Mohon tunggu...
Annisa Ramadhani Sanjaya
Annisa Ramadhani Sanjaya Mohon Tunggu... -

An energetic girl with lots of dreams, and eagerness to pursue her goals and education. Both full time employee and student. "Cogito Ergo Sum" - Descartes

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Emotional Intelligence di Dunia Kerja, Pentingkah?

18 Juni 2016   05:09 Diperbarui: 18 Juni 2016   09:05 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering kita dengar dua istilah ini IQ (Intelligence Quotient) dan EQ (Emotional Quotient).

Intelligence Quotient adalah tingkat/nilai intelegensi atau kemampuan berfikir kognitif (seperti memori dan problem solving) seseorang yang diukur menggunakan rangkaian tes inteligensi terstandarisasi. Istilah IQ, pertama kali dicetuskan oleh seorang psikolog asal Jerman bernama William Stern pada tahun 1912, lewat bukunya dengan menggunakan istilah Intelligenzquotient. Seperti kita sering dengar, semakin pintar seseorang pasti semakin tinggi IQ nya, maka semakin sukses lah dia dalam pekerjaannya.

Namun, dalam satu dekade terakhir, berbagai perusahaan di dunia mulai melirik istilah lain yang terbukti lebih berpengaruh terhadap kinerja/performance karyawan di perusahaan. Emotional Quotient/Emotional Intelligence pertama kali disebutkan oleh Wayne Payne pada tahun 1985 dalam penelitiannya yang berjudul A Study Of Emotion : Developing Emotional Intelligence. Istilah ini menjadi pertimbangan para pemimpin perusahaan di seluruh dunia, setelah Daniel Goleman mempublikasikan buku pertamanya pada tahun 1995, dan menjadi semakin populer setelah artikelnya pada Harvard Business Review berjudul “What Makes Leader” dipublikasikan tahun 1998.

Emotional Intelligence didefinisikan oleh berbagai pakar sebagai kemampuan seseorang untuk menyadari dan mengekspresikan emosi diri sendiri dan orang lain, mampu memotivasi diri sendiri, memahami sinyal yang dikirimkan emosi terhadap hubungan dengan orang lain, serta mampu mengatur emosi diri sendiri dan orang lain.  Lima Komponen dari Emotional Intelligence dalam dunia kerja yaitu :

  • Self-Awareness : Kemampuan untuk menyadari dan memahami arti dari emosi diri sendiri.
  • Self-Management/Regulation : Kemampuan untuk mengatur emosi diri sendiri, sesuatu yang kita lakukan pada batas tertentu. Kecenderungan untuk menunda penghakiman/judgement – untuk berfikir sebelum bertindak
  • Motivasi : Passion/gairah untuk bekerja dengan alasan yang melebihi dari uang atau status.  Kecenderungan untuk mengejar tujuan dengan energi dan keteguhan. Mampu mencapai diatas ekspektasi baik diri sendiri maupun orang lain.
  • Social Awareness : Kemampuan untuk menyadari dan memahami emosi orang lain. Dideskripsikan sebagai empati—memahami dan sensitive terhadap perasaan, pikiran, dan situasi yang dialami oleh orang lain, serta memperlakukan orang lain sesuai dengan reaksi emosional masing-masing.
  • Relationship Management : Pada tingkatan ini, seseorang mampu dan ahli dalam mengatur emosi yang dimiliki orang lain. Hal inilah yang menjadi kunci kesuksesan seorang pemimpin.

EQ merupakan faktor kunci kesuksesan yang 4 kali lebih penting dibandingkan dengan IQ (Goleman,1998).  Goleman menyatakan dari hasil studinya bahwa IQ hanya menentukan sekitar 20 persen dari faktor-faktor yang menentukan kesuksesan seseorang, sehingga 80 persennya ditentukan oleh EI baik  itu sukses dalam pekerjaan, sekolah, maupun hubungan antarpersonal. “Khususnya semakin tinggi jabatan seseorang di organisasi, kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan secara efektif lebih bergantung kepada kualitas EI dibandingkan kualitas teknis” Bill Petty-Cofounder Exatech.

Di dunia kerja saat ini, kita menemukan seringnya terjadi konflik antar pegawai maupun antara atasan dan bawahan di perusahaan, yang umumnya disebabkan oleh adanya missed komunikasi, atau resign-nya seorang pegawai dengan alasan “Atasan tidak mengerti saya” . Hal-hal tersebut merupakan ungkapan dari akumulasi emosi yang diakibatkan oleh tingkat stress yang dialami oleh pegawai. Setiap individu memiliki tingkat stress dan cara menangani stress yang berbeda-beda. Bila tingkat stress pegawai tersebut sudah tinggi, umumnya respon yang akan mereka keluhkan adalah “Saya kehilangan motivasi bekerja”;”Saya merasa stress dan lemah”; “Saya kehilangan kepercayaan diri”.

Keluhan-keluhan ini akan meningkat kepada hal yang lebih lanjut seperti ketidakmampuan pegawai berfikir positif, terus berkata tidak, rendah diri, terlalu sibuk memikirkan masalahnya sendiri, tidak peduli dengan orang lain, dan tidak tanggap terhadap perubahan. Hal ini dapat berakibat menurunnya kinerja pegawai, yang dapat memberikan berbagai dampak negatif bagi keberlangsungan sebuah perusahaan.

Penting bagi seorang karyawan untuk memiliki tingkat Emotional Intelligence yang baik. Dalam hubungannya dengan pengelolaan stress, karyawan sendiri harus mampu menyadari keberadaan stress pada diri masing-masing sebelum stress itu terjadi. Untuk menghindari dampak negatif sebelum hal tersebut terjadi, baik pekerja maupun pemberi kerja harus mampu mengaplikasikan strategi stress management, yaitu: Menghilangkan Stressor (Penyebab Stress), Pergi/Menjauhi Sang Stressor, Mengubah persepsi diri terhadap stress, Melakukan kontrol terhadap akibat dari stress, Mendapatkan Dukungan Sosial/Lingkungan.

Tidak seperti IQ, Emotional Quotient dapat dikembangkan dan dipelajari baik melalui training, Personal Coaching, berbagai bentuk latihan, dan seringnya diberikan umpan balik.  Bagi perusahaan, usaha ini mampu meningkatkan Job Satisfaction dan Job Performance karyawan. Goleman menjelaskan training yang harus dilakukan oleh perusahaan untuk mengembangkan EI haruslah mampu membantu orang-orang keluar dari kebiasaan perilaku (behavioral habits) yang lama dan membentuk yang baru. Pelatihannya membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pelatihan konvensional, serta membutuhkan pendekatan secara individu. Namun efeknya dapat membantu top management untuk memiliki middle management yang mampu meretensi karyawan-karyawan bertalenta pada persaingan global, dan tentunya membawa perusahaan ke level serta profit yang lebih tinggi.

Referensi:

  • Goleman, Daniel. 1998. “What Makes A Leader”. Harvard Business Review 1998 Nov-Dec;76(6):93-102.
  • Grall, Philippe.2009. “How to Develop your Emotional Intelligence”Presentation. Equilibre Inc.
  • Hughes, Jason (PhD).”Bringing Emotion to work: emotional intelligence, employee resistance and the reinvention of character”. UK : Brunel University. http://dspace.brunel.ac.uk/bitstream/2438/3489/1/Bringing%20emotion%20to%20work:%20Emotional%20intelligence,%20resistance,%20and%20the%20reinvention%20of%20character.pdf
  • McShane, and Von Glinow.2010. Organizational Behaviour fifth edition : emerging knowledge and practice for the real world. USA : McGraw-Hill.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun