PENDAHULUAN
Kisah Cincin Gyges, yang pertama kali diceritakan oleh Plato dalam dialog Republic, telah menjadi salah satu metafora paling kuat dalam sejarah filsafat moral. Cerita ini mengisahkan tentang seorang gembala yang menemukan cincin ajaib yang membuatnya tidak terlihat. Dengan kekuatan ini, ia bebas melakukan kejahatan tanpa konsekuensi. Melalui kisah ini, Plato menghadirkan pertanyaan mendasar tentang sifat kebaikan dan kejahatan, serta hubungan antara moralitas dan hukum.
Mitos dan Logos dalam Cincin Gyges
Cincin Gyges adalah perpaduan menarik antara mitos dan logos. Elemen mitos hadir dalam bentuk cincin ajaib yang memberikan kekuatan supernatural. Cincin ini adalah semacam deus ex machina, sebuah intervensi ilahi dalam dunia manusia yang mengubah segalanya. Melalui cincin ini, Plato mengajak kita merenungkan kekuatan mitos dan imajinasi dalam membentuk pemahaman kita tentang dunia dan diri kita sendiri.
Di sisi lain, logos hadir dalam bentuk dialog rasional yang terjadi antara tokoh-tokoh dalam Republic. Mereka berdebat tentang apakah manusia pada dasarnya baik atau jahat, apakah keadilan itu penting, dan apakah hukum diperlukan untuk menjaga ketertiban sosial. Melalui dialog ini, Plato menunjukkan bahwa mitos dapat menjadi titik awal untuk refleksi filosofis yang mendalam.
Kejahatan dan Kebaikan dalam Perspektif Cincin Gyges
Cincin Gyges mengundang kita untuk bertanya: apakah manusia pada dasarnya baik atau jahat? Jika diberikan kesempatan untuk melakukan kejahatan tanpa konsekuensi, apakah kita akan melakukannya? Plato berpendapat bahwa sebagian besar orang akan memilih untuk melakukan kejahatan, karena manusia pada dasarnya egois dan mencari keuntungan pribadi.
Namun, Plato juga menunjukkan bahwa ada orang-orang yang akan menolak untuk menggunakan cincin itu untuk tujuan jahat. Orang-orang ini adalah orang-orang yang memiliki pemahaman yang benar tentang kebaikan dan kejahatan, dan yang percaya bahwa keadilan itu penting dalam dirinya sendiri.
Implikasi bagi Filsafat Moral
Kisah Cincin Gyges memiliki implikasi yang luas bagi filsafat moral. Pertama, kisah ini menunjukkan bahwa moralitas bukanlah sekadar konvensi sosial, tetapi merupakan sesuatu yang mendalam dalam jiwa manusia. Kedua, kisah ini menunjukkan bahwa kekuatan eksternal, seperti hukum dan hukuman, tidak selalu cukup untuk membuat orang berperilaku baik. Kita juga membutuhkan motivasi internal, seperti cinta akan kebaikan dan keadilan.
Cincin Gyges adalah sebuah metafora yang terus relevan hingga saat ini. Kisah ini mengajak kita untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang sifat manusia, moralitas, dan tujuan hidup. Melalui perpaduan antara mitos dan logos, Plato berhasil menciptakan sebuah karya yang menginspirasi para pemikir selama berabad-abad.
What
Apa yang Tersembunyi di Balik Cincin Gyges?Â
Di balik metafora cincin yang memberikan kekuatan tak terlihat, tersimpan pertanyaan mendasar tentang sifat manusia dan moralitas. Kisah ini mengajak kita merenung: apakah kita akan tetap berbuat baik jika tahu bahwa tindakan kita tidak akan pernah diketahui orang lain? Atau apakah kita akan tergoda untuk menyalahgunakan kekuatan yang kita miliki?
Dalam konteks diskursus mitos dan logos, Cincin Gyges menjadi titik temu antara narasi kuno dan pemikiran rasional. Mitosnya yang kaya simbolisme mengundang kita untuk menafsirkan makna terdalam dari kisah ini, sementara aspek logosnya menantang kita untuk menganalisis secara logis implikasi moral dari tindakan yang dilakukan dengan atau tanpa cincin tersebut.
Why
Mengapa metafora ini relevan untuk diskursus kejahatan?Â
Karena Cincin Gyges bukan hanya sekadar cerita tentang kekuatan ajaib, melainkan representasi dari konflik batin dalam diri manusia antara dorongan moral dan godaan untuk berbuat buruk. Plato melalui tokoh Socrates mempertanyakan apakah moralitas seseorang semata-mata ditentukan oleh dorongan internal atau oleh kontrol sosial eksternal.Â
Mitos ini menantang kita untuk mempertanyakan: Apakah moralitas murni dari hati nurani atau hanya hasil dari aturan dan ketakutan terhadap hukuman? Dalam konteks modern, metafora ini bisa kita lihat dalam berbagai aspek kehidupan, dari etika teknologi hingga politik, di mana "cincin tak terlihat" bisa berupa kekuasaan, uang, atau otoritas yang membuat individu merasa kebal terhadap konsekuensi.
