Don’t ask me why I run. Ask yourself why you don’t... – unknown –
Lari bukan hal yang asing bagiku. Aku mengenalnya semenjak balita. Bukan melebih-lebihkan lho, tapi memang seperti itulah kenyataannya. Aku ingat Mama dulu pernah cerita, aku termasuk anak yang terlambat perkembangannya. Di saat anak-anak lain sudah bisa jalan sebelum atau pas usia satu tahun, aku malah baru belajar melangkahkan kaki ketika umurku satu tahun lebih. Tapi yang nggak Mama sangka, ketika aku telah fasih berjalan kesana-kemari, aku pun makin piawai berlari. Kata Mama, sejak itu bagiku tiada hari tanpa berlari. Di sisi lain baginya, tiada hari tanpa mengejarku, hihihi... baik lari-lari di dalam rumah maupun di luar rumah. Lututku berdarah atau lecet itu hal biasa. Tenang, ada Mama tersayang yang sigap mengobati. (ʃƪ'⌣')♥
Ada pengalaman mendebarkan bagi Mama kala aku balita yang berhubungan dengan lari. Saat itu usiaku 3 atau 4 tahun, aku dan Mama baru pulang setelah bepergian. Usai turun dari angkot, Mama menggandengku sebelum menyeberang jalan. Entah kenapa, kata Mama, aku tiba-tiba melepaskan pegangannya dan... berlari –atau mungkin tepatnya disebut nyelonong– membelah jalanan aspal di hadapan kami. Beberapa detik kemudian, aku dan Mama terpisahkan oleh jarak.
“Andai kau tahu Dek, perasaan Mama waktu itu. Jantung rasanya pindah ke lutut. Dan, lutut pindah ke kepala!” kisah Mama dengan mimik serius. Aku sendiri saat Mama menceritakannya, merinding-merinding gimana gitu. Ngeri sekaligus sukar membayangkannya, bahwa dahulu aku pernah membuat orang yang melahirkanku amat sangat kacau hatinya. Tapi syukurlah, tak terjadi apa-apa pada diriku saat itu. ^_^
Seusia SD, kemampuan lariku semakin pesat. Itu berkat latihan yang cukup rutin, baik di sekolah maupun di lingkungan rumah. Seminggu sekali sekolah mewajibkan murid-muridnya lari mengelilingi daerah sekitar sekolahan sejauh 1 kilometer. Dan, sebulan sekali berlari dengan jarak yang lebih jauh, sekitar 5 km. Kebetulan sekolah kami berlokasi di sebuah kompleks perumahan yang cukup terawat lingkungannya, sehingga kami berlari di lintasan mulus yang berpanorama asri nan memanjakan mata. Sementara di lingkungan rumah, aku ‘latihan lari’-nya dengan main bersama teman-teman sebaya. Main apa aja lah yang ada unsur larinya, seperti sepakbola, petak umpet, berburu layangan putus. Terkadang juga aku ‘latihan lari’ bareng ayam dan anjing. Maksudnya, aku kejar-kejaran –atau mungkin tepatnya dikejar– sama ayam jantan dan anjing galak. Jadi memang, karena andil lingkunganlah aku menjadi pelari sejak kecil.
Semasa SD pula, pertama kalinya aku mengikuti lomba lari. Waktu kelas 5 SD, aku bersama kelima temanku plus empat orang kakak kelas, mewakili sekolah dalam ajang lari 5K. Dari 10 wakil, 4 diantaranya perempuan yakni aku, Rindu, Nur, dan kak Lidya. Guna menghadapi event tersebut, kami berlatih khusus seminggu 3 kali sekitar sebulan lamanya. Hasilnya? Cuma kak Lidya, kakak kelasku, yang berhasil finish masuk 20 besar. Sementara yang lainnya, finish di luar 20 besar. Aku sendiri bersama Rindu dan Nur malah numpang mobil race marshal sejak KM 3, xixixi. Walau sebenarnya aku tak mau menyerah, selain karena belum capek, juga ingin menyelesaikan lomba apapun hasilnya (menang/kalah). Tapi karena waktu itu Rindu tidak dalam kondisi terbaiknya, sehingga ia tampak kepayahan. Atas nama kesetiakawanan, aku pun nurut saja saat Nur mengajakku naik mobil pengawas untuk menemani Rindu.
