunan hierarki birokrasi. Kedua, korupsi yang melibatkan kepala daerah merupakan korupsi kolaboratif yang timbul atas prakarsa beberapa pihak demi melanggengkan kedudukan mengingat tupoksi dari masing-masing pihak. Korupsi kolaboratif lahir ketika ada power yang seimbang antara eksekutif sebagai pihak yang diawasi dalam hal ini kepala daerah dengan legislatif sebagai pihak yang mengawasi dalam hal ini DPRD.
HOW
Bagian ini menjadi fokus utama artikel dan akan membahas penerapan pendekatan Jack Bologna untuk menganalisis penyebab kasus korupsi di Indonesia.
Penerapan Pendekatan Jack Bologna (Segitiga Penipuan)
Pendekatan segitiga penipuan dari Jack Bologna terdiri dari tiga elemen utama: Tekanan (Pressure), Kesempatan (Opportunity), dan Rasionalisasi (Rationalization). Berikut adalah penerapan ketiga elemen tersebut dalam kasus korupsi proyek e-KTP.
Tekanan (Pressure)
- Deskripsi Tekanan Finansia
Tekanan merupakan dorongan atau motivasi yang membuat seseorang melakukan tindakan korupsi. Dalam konteks kasus proyek e-KTP, tekanan bisa berasal dari kebutuhan finansial pribadi, tuntutan untuk mempertahankan gaya hidup, atau adanya beban politik yang harus dipenuhi. - Pengaruh Lingkungan: Tekanan di sini juga bisa muncul dari lingkungan sekitar, seperti partai politik yang membutuhkan dana untuk operasional atau kampanye. Para pelaku bisa merasa terdorong untuk mengamankan keuntungan finansial demi menjaga hubungan politik atau mendapatkan dukungan di masa depan.
- Tekanan Institusi atau Sosial: Dalam beberapa kasus, tekanan bisa datang dari ekspektasi institusi atau sosial di mana adanya anggapan bahwa melakukan korupsi adalah hal yang wajar dalam menjalankan posisi tertentu. Tekanan semacam ini juga bisa menjadi faktor signifikan yang mendorong seseorang melakukan korupsi.
Kesempatan (Opportunity)
- Lemahnya Sistem Pengawasan
Kesempatan terjadi ketika ada kelemahan dalam sistem atau lingkungan yang memungkinkan tindakan korupsi terjadi. Dalam kasus e-KTP, lemahnya pengawasan proyek, baik internal maupun eksternal, menjadi salah satu faktor utama. Misalnya, adanya celah dalam mekanisme tender yang memungkinkan penggelembungan dana proyek tanpa pengawasan yang ketat. - Kurangnya Transparansi: Dalam pengelolaan anggaran proyek besar seperti e-KTP, kurangnya transparansi juga membuka peluang bagi para pelaku untuk menyalahgunakan dana yang dialokasikan. Sistem yang tidak transparan membuat pelaku bisa menyembunyikan tindakan mereka, baik dari publik maupun dari auditor.
- Keterlibatan Banyak Pihak: Dalam kasus e-KTP, keterlibatan banyak pejabat dan pihak terkait memperbesar kesempatan untuk melakukan korupsi. Dengan banyaknya pihak yang memiliki akses ke dana proyek, pengawasan menjadi semakin sulit dilakukan. Ketiadaan atau ketidakberfungsian sistem pengendalian internal membuat proses ini semakin rawan terhadap penyalahgunaan wewenang.
Rasionalisasi (Rationalization)
- Justifikasi Tindakan
Rasionalisasi adalah proses di mana pelaku mencari pembenaran atas tindakannya. Dalam kasus ini, pelaku mungkin merasionalisasi tindakan mereka dengan menganggap bahwa dana yang diambil tidak akan berdampak besar karena proyek tetap berjalan atau mereka merasa memiliki "hak" atas dana tersebut setelah memberikan kontribusi kepada pihak yang berwenang. - Kebiasaan Korupsi dalam Lingkungan Kerja
Ketika korupsi telah menjadi hal yang dianggap lumrah di lingkungan kerja atau institusi tertentu, pelaku dapat dengan mudah merasionalisasi tindakannya sebagai sesuatu yang "normal." Dalam kasus e-KTP, mungkin saja pelaku berpikir bahwa tindakannya hanyalah bagian dari praktik umum di institusi tersebut. - Motif Membantu Kelompok atau Partai
Pelaku juga dapat merasionalisasi korupsi dengan dalih bahwa tindakan ini dilakukan untuk kepentingan kelompok atau partai, yang dianggap sebagai "pengabdian" kepada mereka yang membantu karir atau posisinya.
Pencegahan Berdasarkan Pendekatan Jack Bologna
Menerapkan pendekatan Bologna untuk pencegahan korupsi dalam konteks Indonesia, beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
- Mengurangi Tekanan Finansial dan Sosial: Pemerintah perlu menyediakan sistem kompensasi yang adil dan mencegah tekanan dari partai atau kelompok yang memaksa pejabat melakukan korupsi.
- Memperkuat Pengawasan dan Transparansi: Membangun sistem audit yang lebih kuat dan transparansi anggaran yang lebih baik akan mengurangi kesempatan bagi pejabat atau karyawan untuk melakukan korupsi.
- Membentuk Budaya Anti-Korupsi: Menanamkan nilai integritas dan transparansi melalui pelatihan, hukuman tegas bagi pelaku korupsi, dan pengawasan ketat akan mengurangi pembenaran yang mungkin digunakan oleh pelaku untuk melakukan korupsi.
Penerapan pendekatan Jack Bologna dalam analisis kasus korupsi proyek e-KTP menunjukkan bahwa korupsi sering kali dipengaruhi oleh tekanan yang dihadapi oleh pelaku, adanya kesempatan akibat lemahnya pengawasan, dan rasionalisasi yang digunakan untuk membenarkan tindakan tersebut. Dengan memahami ketiga elemen ini, kita dapat merancang strategi yang lebih efektif untuk mencegah korupsi. Reformasi sistem pengawasan dan peningkatan integritas di kalangan pejabat menjadi kunci untuk memberantas korupsi di Indonesia.