Pendahuluan
What, Why & How
Raden Ngabehi Ranggawarsita, seorang pujangga besar Jawa pada abad ke-19, Pemikiran Ranggawarsita yang ia tuangkan ke dalam karyanya juga beragam dan cukup kaya, diantaranya aspek kesusastraan, moralitas sampai ajaran mistiknya. Diantara begitu banyak ajaran yang tertuang dalam karya-karyanya, salah satunya adalah pemikiran tentang filsafat sejarah yang belum banyak diteliti.
Konsep filsafat sejarah yang ada dalam karya Ranggawarsita seperti Paramayoga tercipta karena adanya rumusan sejarah yang dibangun oleh sinkretisme yang kuat. Kentalnya unsur sinkretisme antara ajaran Islam dan ajaran Hindu-Budha dalam Paramayoga diketahui karena banyak ditemukan mitos-mitos pewayangan, dewa-dewa Hindu dan kepercayaan Jawa lainnya yang bercampur dengan sejarah manusia menurut ajaran Islam. Paramayoga sendiri dilihat sebagai produk filsafat sejarah Ranggawarsita. Ranggawarsita juga membagi periode zaman atau kala menjadi beberapa bagian dengan istilah penamaan sendiri olehnya yaitu Zaman Kalatidha, Zaman Kalabendu dan Zaman Kalasuba yang tergolong ke dalam siklus Cakra Manggilingan. Siklus sejarah ini akan selalu berulang setiap periode tertentu.
Tiga Era dalam Ramalan Ranggawarsita
1. Era Kalatidha
Era ini menggambarkan masa transisi atau kemunduran. Masyarakat mulai terjebak dalam egoisme, dengan sikap yang mementingkan diri sendiri. Nilai moral dan etika mulai terabaikan, sementara kepentingan pribadi lebih diutamakan. Ini adalah masa feodalisme dan munculnya perpecahan dalam tatanan sosial.
Serat Kalatidha adalah karya Ranggawarsita yang paling terkenal karena di dalam serat ini Ranggawarsita menyinggung tentang Zaman Edan. Lewat serat yang bernada amarah yang terpendam ini, nama Ranggawarsita menjadi bersejarah di bumi nusantara. Zaman Edan sebenarnya merupakan siklus sejarah yang akan selalu berulang setiap periode tertentu. Namun sebenarnya ungkapan Kalatidha atau zaman keraguan ini sudah ada sebelum Ranggawarsita menulis Serat Kalatidha. Ungkapan tersebut telah ada dalam Serat Centhini Jilid IV.
Zaman Kalatidha merupakan zaman yang melukiskan tentang keadaan Zaman Gemblung. Zaman di mana manusia dihadapkan pada pilihan yang merepotkan. Sehingga Zaman Gemblung bisa diidentikkan zaman bingung atau zaman kegelapan. Pada zaman ini, keadaan negara sedang terpuruk karena tidak ada lagi yang memberi tauladan baik. Banyak yang meninggalkan norma-norma kehidupan. Orang-orang bijak terbawa arus zaman yang penuh keragu-raguan. Suasana mencekam karena dunia dipenuhi dengan masalah.
Hal ini tertuang dalam gubahan Ranggawarsita di Serat Kalatidha yang berbentuk tembang macapat:
Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaturi
Rurah pahrehing ukara, karana tanpa palupi
Atilar silastuti, sujana sarjana kelu
Kalulun kalatidha, tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda
Artinya :
Beginilah keadaan negara, yang kian tak menentu
Rusak tatanan, karena sudah tak ada yang pantas ditiru
Aturan diterjang, para bijak dan cendekia malah terbawa
arus
Larut dalam zaman keraguan, keadaan pun mencekam
Dunia pun dipenuh beragam ancaman.
(Serat Kalatidha bait 1)
Ranggawarsita: Serat Kalatidha
Bait ke-12, Tembang Sinom
- Diambil dari karya pujangga agung Ranggawarsita yang berjudul "Serat Kalatidha".