Setahun kemudian waktu kelas 6 SD, datang kesempatan kedua untuk mewakili sekolah di ajang lari 5K. Seperti biasa, aku dan teman-teman latihan instensif sebulan sebelum hari-H. Sayangnya 2-3 hari jelang lomba –mungkin karena terlalu intens latihannya– kebugaranku terganggu. Mama yang khawatiran, akhirnya melarangku ikut lomba. Karena itu, aku mengundurkan diri dari tim. Masih teringat di benak, gurat kekecewaan di wajah Pak Joko, guru olahraga, ketika aku menyampaikan pengunduran diri tersebut. Tapi yaa mau bagaimana lagi. Sekali Mama bilang tidak, yaa tidak, hahaha. Lucunya, giliran aku tak ikut serta, teman-teman malah banyak yang finish 20 besar, bahkan adik kelasku sampai masuk 10 besar, lho. Menyesal lah, daku... hiks #PukPuk (。◕‿◕。)
Semasa SMP dan SMA, kebiasaan lari nggak hilang begitu saja. Tiap hari Jumat, kami lari pagi mengelilingi kompleks di mana sekolah berada. Saat pelajaran olahraga pun, terkadang ada materi larinya. Misal pas mempelari (sekaligus praktek) lari jarak pendek alias sprint, lari estafet, dan lompat jauh. Baru deh semasa kuliah, kebiasaan lari menguap begitu saja. Kesibukan dengan diktat, dan kegiatan organisasi kampus membuatku ‘melupakan’ jogging. Syukurlah, setahun belakangan aku backstreet lagi sama jogging. Aku ingat, event lari pertamaku setelah sekian tahun absen berlari, adalah fun run 8K. Persiapannya cuma 2 minggu, xixixi. Jadilah selama 2 minggu itu, 2 hari sekali, aku lari pagi di sekitaran rumah. Pas hari-H, rute Gelora Bung Karno (GBK) – Bunderan HI – Bunderan Senayan – GBK berhasil kulahap dalam tempo 2 jam-an. Terhitung lama sih, untuk pemula. Yaa soalnya, aku kan nggak full lari, dicampur sama jalan santai, hehe.
***
Mengapa lari?
Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan terus meningkat. Lihat saja antusiasme warga Jakarta saban Minggu pagi. Tua-muda, laki-laki, perempuan, pada memanfaatkan momen Car Free Day (CFD) dengan berolahraga, salah satunya berlari atau jogging. Sepanjang jalan Sudirman-Thamrin pada hari itu didominasi oleh orang-orang dengan penampilan khas mereka : kaus lengan pendek/panjang, celana training, sepatu lari. Bahkan sebagian ada yang melengkapi diri dengan tas pinggang, hydrobelt/hydropack/fuel belt, armband di lengan, serta earphone di telinga.
Lima tahun lalu tak banyak orang yang ‘melirik’ lari sebagai pilihan olah raga mereka. Baru membayangkan lari saja sudah ‘melelahkan’, apalagi melakukannya. Namun perlahan tapi pasti, olahraga lari mampu menarik hati masyarakat. Salah satunya, melalui komunitas yang peduli terhadap olahraga lari, yakni IndoRunners. Berdiri sejak tahun 2009 oleh Reza Puspo, saat itu anggota IndoRunners masih sedikit. Nah, demi “melarikan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga lari” disusunlah program-program yang mendukung penyebaran ‘virus’ lari, seperti Sunday Morning Run (SMR) pas Car Free Day, lari bareng setiap kamis malam (Thursday Night Run/TNR), mengikuti berbagai lomba lari, hingga berbagi ilmu melalui seminar maupun coaching clinic yang bekerja sama dengan pihak terkait.
Kerja keras Reza Puspo cs kini telah membuahkan hasil. IndoRunners berkembang menjadi komunitas pecinta lari terbesar di Indonesia, dengan lebih dari 19.000 anggota yang tergabung dalam grup FB IndoRunners (aku bersyukur menjadi salah satu anggotanya). Dari yang awalnya 3-4 bulan sekali event lari per tahun, sekarang tumbuh 2-4 lomba lari per bulannya. Artinya, dunia lari Indonesia berkembang pesat dalam lima tahun terakhir. Hal ini seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan gaya hidup sehat. Sehingga kini mudah dijumpai orang-orang yang berolahraga lari di taman, di lingkungan sekitar rumah, maupun area CFD.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah mengapa masyarakat terpikat dengan olahraga lari? Nggak usah jauh-jauh ambil contoh, aku misalnya. Sejak Oktober 2013 lalu mulai doyan jogging. Aku pilih menggeluti lari karena olahraga ini mudah dan murah. Mudah, dalam arti laki-perempuan, tua-muda, pada tahu cara dan bisa lari kan? Murah yakni hanya bermodalkan sepasang sepatu lari, kaos lari, celana training, dan kaos kaki, kita sudah bisa berlari kapan dan di mana saja. Jadi untuk bisa rutin berolahraga, kita tak sampai harus join pusat kebugaran atau gym.
Are you too old —or too young— to be a runner? You should be inspired by this. Harriette Thompson, seorang nenek berkebangsaan Amerika Serikat (AS), mampu berlari marathon di usianya yang ke-91! FYI, lari marathon bukan lari 1-2 km lho, marathon itu jaraknya 42,195 km! Pada event Suja Rock ‘n’ Roll San Diego Marathon, nenek Harriette berhasil menyelesaikan track 42K dalam rentang 7 jam 7 menit 42 detik, memecahkan rekor sebelumnya yang ‘cuma’ 8 jam 53 menit 8 detik. Dan, itu adalah marathon ke-15 kalinya, sejak ia mulai berlari marathon pada usia 76 tahun! Masya Allah. Fantastic! Lain lagi dengan Cameron Plate, remaja AS berumur 13 tahun ini, telah melakukan 25 marathon/ultramarathon dalam usia semuda itu. Pada ajang Pumpkin Holler Hunnerd di kota Oklahoma, dia ‘melahap’ track sepanjang 50K dalam waktu 4 jam 56 menit 56 detik saja! So, no more excuses not to run!
Apalagi berkat kemajuan teknologi, sekarang pelaku lari –khususnya masyarakat perkotaan– bisa eksis dengan meng-upload kegiatan berlarinya di sosial media, seperti hitungan kilometer/waktu/kalori yang terbakar, foto saat/setelah berlari, foto dengan medali maupun finisher tee (kaos khusus penamat), dan sebagainya. Karenanya zaman sekarang, lari tak lagi sebatas kegiatan ‘cari keringat’ semata, melainkan ada unsur aktualisasi diri juga. Ada rasa bangga gitu, bisa menjadi bagian gerakan penyebaran ‘demam’ atau tren lari. Jadi yaa menurutku, sedikit-banyak ketertarikan masyarakat terhadap olahraga lari karena mudah, murah dan lagi tren sebagai gaya hidup masyarakat urban. So nggak berlebihan kan, bila aku berkata, “Aku pelari, maka aku trendi!” <(◦ˆ▽ˆ)
***
Manfaat Lari
Tak terasa setahunan sudah aku mengidap ‘virus’ lari. Masih lekat dalam ingatanku, awal-awal latihan lari tuh cuma sanggup ngacir 10 menit saja. Terus meningkat jadi 20 menit, 30 menit, 40 menit. Sekarang mah kalo ada yang ngajak mlayu-mlayu kece 2 jam-an ayo aja, hahaha. Yang paling terasa sejak aktif lari, daya tahan tubuh meningkat, stamina pun OK. Selain itu, olahraga lari punya beberapa manfaat lain lho, diantaranya :
1) Mengurangi resiko terkena penyakit ‘berat’
Menurut penelitian selama 15 tahun yang melibatkan 55.000 orang berusia 18-100 tahun, di mana seperempat respondennya adalah pelari/pehobi lari yang rata-rata telah berlari selama 6 tahun. Lari selama 50-75 menit/minggu, dengan jarak nggak sampai 6 miles atau 9,6 km/minggu, dan kecepatan kurang dari 9,6 km/jam, dapat mengurangi resiko penyakit jantung dan stroke sebesar 45% (sumber : dari sini). Jadi, kuncinya konsistensi ya, lari nggak cuma untuk 1-2 tahun. Kalau bisa seterusnya berlari, selama hayat dikandung badan. Lari untuk kesempatan hidup yang lebih panjang. Run for live longer.
