Gelaran muktamar Nasyiatul Aisyiyah pada 2-4 Desember 2022 di Bandung lalu rampung dengan terpilihnya Ariati Dina Puspitasari menggantikan Diah Puspitarini. Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PPNA) resmi mengumumkan jajaran pengurus periode 2022-2026 kemarin lusa, Jumat (12/01).
Organisasi otonom (ortom) yang menjadi 'anak perempuan' Muhammadiyah dan Aisyiyah ini memang kurang dikenal. Ketika mendengar Nasyiatul Aisyiyah atau NA, terceletuk pertanyaan dari orang awam, "NA itu apanya NU ya mbak ?" tak jarang pula warga yang masih hijau di Muhammadiyah atau Aisyiyah tidak tahu-menahu jika ditanya perihal NA.
NA boleh jadi ortom yang kalah pamor dibanding saudaranya seperti Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Tapak Suci (TS) atau Pemuda Muhammadiyah. Meski begitu NA terbukti memberikan sumbangsih dengan melahirkan tokoh perempuan seperti ibu negara pertama yakni Fatmawati di masa pra-kemerdekaan. Kiprah NA juga terekam dalam Kongres Perempuan pertama sebagai kumpulan remaja putri yang mengisi paduan suara di acara tersebut. Era kini, kader NA yang masyhur adalah Ketua umum Aisyiyah periode lalu Siti Noordjannah Djohantini dan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Prof. Alimatul Qibtiyah.
Menjalani Perjalanan Menuju Bumi Pasundan
Tulisan ini menuturkan kilas balik bulan lalu. Saya menjadi peserta muktamar mewakili Kota Malang. Pemberangkatan ke Bandung melalui titik kumpul di kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa timur, Kertomenanggal, Surabaya bersama utusan daerah lain se-Jatim. Rombongan yang terbagi menjadi dua bus tersebut didominasi utusan dari Lamongan yang memang memiliki ranting dan cabang aktif terbanyak dibanding daerah lain.
Perjalanan darat yang menghabiskan waktu enam belas jam tersebut dilakoni oleh srikandi-srikandi tangguh. Bagaimana tidak? Ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) Jawa timur, yang akrab disapa mbak Aini ikut serta dalam kondisi hamil besar. Perjalanan yang juga perjuangan yang tidak mudah.
Denah tempat duduk yang sudah disiapkan oleh panitia, menempatkan saya bersanding dengan kader dari Kota Jember, mbak Aminah namanya. Sehari-hari , beliau berprofesi sebagai guru di MI Muhammadiyah I Jember. Kala itu, mbak Aminah bercerita jika sudah tiga hari ini berada di Surabaya untuk mengikuti pelatihan dari Kemenag. Pelatihan dimulai Senin dan berakhir Kamis siang. Pada Kamis malam, berangkat menuju Bandung. Praktis, beliau berpisah dengan dua anak yang masih kecil dan suami kurang lebih seminggu.
Selama perjalanan, kami berdua berbincang ringan tentang pergerakan NA di daerah masing-masing serta polarisasi pengkaderan yang lebih pas dan sesuai dengan karakteristik masyarakat tapi masih mengandung unsur 'kemajuan'. Hasil obrolan tersebut dapat saya tangkap bahwa pola Gerakan NA di area perkotaan (Malang) tentu berbeda dengan Jember yang kental dengan masyarakat desa. Namun yang menakjubkan adalah kegigihan mbak Aminah dan teman-teman yang penuh semangat bergerak di tengah pekerjaan dan tanggung jawab sebagai ibu dan istri. Kisah mbak Aminah membuat pikiran saya terbuka bahwa menjadi perempuan penggerak pantang menolak tugas dan harus  tetap konsisten merawat semangat.
Muktamar Bandung, Muktamar Berkesan
Tiba di lokasi muktamar NA, Hotel Grand Asrilia Bandung, saya mendapat teman sekamar bernama Alia, utusan NA dari Kabupaten Magetan. Ketangguhan dari sosok perempuan bertubuh kecil dan berkulit putih dengan wajah rupawan ini tidak terlihat telah menjadi seorang ibu dari dua balita.
Alia, demikian saya memanggilnya, meski sama-sama utusan Jatim tapi dia memilih berangkat sendiri dengan kereta api. Sebelum berangkat muktamar, perempuan yang juga seorang guru di Madrasah Tsanawiyah ini merawat ayahnya yang tengah sakit dan menemani periksa pasca opname di salah satu RS di Yogyakarta. Alia jauh hari meminta izin ayahnya untuk bisa ikut muktamar dan mengatur waktu berbagi tugas dengan kakaknya yang seorang ASN di Jogja untuk menemani ayahnya yang sakit.
Gaya penuturan kisahnya yang ringan tersebut terselip perjuangan yang tidak mudah dalam merawat dua balita, bekerja sebagai guru, dan menjaga ayah yang sakit. Namun di tengah kewajiban itu, dia masih antusias berangkat sebagai peserta muktamar satu-satunya dari Magetan. Kisah Alia menguatkan saya untuk dilarang mengeluh dalam hidup.
Pada kesempatan ini juga akhirnya saya bisa berjumpa sepupu yang setelah menikah tidak lagi berdiam di bumi Arema melainkan pindah ke Depok, Jawa Barat mengikuti suaminya yang bekerja di ibukota. Awalnya dia adalah member NA Kota Malang yang saat ini memilih aktif di Depok. Perlu diketahui bahwa sepupu saya ini datang ke lokasi sembari membawa keponakan yang baru berusia enam bulan sendirian dengan travel. Bisa dibayangkan kah riwehnya membawa barang bawaan pribadi ditambah perlengkapan bayi? Alhamdulillah semua itu dijalani dengan senyuman dan raut optimis oleh sepupu saya ini.
Hal unik lainnya adalah totalitas dukungan dari masing-masing suami yang tergabung dalam Ikatan Suami Nasyiatul Aisyiyah (ISNA). Karangan bunga terpampang menjadi ikon yang meramaikan dan menggembirakan di acara empat tahunan NA tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H