- Sageda sabar santosa, mati sajroning ngaurip
Diharapkan untuk bisa bersabar dan kuat dalam menghadapi "mati sajeroning urip" atau kematian dalam hidup, yang berarti menghadapi tantangan dengan penuh kesabaran. - Kalis ing reh aruraha, murka angkara sumingkir
Berharap agar terbebas dari berbagai kesulitan dan menghindari sifat serakah atau marah. - Tarlen meleng malat sih, sanityaseng tyas mematuh
Tetap menjaga hati untuk tetap patuh dan bersih dari godaan. - Badharing sapudhenda, antuk mayar sawetawis
Melepaskan diri dari kutukan atau beban hidup, untuk mendapatkan kedamaian. - Borong angga sawarga
Menyerahkan seluruh jiwa raga demi kesejahteraan.
Maknanya : Teks ini menyampaikan pesan tentang pentingnya kesabaran dan kebijaksanaan dalam menghadapi masa sulit. Dengan tetap berpegang pada nilai-nilai kebaikan, seseorang dapat melewati cobaan dan mencapai ketenangan
Dalam Serat Kalatidha yang ditulis sekitar tahun 1861 ini merupakan kritik sosial profetis dimana ia menggambarkan akan datangnya masa sulit, yang disebut sebagai zaman edan. Pada zaman itu negara demikian kacau, undang-undang tidak dihargai dan rakyat semakin rakus dan loba. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa tulisan tersebut hanya ungkapan perasaan
Ranggawarsita yang kesal terhadap raja. Karena meskipun sudah menjadi pujangga kerajaan, namun kepangkatan yang dimiliki hanya Kliwon Carik, sebuah pangkat dibawah Tumenggung. Padahal pangkat seorang pujangga biasanya adalah Tumenggung. Ia juga pernah dijanjikan akan diangkat menjadi Bupati, namun janji itu tak kunjung tiba, bahkan akhirnya gagal sama sekali.
Hubungan yang kurang akrab dengan raja, karirnya yang dihambat, membawa perkembangan tersendiri dalam kehidupan Ranggawarsita. Terutama memang kepribadiannya yang sejak muda sangat akrab dengan wong cilik atau rakyat kecil bersama nasib dan penderitaan mereka. Ranggawarsita muncul sebagai tokoh yang semakin kritis, baik terhadap kerajaan maupun pemerintahan kolonial Belanda.
Sekalipun Serat Kalatidha melukiskan tentang keadaan Zaman Gemblung, namun ajaran kearifan yang bisa kita tangkap dari Serat Kalatidha adalah agar kita selalu waras manakala tengah menghadapi Zaman Gemblung, tidak ada Langkah bijak selain bersikap sabar untuk menenangkan jiwa. Dengan ketenangan, manusia akan tahu mana yang baik dan buruk
2. Era Kalabendhu
Disebut juga sebagai zaman edan atau masa kehancuran. Ini adalah masa di mana segala sesuatu berada dalam kebalikan dari tatanan normal (walik zaman). Era ini diibaratkan sebagai "Kembang Seruni" yang menggambarkan kerusakan dan kekacauan, serta maraknya fenomena seperti korupsi dan ketidakadilan di masyarakat.
Kalabendu atau zaman yang penuh dengan bebendu (bencana) menjadi puncak dari zaman kalatidha atau zaman yang penuh dengan keraguan. Gambaran Ranggawarsita tentang Zaman Edan terlukiskan dalam bait ketujuh dalam karya terbesarnya yakni Serat Kalathida sebagai berikut:
Amenangi Zaman Edan
Ewuh aja ing pambudi
Melu edan ora tahan
Jen tan milu anglakoni
Boja kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada
Artinya :
Mengalami Zaman Gila
Sukar sulit (dalam) akal ikhtiar
Turut gila tidak tahan
Kalau tak turut menjalaninya
Tidak kebagian milik
Kelaparanlah akhirnya
Takdir kehendak Allah
Sebahagia-bahagianya yang lupa
Lebih bahagia yang sadar serta waspada
Konsep Zaman Edan seperti telah dijelaskan oleh Ranggawarsita di atas, memang telah begitu dikenal oleh masyarakat Jawa, dan mereka percaya bahwa zaman atau masa itu akan datang. Masa yang penuh dengan bencana. Bukan hanya sekedar bencana alam tetapi bencana yang disebabkan oleh manusia itu sendiri berupa hawa panas yang membuat semua orang ingin serba cepat, serba terlena, mudah tersinggung dan marah, suka menyalahkan orang lain, dan berbagai macam bencana hati lainnya.
Di Zaman Kalabendu ini niscaya bermunculan ular-ular berkepala dua yang melambangkan manusia berhati mendua. Artinya, manusia tersebut tidak memiliki keteguhan jiwa yang dikarenakan untuk menyelamatkan atau menguntungkan diri sendiri.
- Katangi (bangkitlah) tangising (tangisnya) mardawalagu (sang ahli lagu), mengisyaratkan bahwa perlu membangkitkan kesedihan sang ahli lagu karena tertimpa hal yang memalukan.
- Kwilet (terbelit) tyas (hati) duhkit (sedih), kataman (tertimpa) ring (oleh) reh (segala) wirangi (memalukan), menjelaskan tentang perasaan hati yang sedih karena tertimpa hal-hal yang memalukan.
- Angupaya (sebuah upaya) sandi (sandi) sumaruna (yang bergaul), artinya usaha yang tersembunyi untuk bisa bergaul dengan baik, meski ada keinginan yang berat.
- Anarawung (menyertai) mangimur (membujuk) sanubariku (sanubari), berarti berusaha membujuk hati agar tetap tenang di tengah ujian.
Maknanya : Bangkit dari kesedihan dan ujian hidup, meskipun harus menghadapi keadaan yang memalukan atau sulit. Terus berupaya dengan bijak dan bergaul secara positif.
Ciri-Ciri Zaman Kalabendu:
- Dalajading (pertanda) praja (negara) kawuryan (terlihat) wus (sudah) suwung (sepi)
menunjukkan keadaan negara yang telah kosong atau hancur. - Lebur (hancur) pangreh (pemerintahan) tata (tata), karana (karena) tanpa (tanpa) palupi (teladan)
menunjukkan tidak adanya pemimpin yang memberi contoh baik, menyebabkan keruntuhan tata pemerintahan. - Silastuti (aturan kebaikan) titi (kehati-hatian) tata (tatanan)
mengisyaratkan bahwa aturan dan kehati-hatian sudah ditinggalkan. - Para sujana (orang-orang pintar) sarjana satêmah (akhirnya) kèlu (terseret)
para cendekiawan atau orang bijak justru terseret ke dalam masa yang penuh keraguan. - Kalatidha (zaman keraguan), tidhêm (sepi) tandhaning (tanda-tanda) dumadi (kehidupan)
menandakan zaman keraguan yang penuh dengan tanda-tanda kehidupan yang tidak jelas. - Hardayèngrat (keinginan baik) dening (oleh karena) karoban (tertimpa) rubeda (kerepotan)
menegaskan bahwa niat baik sering kali tertutupi oleh berbagai kesulitan yang terjadi.
Maknanya : Menggambarkan keadaan masyarakat dan pemerintahan di masa Kalabendu, yang penuh dengan kekacauan dan hilangnya teladan serta aturan kebaikan.
Pemimpin yang Mulia Tidak Mampu Mengatasi Zaman Keraguan
Meskipun raja, patih, dan pejabat-pejabat lain memiliki karakter yang mulia, mereka tidak mampu menjadi penolak dari Zaman Kalabendu yang penuh keraguan.
- "Sitipati naraprabu utamêstu, papatih nindhita, pra nayaka tyas basuki, panêkare bêcik-bêcik cakrak-cakrak, nanging tan dadya paliyasing Kalabêndu."
Artinya: Sang Raja adalah raja utama sungguh, Sang Patih unggul terpuji, para pejabat berhati mulia, pegawai rendah baik-baik dan mampu, tetapi tidak menjadi penolak dari Zaman Kalabendu.
Situasi yang Semakin Mempersulit Keadaan
Berbagai halangan dan kendala semakin meningkat, dan keinginan orang-orang dalam satu negeri menjadi berbeda-beda sehingga tidak ada koordinasi yang kompak di antara para pejabat.
- "Mandar sangkin ndadra, rubeda angrur ubêdi, beda-beda hardaning wong sanagara."