2) Berlari memberimu waktu untuk berpikir
Kita bisa lho, berlari sambil mikirin masalah. Jangan dikira, lari sambil mikir itu berarti nggak fokus lari. Justru sebaliknya, running spirit mendorong semangat kita dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Terpenting adalah saat kita berpikir untuk menemukan solusi, konsentrasi terhadap langkah kaki dan situasi jalan, tetap terjaga. Tak jarang inspirasi/ide yang tak terpikir sebelumnya, muncul ketika berlari.
3) Meningkatkan produksi endorfin
Kala berlari, tubuh memproduksi endorfin, yakni hormon yang membuat kita riang gembira. Jadi ketika bad day mendera, berlarilah maka kau akan lebih tenang. Lari dapat menurunkan tingkat stress, tapi bukan berarti larinya pas lagi stress saja yaa. Larilah kapan kau mau dan kapan kau butuh. Berlarilah untuk menggapai kegembiraan hati. Run for happy! °(^▽^)/°
4) Meningkatkan mood (mood booster)
Tak dapat dipungkiri, lari bareng teman-teman itu menyenangkan. Capeknya lari bisa nggak kerasa bila dilakukan ramai-ramai. Tahu-tahu, udah jauh aja jarak larinya, hehe. Tapi bukan berarti lari sendirian nggak asik. Bagi sebagian orang, me time-nya itu dengan berlari, lho. Saat jogging sendirian, kita bisa sekalian mengeluarkan isi hati. Perasaan khawatir, sedih, cemas, galau, suntuk, kesal, dan emosi lainnya bisa bablas dengan berlari. Pikiran pun segar kembali. Run for refresh your mind.
5) Memperluas pergaulan (meet and make friends)
Dengan mengikuti berbagai lomba lari maupun kegiatan lari bareng komunitas, kita berkesempatan bertemu dengan sesama pehobi lari dari beragam latar belakang. Dari pertemuan itulah, awal mula perkenalan, sharing ilmu/pengalaman lari, dan hal-hal positif lainnya. Aku pribadi bersyukur, udah punya sejumlah kenalan/teman baru sesama pelari/penggemar lari.
6) Berlari salah satu cara beramal yang kreatif dan inovatif
Di komunitas IndoRunners, ada program LUAS (Lari Untuk Amal Sosial) yang diadakan dalam rangka penggalangan dana untuk beasiswa anak SMA. Kerja sama antara IndoRunners dan sebuah perusahaan manufacturing garmentini menargetkan satu juta kilometer, untuk ditukar dengan 1.000 beasiswa bagi anak-anak SMA yang kurang mampu di Provinsi Jawa Tengah. Nantinya, setiap 1 kilometer akan dihargai Rp 10.000 dari total target 1.000.000 kilometer jarak kumulatif yang dicapai dalam jangka waktu tiga tahun oleh para pelari amal IndoRunners. Kabar terbaru per 21 Oktober 2014, LUAS telah melewati 150.000 km, yang artinya jumlah donasi yang terkumpul dari lari virtual mencapai Rp 1,5 milyar. Alhamdulillah! Nah, tertarik menyebarkan "virus lari" sekaligus beramal untuk peningkatan mutu pendidikan di Indonesia? Bergabunglah dengan komunitas IndoRunners di aplikasi Endomondo, secara otomatis kamu akan terdaftar sebagai pelari amal. Your sweat, their scholarship.
***
Race review
Hingga pertengahan Oktober 2014, aku telah menjadi penggembira di 10 ajang lari. Berikut ini review sebagian race yang pernah kuikuti.
1) JoggingFest MNCTV