Alia, demikian saya memanggilnya, meski sama-sama utusan Jatim tapi dia memilih berangkat sendiri dengan kereta api. Sebelum berangkat muktamar, perempuan yang juga seorang guru di Madrasah Tsanawiyah ini merawat ayahnya yang tengah sakit dan menemani periksa pasca opname di salah satu RS di Yogyakarta. Alia jauh hari meminta izin ayahnya untuk bisa ikut muktamar dan mengatur waktu berbagi tugas dengan kakaknya yang seorang ASN di Jogja untuk menemani ayahnya yang sakit.
Gaya penuturan kisahnya yang ringan tersebut terselip perjuangan yang tidak mudah dalam merawat dua balita, bekerja sebagai guru, dan menjaga ayah yang sakit. Namun di tengah kewajiban itu, dia masih antusias berangkat sebagai peserta muktamar satu-satunya dari Magetan. Kisah Alia menguatkan saya untuk dilarang mengeluh dalam hidup.
Pada kesempatan ini juga akhirnya saya bisa berjumpa sepupu yang setelah menikah tidak lagi berdiam di bumi Arema melainkan pindah ke Depok, Jawa Barat mengikuti suaminya yang bekerja di ibukota. Awalnya dia adalah member NA Kota Malang yang saat ini memilih aktif di Depok. Perlu diketahui bahwa sepupu saya ini datang ke lokasi sembari membawa keponakan yang baru berusia enam bulan sendirian dengan travel. Bisa dibayangkan kah riwehnya membawa barang bawaan pribadi ditambah perlengkapan bayi? Alhamdulillah semua itu dijalani dengan senyuman dan raut optimis oleh sepupu saya ini.
Hal unik lainnya adalah totalitas dukungan dari masing-masing suami yang tergabung dalam Ikatan Suami Nasyiatul Aisyiyah (ISNA). Karangan bunga terpampang menjadi ikon yang meramaikan dan menggembirakan di acara empat tahunan NA tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H