Artinya: Malah semakin menjadi, halangan merepotkan, beda-beda keinginan orang satu negeri.
Panitisastra Memberi Peringatan pada Zaman Musibah
Panitisastra memberi peringatan bahwa di Zaman Kalabendu, orang yang bijaksana dan berbudi luhur sering tertinggal. Oleh karena itu, disarankan agar waspada dan mencermati setiap peristiwa yang terjadi.
- "Ing Panitisastra wawarah sung pemut ing jaman musibat, wong ambêg jatmika kontit kang mangkono yèn nitêni lalampahaning peristiwa."
Artinya: Di dalam Panitisastra mengajarkan dan memberi peringatan bahwa di zaman musibah, orang berbudi halus sering tertinggal, yang demikian bila melihat dengan teliti segala peristiwa.
Zaman Gêmblung atau Zaman Edan yang Membuat Repot
Pada zaman ini, para pujangga merasa kesulitan dalam bertindak. Jika mereka mengikuti zaman gila tersebut, maka mereka akan sangat kesulitan.
- "Nawung kridha kang mêningi jaman gêmblung, iya jaman edan, ewuh aya ing pambudi, yèn mêluwa yêkti nora tahan."
Artinya: Pujangga yang mengalami Zaman Gemblung atau Zaman Edan, sulit dalam bertindak, kalau ikut gila sungguh tidak tahan.
Waktu yang Sudah Dekat dengan Akhir Zaman Kalabendu
Dalam naskah, dijelaskan bahwa waktu itu sudah mendekati akhir Zaman Kaladuka (Kalabendu). Keadaan diwarnai dengan musnahnya raja atau pemimpin, dan adanya pertentangan atau situasi yang berlawanan dengan apa yang seharusnya terjadi.
- "Wêktu iku wus parêk wêkasanipun, jaman Kaladuka sirnaning ratu amargi wawan-kalawan memaronira."
Artinya: Waktu itu sudah dekat dengan akhir Zaman Kalabendu, musnahnya raja (negara) karena berlawanan dengan paruhannya.
Pesan dari Ki Sali Mengenai Tidak Berakhirnya Zaman
Ki Sali menyatakan bahwa saat itu bukanlah akhir dari zaman. Masih akan ada zaman lainnya yang tidak membuat rasa takut dalam hati.
- "Ki Sali ngling jêbêng anakku ingkang iku dudu pungkasaning jaman, isih ana jaman maning ingkang ora dadi girising wardaya."
Artinya: Ki Sali berkata, “Anakku, itu bukan akhir dari zaman; masih ada zaman lainnya yang tidak membuat takut dalam hati.”
Selain mengajarkan tentang ciri-ciri keadaan Zaman Kalabendu, dalam Serat Sabdatama dapat disimpulkan memuat dua ajaran utama, yakni:
- Bahwa di Zaman Kalabendu niscaya bermunculan ular- ular berkepala dua yang melambangkan manusia berhati mendua. Artinya, manusia tersebut tidak memiliki keteguhan jiwa yang dikarenakan untuk menyelamatkan atau menguntungkan diri mereka sendiri. Namun faktanya, manusia berhati mendua tidak pernah selamat di dalam hidupnya. Bila borok-borok mereka telah diketahui, maka manusia semacam itu akan dikucilkan dari lingkup pergaulan. Ituah hukuman yang setimpal dan sangat menyakitkan.
- Hukum cakra manggilingan merupakan hukum yang tidak dapat ditolak dan mengalir sebagaimana mestinya. Karenanya, seusai Zaman Kalabendu akan muncul zaman keemasan. Zaman dimana dukacita akan sirna dan kemudian tumbuhlah kebahagiaan. Karena yang didambakan manusia telah datang seolah tanpa dimintanya dari Tuhan. Zaman dimana hukum ditegakkan dan para pemimpinnya bersikap tegas dan bijaksana. Sehingga setahap demi setahap, negara akan mengalami kebangkitan dari tidur panjangnya.
3. Era Kalasuba
Masa kesejahteraan dan kemakmuran. Disebut sebagai masa Ratu Adil, di mana masyarakat hidup damai dan tenteram. Nilai-nilai spiritualitas seperti "Eling lan Waspodo" dijunjung tinggi. Ratu Adil sering diidentikkan dengan sosok pembebas atau penyelamat, yaitu Imam Mahdi, yang membawa keadilan.
Ramalan tentang berakhirnya zaman kalabendu dan munculnya zaman kalasuba tercantum dalam salah satu karya Ranggawarsita yaitu Serat Sabda Jati sebagai berikut:
ku lagi sirap jaman kala bendu
Kala suba kang gumanti
Wong cilik bisa gumuyu
Nora kurang sandhang bukti
Sedyane kabeh kelakon
Artinya :
Di situlah baru selesai jaman kalabendu
Ganti dengan zaman kalasuba
Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria
Tidak kekurangan sandan dan makan
Seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.
Zaman ini merupakan awal dimana kebahagiaan akan tumbuh karena kesejahteraan manusia telah datang dari Tuhan. Pada zaman ini, hukum ditegakkan dan para pemimpinnya bersikap tegas dan bijaksana. Hal ini membuat negara secara setahap demi setahap mengalami kebangkitan dari tidur panjangnya.
Sedangkan dalam karyanya Serat Sabdatama Ranggawarsita meramalkan zaman keemasan atau kemerdekaan sebagai berikut:
Supaya pada emut
Amawasa benjang jroning tahun windu kuning
kono ana wewe putih
Gegamane tebu wulung
Arsa angrebaseng wedhon
Artinya :
Agar diingat-ingat
Kelak bila sudah menginjak tahun windu kuning
Akan ada wewe putih
Yang bersenjatakan tebu hitam akan menghancurkan pocongan.
Di Zaman Kalabendu, rakyat kecil akan hidup penuh kesengsaraan. Namun, pada Zaman Kalasuba, rakyat kecil akan hidup penuh anugerah. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum cakra manggilingan tetap berlaku. Maka dari itu, kita tak perlu terlalu berduka saat hidup sengsara dan tak perlu pula terlalu bergembira saat menerima anugerah. Satu hal yang perlu dilakukan manusia adalah bersyukur saat terbebas dari kesengsaraan atau mendapatkan anugerah dari Tuhan.
Ratu Adil ( Harapan dan Mitologi Sosial )
Dalam tradisi Jawa, Ratu Adil adalah sosok ideal yang dinantikan untuk membawa keadilan dan kesejahteraan di tengah kekacauan. Konsep ini berkaitan erat dengan pemikiran eskatologis (akhir zaman), di mana Imam Mahdi atau tokoh penyelamat diyakini akan datang untuk memulihkan tatanan dunia.
Psikoanalisis Freud dan Implikasinya pada Sosial
Sigmund Freud : Id, Ego, dan Superego
- Id : Dorongan primitif dan naluri dasar.
- Ego : Rasionalitas yang berusaha menyeimbangkan Id dan realitas.
- Superego : Representasi moral dan nilai-nilai sosial.
Dalam konteks sosial, Keburukan cenderung lebih dominan daripada kebaikan dengan perbandingan 2:1. Ini mencerminkan realitas kehidupan yang penuh dengan konflik dan tantangan dalam mempertahankan tatanan moral di tengah dorongan egois manusia.
Tragedi Kisah Ajisaka dan Hanacaraka
Kisah Ajisaka dengan aksara Hanacaraka mengandung pesan filosofis mendalam tentang kesetiaan dan pengorbanan. Konflik utama muncul antara Ajisaka dan pengawalnya, Dora dan Sembada, yang berakhir dengan kematian tragis. Cerita ini menjadi simbol konflik antar nilai-nilai kebenaran, kepatuhan, dan pengorbanan.
Keterkaitan dengan Kondisi Sosial di Indonesia
Fenomena korupsi dan kemerosotan moral di Indonesia bisa dikaitkan dengan era Kalatidha dan Kalabendhu dalam ramalan Ranggawarsita. Masyarakat terlihat menghadapi krisis nilai, di mana egoisme dan kepentingan pribadi mengalahkan kebaikan bersama. Dalam situasi seperti ini, harapan akan hadirnya Ratu Adil atau sosok penyelamat sering muncul sebagai aspirasi sosial untuk membangun kembali tatanan yang adil dan makmur.
