Sabtu, 17 Mei 2014 lalu, aku dan teman-teman komunitas blogger Kompasiana berkesempatan mengikuti workshop edukasi tentang sariawan. Acara yang merupakan bagian dari blog competition bertajuk “Kompasiana Visit ke Deltomed Factory dan Wisata Solo” itu dihadiri 100-an Kompasianer pilihan juri. Info lengkap lomba blog ada di sini dan di mari.
Senang sekali mendapati namaku termasuk 100 Kompasianer terpilih untuk menghadiri workshop. Langsung saja aku mengirim email konfirmasi kehadiran. Panita lalu mewanti-wanti agar peserta hadir 30 menit sebelum acara dimulai. Dan ya, aku datang tepat waktu, sekitar pukul 09.25 WIB sudah tiba di FX Mall. Aku bergegas menuju lantai 5, tempat workshop dilangsungkan. Seorang panitia menyambut kedatanganku dengan senyum yang ramah di meja registrasi. Aku pun mengisi daftar kehadiran, kemudian menerima ‘bekal’ makalah dan produk-produk Deltomed (godie bag). Lantas aku masuk ke sebuah ruangan yang cukup luas dengan sebuah panggung berwarna hijau tegak berdiri di tengah ruangan. Sejumlah kursi tersebar menghadap ke panggung. “Ini tempat cozy banget!” gumamku saat melayangkan pandang ke seantero ruangan.
Kala masih celingak-celinguk, berusaha menemukan siapa tahu ada Kompasianer yang kukenal, seorang perwakilan dari Kompasiana menyapaku dengan hangat. “Halo, selamat datang! Mari disantap dahulu coffee break-nya,” ujar wanita yang rambutnya dikepang itu. Setelah mengambil hidangan pengganjal perut secukupnya, aku memilih kursi bagian depan-kiri. Sambil bersantap, kubalik halaman makalah untuk melihat-lihat materinya. Tak lama kemudian, datanglah seorang Kompasianer yang duduk di sebelahku. Devi namanya, dari Pasar Minggu. Kami pun lalu bertukar tanya sambil menunggu acara dimulai.
Acara yang dinanti-nantikan pun dimulai pukul 10.20 WIB oleh host Novega Kezia Adeline atau yang biasa dikenal Veve Adeline. Selain jadi master of ceremony alias MC, beliau juga seorang penyiar radio 987 GenFM. Dengan semangat nan ceria, Mbak Veve membuka acara. Kemudian ia mengumumkan tweet competition bernama “Golden Ticket Hunt!”. Peserta yang ingin mengikutinya harus menge-post tweet seputar acara workshop, dari awal sampai akhir. Kompasianer dengan live tweet terbanyak berhak menggondol free pass alias Golden Ticket Trip to Deltomed Factory in Solo. Yang nggak menang, mesti menulis reportase di blog bila ingin mengisi sembilan slot tersisa. Jadi, total yang bakal tur ke pabrik Deltomed itu sepuluh orang saja. Wuiiih, siapa yang nggak ngiler tiket emas tuh? Kalau aku sih pengen! Makanya setelah MC menjelaskan aturan main “Golden Ticket Hunt!”, para peserta langsung mengeluarkan gadget-nya, termasuk aku. Kami berlomba-lomba nge-tweet sebanyak mungkin. Lantas, siapa pemenangnya? Nanti, di akhir tulisan ini, Anda akan mengetahuinya :p
Mbak Veve lalu mempersilakan bapak Nyoto Wardoyo naik ke panggung. “Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat secara alami, banyak diantara mereka yang memilih pengobatan herbal untuk mengatasi problem kesehatannya. Karena itu, obat herbal sedang tren di Indonesia, bahkan di dunia,” ujar Presiden Direktur PT Deltomed Laboratories, dalam sambutannya.
Kalau dipikir-pikir, emang benar ya, penggunaan obat herbal lagi ngetren-trennya sekarang. Selain hampir nggak ada efek samping, obat herbal juga relatif lebih murah harganya daripada obat kimia. Jadi wajar saja, bila sebagian masyarakat mulai beralih dari obat-obatan kimia ke herbal. Menjamurnya klinik pengobatan alternatif (yang menggunakan tumbuhan sebagai obat) serta kemunculan suplemen dan kosmetika berbahan alami, juga merupakan bukti penerimaan secara luas produk herbal dewasa ini.