How
Bagaimana sebuah objek fiktif seperti Cincin Gyges dapat membentuk pemahaman kita tentang konsep yang begitu mendasar seperti kebaikan dan kejahatan? Melalui kisah ini, kita diajak untuk merenungkan asal-usul moralitas dan sejauh mana kekuatan eksternal dapat mempengaruhi perilaku manusia.
Cincin Gyges bukan hanya sekadar benda ajaib, tetapi juga sebuah alat untuk menguji batas-batas moralitas. Kisah ini menunjukkan bahwa bahkan orang yang paling baik sekalipun dapat tergoda untuk melakukan kejahatan jika mereka merasa aman dari konsekuensinya.
Teori Interpretasi Paul Ricoeur
Paul Ricoeur dikenal dengan teorinya tentang interpretasi (Theory of Interpretation), khususnya dalam karya berjudul Discourse and the Surplus Meaning. Teori ini menyoroti bahwa makna suatu teks atau diskursus tidak hanya bersifat eksplisit, tetapi juga memiliki makna berlebih atau surplus meaning yang terbuka untuk interpretasi yang lebih luas. Menurut Ricoeur, mitos dan cerita tidak hanya perlu dipahami secara literal, tetapi juga bisa dipahami dalam kerangka yang lebih dalam, yang mencakup aspek metafisik, moral, dan hukum.
Mitos sebagai Entitas Metafisik dan Kejahatan
Pada gambar, dijelaskan bahwa Ricoeur melihat mitos sebagai entitas metafisik yang bisa direduksi menjadi konsep "kejahatan" (crime) atau penyimpangan hukum. Artinya, mitos dapat dianggap sebagai simbol dari pelanggaran terhadap hukum atau moral yang berlaku. Ricoeur menganalisis bagaimana mitos-mitos tersebut memberikan gambaran tentang konsep kejahatan atau dosa dalam kehidupan manusia.
Penjelasan Mitos tentang Kejahatan
Ada tiga mitos utama yang dibahas sebagai representasi dari konsep "kejahatan":
- Mitos Penciptaan (Kosmogoni)
Kejahatan ada lebih purba dari dunia, bahkan sebelum dunia yang teratur (kosmos) tercipta dari kekacauan (chaos). - Mitos Prometheus
Dalam mitos Yunani, Prometheus mencuri api dari para dewa dan memberikannya kepada manusia, yang dianggap sebagai tindakan pemberontakan dan pencurian yang menimbulkan konflik moral dan etis. - Mitos Kejatuhan
Mitos ini menggambarkan manusia (sebagai tokoh antropologis yang bukan dewa) yang jatuh dalam dosa atau kesalahan yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan atau iman. Kejatuhan ini menunjukkan aspek kepercayaan yang hilang akibat kesalahan manusia.
Catatan tentang Dosa dan Kesalahan Manusia
Di bagian bawah gambar, ada beberapa poin mengenai catatan tentang dosa dan kesalahan manusia, yang mengindikasikan tingkatan atau sifat dari kejatuhan atau pelanggaran moral manusia:
- Noda atau Kecemaran (Primitif)
Konsep ini merujuk pada pemahaman bahwa manusia memiliki sisi primal atau primitif yang tercemar oleh mitos. Mitos ini menggambarkan asal-usul manusia yang masih "ternoda." - Dosa
Bagi manusia yang memiliki kepercayaan (bertuhan), dosa merupakan kondisi kerusakan dalam diri yang memutuskan hubungan dengan yang suci atau ilahi. - Kesalahan Etis (Horizontal)
Merujuk pada kesadaran logis manusia akan kesalahan yang dilakukan dalam hubungan dengan sesama (secara horizontal). - Sekarang Bersifat Murni
Pada akhirnya, konsep manusia yang "murni" mencerminkan ide bahwa manusia, setelah mengalami proses kesalahan, noda, dan dosa, mencapai suatu kondisi di mana dia kembali ke esensi atau kemurnian awal.
Mitos Epos Yunani: Tantalus, Sisyphus, Ixion
Di bagian kiri atas gambar, terdapat ilustrasi yang menunjukkan beberapa tokoh dalam mitologi Yunani:
- Tantalus
Sosok yang dihukum dengan rasa lapar dan haus abadi di dunia bawah. Setiap kali ia mencoba minum atau makan, air dan makanan itu menjauh darinya. - Sisyphus
Dihukum untuk terus-menerus mendorong batu besar ke puncak bukit, namun setiap kali hampir mencapai puncak, batu itu bergulir kembali ke bawah. Hukuman ini melambangkan kerja tanpa akhir dan tanpa hasil. - Ixion
Tokoh yang dihukum dengan diikat pada roda yang berputar tanpa henti. Ia melambangkan penderitaan yang terus-menerus.
Mitologi ini seringkali digunakan sebagai simbol penderitaan yang tiada akhir dan perjuangan manusia yang tampaknya sia-sia.
Kutipan Arthur Schopenhauer
Di bagian kiri bawah, terdapat kutipan dari Arthur Schopenhauer, seorang filsuf Jerman:
"All truth passes through three stages. First, it is ridiculed. Second, it is violently opposed. Third, it is accepted as being self-evident."
Artinya, Setiap kebenaran akan melewati tiga tahap : pertama diejek, kedua ditentang secara keras, dan ketiga diterima sebagai sesuatu yang nyata.
Pemikiran ini menggambarkan bagaimana ide atau kebenaran baru sering kali menghadapi penolakan sebelum akhirnya diakui secara luas.
Teori Sigmund Freud tentang Ketidaksadaran
Di bagian kanan gambar, terdapat skema dari struktur kepribadian menurut teori psikoanalisis Sigmund Freud:
- Id
Terletak pada level ketidaksadaran (unconscious level). Id mewakili dorongan dasar manusia seperti seks dan agresi, mencari kepuasan instan, impulsif, dan tidak rasional. - Ego
Bertindak sebagai pengatur yang menengahi antara dorongan id dan superego. Ego bekerja di tingkat kesadaran dan juga sebagian di tingkat ketidaksadaran, berusaha untuk realistis dan rasional. - Superego
Berada di tingkat prakesadaran (preconscious level), mewakili moral dan nilai-nilai yang dipelajari, berfungsi sebagai hati nurani seseorang, dan memberikan rasa benar dan salah.
Freud memperkenalkan konsep bahwa manusia dikendalikan oleh ketidaksadarannya. Menurutnya, banyak tindakan, perasaan, dan pikiran kita sebenarnya dipengaruhi oleh dorongan dan konflik yang tidak kita sadari.
Informasi tentang Sigmund Freud
- Freud adalah seorang neurolog asal Austria yang dikenal sebagai bapak psikoanalisis.
- Psikoanalisis adalah pendekatan psikologi yang menekankan pentingnya alam bawah sadar dalam perilaku manusia.
- Freud juga terkenal dengan teorinya tentang mimpi, di mana ia menyatakan bahwa interpretasi mimpi dapat mengungkap struktur psikologis seseorang.
Pemikiran Kant tentang Fenomena dan Nomena
Judul: Kant Beda Antara Fenomena dan Nomena
- Fenomena adalah segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra dan dipahami oleh pikiran logis.
- Nomena, di sisi lain, adalah sesuatu yang berada di luar kemampuan manusia untuk diketahui atau dipahami sepenuhnya.
Tiga hal penting menurut Kant:
- Kebebasan
- Moral
- Keabadian (kehidupan di luar dunia ini)
Konsep Pendidikan dan Keadilan Menurut Plato
Pendidikan sebagai Sarana Mencapai Keadilan menurut Plato
Plato memandang pendidikan sebagai sarana untuk mencapai keadilan, baik keadilan individu maupun keadilan sosial. Menurut Plato, keadilan individu dapat diperoleh ketika setiap individu mengembangkan kemampuannya secara maksimal, yang berarti berusaha mencapai keunggulan. Bagi orang Yunani dan Plato, keunggulan ini adalah kebajikan.
- Pendidikan adalah proses yang membawa manusia dari "hewan" atau wilayah private (Oikos) menjadi konsep Res Publica (kepentingan publik).
- Model Pendidikan Plato: Disebut sebagai Paideia.
Struktur Jiwa Menurut Plato:
- Rasional (kelas penguasa - ruling class)
- Spirited (kelas prajurit - soldiers)
- Appetitive (kelas pekerja - working class)
Metafora: Plato menggambarkan jiwa manusia melalui kereta kuda Phaedrus:
- Kuda Putih Thumos (melambangkan aspek Spirited)
- Kuda Hitam Epithumia (melambangkan aspek Appetitive)
- Alasan manusia (Logistikon) sebagai pengendali kereta
Simbol Kekuasaan dalam Diri Manusia:
- Logistikon (rasional)
- Thomus (semangat/motivasi)
- Epithumia (keinginan/nafsu)
Daftar Pustaka
- PPT/Modul Prof. Apollo TM 9 (Apa itu "Ontologi Episteme Kejahatan" dari Mitos menjadi Logos)
- Fatlolon,  C.  (2024).  Ketaatan,  Keadilan,  dan  Keadilan  dalam  Negara Hukum: Prespektif Filsafat politik Plato. Media Jurnal Filsafat dan Teologi, 60Â
- Fitriyah  Nur  Fadilah,  S.Sos.,  MIP,  (2020,  Agustus  25)  Rangkuman Pemikiran Plato https://inmind.id/rangkuman-pemikiran-platoÂ
- Hayuning Ratri Hapsari , Mulyana Wirianata. ( 2023, November 08 ). Ulasan Buku ‘Sofis’, Obrolan Bapak -Bapak  Filsuf.  Ulasan  Buku 'Sofis',  Obrolan  Bapak-Bapak  Filsuf  ala  Plato  dan  Socrates (suara.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H