"...Sakbegja-begjane wong kang lali iseh begja wong kang eling lan waspada..."
Artinya :
"Sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia orang yang ingat dan waspada."
Makna dan Penjelasan:
Frasa tersebut adalah salah satu ajaran penting dalam falsafah Jawa, khususnya dalam karya-karya Ranggawarsita. Ajaran ini menekankan pentingnya kesadaran spiritual dan kewaspadaan dalam setiap tindakan dan pikiran seseorang.
Eling:
- Bermakna selalu ingat kepada Tuhan dan ketentuan-Nya. Ini adalah bentuk kesadaran untuk menyelaraskan perilaku dan keputusan dengan nilai-nilai kebaikan serta ajaran agama.Waspada:
- Mengandung arti senantiasa berhati-hati dan awas terhadap perubahan serta fenomena sosial di sekitar. Bukan hanya dalam kehidupan pribadi, tetapi juga terhadap perubahan dalam masyarakat, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Pesan Moral:
- Ajaran ini mengingatkan bahwa lupa dan lalai adalah sifat manusiawi, tetapi orang yang tetap ingat dan waspada akan lebih siap menghadapi tantangan kehidupan.
- Kewaspadaan dan kesadaran diperlukan tidak hanya dalam menjalankan ibadah tetapi juga dalam menghadapi perubahan sosial dan politik, termasuk korupsi atau krisis moral yang dapat terjadi di masyarakat.
Relevansi dalam Kehidupan Modern:
Ajaran "Eling lan Waspada" masih sangat relevan dalam konteks kehidupan masa kini, terutama di era globalisasi dan digital. Dengan perkembangan informasi dan teknologi yang cepat, setiap individu perlu selalu:
- Mengingat prinsip-prinsip moral dan etika dalam mengambil keputusan.
- Waspada terhadap dampak negatif dari perubahan sosial, seperti hoaks, polarisasi masyarakat, atau kerusakan lingkungan.
Fenomena Korupsi di Indonesia
Korupsi dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun demikian, bila dikaji secara mendalam, akan segera diketahui bahwa hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur berikut di dalamnya:
1. Penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara.
2. pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan. (Braz dalam Lubis dan Scott, 1985).
Dengan kedua unsur tersebut, tidak aneh jika Alatas (1999), cenderung menyebut korupsi sebagai suatu tindakan pengkhianatan(pengingkaran amanah). Tetapi justru karena sifat korupsi yang seperti itu, upaya untuk mendefinisikan korupsi cenderung memiliki masalah pada dirinya sendirinya. Disadari atau tidak, upaya untuk mendefinisikan korupsi hampir selalu terjebak ke dalam dua jenis standar penilaian yang belum tentu akur satu sama lain, yaitu norma hukum yang berlaku secara formal, dan norma umum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Akibatnya, suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi secara hukum, belum tentu dikategorikan sebagai perbuatan tercela bila ditinjau dari segi norma umum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi dalam pandangan norma umum, belum tentu mendapat sanksi yang setimpal secara hukum (Waterbury dalam Lubis dan Scott, 1990).
Bertolak dari masalah pendefinisian korupsi yang cukup rumit tersebut, tanpa sengaja kita sesungguhnya dipaksa untuk memahami korupsi sebagai suatu fenomena dinamis yang sangat erat kaitannya dengan pola relasi antara kekuasaan dan masyarakat yang menjadi konteks berlangsungnya fenomena tersebut.
Artinya, fenomena korupsi hanya dapat dipahami secara utuh jika ia dilihat dalam konteks struktural kejadiannya. Pernyataan ini sama sekali bukan untuk menafikkan keberadaan korupsi sebagai sebuah fenomena kultural, melainkan sekadar sebuah penegasan bahwa fenomena korupsi juga memiliki dimensi struktural yang sangat penting untuk diselidiki guna memahami fenomena korupsi secara utuh.