“Sembilan puluh lima persen bahan herbal masih impor. Padahal negara kita penghasil biodofikasi nomor dua di dunia. Maka dari itu, bahan baku herbal Indonesia harus digerakkan. Dan, Deltomed konsisten melakukan riset serta pengembangan teknologi,” lanjut Pak Nyoto Wardoyo.
Sebagai negara beriklim tropis, tentu bumi Nusantara kaya akan keanekaragaman hayati, diantaranya tumbuhan obat. Indonesia sendiri menjadi ‘rumah’ bagi sedikitnya 7000 jenis tumbuhan obat, sebagaimana diungkapkan Trihono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, yang dikutip dari tribunmedan.com, “sebagai negara di kawasan tropis, Indonesia menyimpan potensi tanaman obat terbesar kedua dunia setelah Brazil. Indonesia mempunyai tak kurang dari 7000 variasi tanaman obat. Saat ini baru selesai diteliti 20% dari seluruh wilayah di Indonesia. Dari 30 ribu variasi tanaman, baru 25% di antaranya yang sudah diteliti. Diperkirakan, ada 24 ribu variasi tanaman obat di seluruh Indonesia.”
Wow, luar biasa potensinya! Peluang yang amat besar bagi Indonesia untuk menghasilkan beragam jenis produk obat-obatan dan kosmetika herbal. Karena itu seperti kata Pak Nyoto, potensi bahan baku herbal negeri ini mesti digerakkan agar dapat berkembang semaksimal mungkin. Jangan sampai kita kecolongan, tumbuhan obat yang belum diteliti malah ‘digarap’ oleh asing dan dipatenkan oleh mereka. Tapi memang, ada sejumlah tantangan bagi Indonesia dalam membangun industri obat herbal, terutama dari segi teknologi dan sumber daya manusia (SDM) pengobat tradisional.
“Temulawak Indonesia adalah yang terbaik di dunia. China dan Republik Korea mengimpor temulawak untuk industri kesehatan mereka. Namun, di sana untuk pengobat tradisional harus menempuh pendidikan 5 tahun dan bergelar sarjana. Sementara di kita, untuk lembaga pendidikan saja saat ini baru tersedia jenjang Diploma 3 di kota Surabaya dan Solo,” ujar Trihono pada acara APEC Policy Dialogue on The Development of Medicinal Plant and Traditional Medicine, yang dikutip dari tribunmedan.com.
Mengacu potensi dan tantangan tersebut, maka dibutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah dalam membangun industri obat herbal nasional. Sebagai langkah awal, pemerintah –terutama Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan– perlu mengeksplorasi tumbuhan berkhasiat obat dengan pemetaan potensi produksi. Jenis tumbuhan yang hidup di suatu daerah tentu berbeda dengan daerah lain akibat perbedaan suhu udara dan curah hujan, serta keadaan dan relief tanah. Sehingga di alam Indonesia tumbuh subur berbagai tanaman berkhasiat obat sesuai kekhasannya masing-masing, maka pemetaan tersebut amat penting dilakukan.
Selanjutnya, pemerintah –melalui Kementerian Riset dan Teknologi– bersama pihak swasta (produsen/pengusaha) dan akademisi bekerjasama dalam penelitian, pengujian dan inovasi terhadap aneka tumbuhan obat agar sesuai standar kualitas industri. Sementara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan –khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi– mendorong perguruan tinggi agar mau membuka program studi pengobatan tradisional jenjang S1 guna menambah kuantitas dan kualitas SDM pengobat tradisional. Lantas, rakyat (petani) diberdayakan untuk membudidaya tumbuhan obat, baik dalam skala kecil dan menengah maupun skala besar. Agar mampu menjadi industri andalan, Kementerian Perindustrian terus mendorong perluasan dan peningkatan kapasitas produksi industri obat herbal dan Kementerian Perdagangan bantu memasarkannya ke manca negara.
Dengan demikian, perlu sinergitas antara pemerintah, swasta, dan masyarakat (akademisi, petani) dalam pembangunan industri obat herbal. Bila kesinergian itu tercapai, optimis industri obat herbal akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Terbayang betapa besarnya kontribusi tanaman herbal terhadap perekonomian nasional. Mulai dari berkembangnya sektor pertanian dan industri, penyerapan tenaga kerja, maupun perolehan devisa dari ekspor produk.