Korupsi dan Kekuasaan
Korupsi pernah menjadi bahan perdebatan yang cukup hangat dalam sejarah Indonesia. Hal itu bermula dari pernyataan Furnivall, sebagaimana dikemukakan oleh Smith (Lubis dan Scott, 1990), yang menyatakan bahwa Indonesia di masa kolonial sama sekali bebas dari korupsi. Jika kemudian korupsi cenderung berkembang menjadi penyakit endemik dalam struktur ekonomi dan politik Indonesia, setidak-tidaknya menurut sejumlah kalangan, maka kesalahan terutama harus ditimpakan terhadap pemerintahan pendudukan Jepang.
Tetapi pendapat seperti itu dibantah dengan tegas oleh Smith. Mengutip Day, Smith mengemukakan sejumlah contoh yang mengungkapkan cukup meluasnya tindakan korupsi di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Penyebab utamanya adalah gaji yang sangat rendah. Karena menerima gaji yang sangat rendah, orang-orang yang bekerja pada kompeni Belanda sangat mudah tergoda untuk menerima imbalan tambahan dari organisasi-organisasi pribumi yang lemah. Hanya saja, karena banyak dari bentuk-bentuk korupsi yang terjadi ketika itu berlangsung dengan modus operandi yang belum dikenal sebelumnya, ia cenderung mendapat nama yang cukup sopan dan dipandang sebagai perbuatan legal.
Berbagai bentuk korupsi yang telah berlangsung sejak sebelum tahun 1800-an itu, cenderung semakin meluas setelah terjadinya peralihan kekuasaan ke tangan gubernur jenderal Belanda. Penyebabnya adalah terjadinya perubahan metode pembayaran terhadap para aristokrat pribumi. Pembayaran terhadap aristokrat pribumi ini, yang oleh kompeni dilakukan dengan memberikan upeti, oleh gubernur jendral Belanda diganti dengan memberi gaji. Akibatnya, para aristokrat pribumi tersebut terpaksa menggunakan cara-cara yang tidak sah jika mereka ingin mempertahankan taraf hidup yang sudah menjadi kebiasaan mereka.
Perluasan pengertian korupsi secara besar-besaran terjadi setelah Indonesia memasuki periode merdeka. Dengan beralihnya kekuasaan dari penguasa kolonial ke tangan pemerintah Indonesia, tuntutan masyarakat terhadap penggunaan kekayaan negara secara benar cenderung meningkat. Pemakaian secara pribadi kekayaan negara oleh para pejabat negara akan serta merta dipandang sebagai tindakan korupsi. Sebagaimana dikemukakan Wertheim, tindakan yang sebelumnya dipandang sebagai tindakan normal, kini dipandang secara lebih kritis.
Pelajaran yang dapat dipetik dari sejarah perkembangan korupsi di Indonesia tersebut adalah:
1. Korupsi pada dasarnya berkaitan dengan perilaku kekuasaan. Mengutip Lord Acton, kekuasaan memang cenderung untuk korup. Kekuasaan yang berkuasa secara absolut, akan korup secara absolut pula.
2. Korupsi sangat erat kaitannya dengan perkembangan sikap kritis masyarakat. Semakin berkembang sikap kritis masyarakat, maka korupsi akan cenderung dipandang sebagai fenomena yang semakin meluas.
Berdasarkan kedua hal tersebut, tragedi yang dialami oleh pemerintahan Orde Baru sesungguhnya dapat ditafsirkan secara mudah. Sebagaimana diketahui, pemerintahan Orde Baru yang berkuasa lebih dari 30 tahun tersebut, terutama menopang kekuasaannya dengan dukungan militer. Dengan sifat seperti itu, pemerintahan Orde Baru sesungguhnya tidak hanya telah memerintah terlalu lama, tetapi cenderung berkuasa secara otoriter.
Penanggulangan Korupsi
Bertolak dari uraian panjang dan lebar di muka, secara struktural dapat disaksikan betapa sangat rentannya Indonesia terhadap fenomena korupsi. Situasi rentan itu tidak hanya berkaitan dengan pola relasi dinamis antara kekuasaan yang otoriter dengan sikap kritis masyarakat, tetapi terutama berkaitan dengan struktur pengelolaan keuangan publik yang memang sentralistik secara berlebihan.
Lebih-lebih anasir-anasir Orde Baru belum sepenuhnya dapat disingkirkan dari lingkaran kekuasaan dan birokrasi di Indonesia. Keberadaan anasir-anasir Orde Baru ini tidak hanya cenderung menjadi kekuatan struktural yang menghambat semua upaya untuk memerangi korupsi, lebih dari itu mereka cenderung menjadi komponen utama yang menghalangi setiap upaya untuk mendesentralisasikan struktur pengelolaan keuangan publik di negeri ini.
Sebab itu, jangankan berbicara mengenai upaya penghapusan danadana nonbujeter, berbagai upaya untuk memulihkan perekonomian Indonesia pun sangat rentan terhadap tindakan korupsi. Dengan kata lain, jangankan dana BLBI, penjualan aset oleh BPPN, privatisasi BUMN, program penanggulangan kemiskinan seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan dana Kredit Usaha Tani (KUT) pun, sangat rentan untuk disalahgunakan dan diselewengkan.
Mencermati kenyataan tersebut, strategi besar penanggulangan korupsi di Indonesia, tidak bisa tidak, harus diarahkan pada upaya sistemik untuk mendesentralisasikan pengelolaan keuangan publik di negeri ini. Desentralisasi dalam hal ini, berbeda dari konsep desentralisasi UU No. 25/1999, tidak hanya terbatas dalam bentuk desentralisasi belanja dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, melainkan harus diperluas Mencermati kenyataan tersebut, strategi besar penanggulangan korupsi di Indonesia, tidak bisa tidak, harus diarahkan pada upaya sistemik untuk mendesentralisasikan pengelolaan keuangan publik di negeri ini. Desentralisasi dalam hal ini, berbeda dari konsep desentralisasi UU No. 25/1999, tidak hanya terbatas dalam bentuk desentralisasi belanja dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, melainkan harus diperluas.
Sehubungan dengan itu, beberapa program strategis yang perlu segera dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1. Debirokratisasi BUMN, yaitu dengan cara memisahkan pengelolaan BUMN dari campur tangan birokrasi pemerintah.
2. Penghapusan segala bentuk dana nonbujeter dan penggabungan pengelolaannya ke dalam mekanisme APBN.
3. Penyerahan sebagian sumber-sumber pendapatan pemerintah pusat, melalui mekanisme pembagian pajak (tax sharing) kepada pemerintah daerah.
4. Penyerahan sebagian aset negara yang dikuasai oleh pemerintah pusat, termasuk saham BUMN, kepada pemerintah daerah, karyawan BUMN, atau untuk dikelola secara swadaya oleh masyarakat.
5. Pembukaan peluang bagi setiap kelompok masyarakat yang bergerak dalam bidang pelayanan publik, untuk turut mengelola secara langsung sebagian belanja daerah.
Di luar kelima program strategis tersebut, secara struktural tentu banyak program lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketegangan antara pemerintah dan masyarakat, serta untuk memerangi semakin meluasnya praktik korupsi dalam lingkungan kekuasaan. Peningkatan partisipasi dan transparansi dalam pengelolaan keuangan publik misalnya, harus terus menerus mengalami peningkatan. Demikian pula halnya dengan penghapusan peran militer dalam bidang politik dan bisnis. Upaya-upaya tersebut harus menjadi agenda utama bagi siapa pun yang ingin memerangi korupsi di negeri ini.
Daftar Pustaka
- PPT/Modul Prof. APollo TM 7 (Ranggawarsita Tiga Era, Kalasuba, Katatidha, Kalabendhu, dan Fenomena Korupsi di Indonesia)
- Laraswati (Juli, 2022) FILSAFAT SEJARAH MENURUT RADEN NGABEHI RANGGAWARSITA
- Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 1, September 2002: 25-34
- Anamofa, Jusuf Nikolas. “Membaca Karya Sejarah Dengan Kerangka Kerja Filsafat Sejarah Kritis.” Jurnal Seri Penghargaan Tokoh, Yogyakarta & Ambon, Aseni & FTU Press, 2016.
- Alatas, Syed Hussein, 1981. Sosiologi Korupsi, Jakarta: LP3ES
- Alatas, Syed Hussein, 1987. Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi, Jakarta: LP3ES
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI