Mohon tunggu...
Annisa Nurul Koesmarini
Annisa Nurul Koesmarini Mohon Tunggu... Wirausaha - Do Good, Feel Good

Saya Senang Membaca-Menulis-Menonton-Berbisnis Jika membaca diibarat menemukan harta karun. Maka menulis seperti menjaga harta karun itu tetap abadi. Menulislah dan biarkan tulisanmu mengikuti takdirnya - Buya Hamka

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Belajar Filosofi Penderitaan (Suffering) dari Membedah Film India c.o Kancharapalem, Ulasan Profesor Lang, dan Hikmah Ramadhan Saat Pandemi Covid-19

25 Mei 2020   23:33 Diperbarui: 25 Mei 2020   23:40 2878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semenjak WFH (Work From Home) Bulan Maret lalu, sontak ritme kehidupan dan pola berbisnis Saya mulai berubah. Perlu waktu hampir dua bulan untuk setting ulang kembali. Dan akhirnya pertengahan bulan Mei, Saya sedikit mulai selo (senggang) untuk bisa melanjutkan hobi menonton film dan mencoba untuk membedahnya dari sudut pandang Saya.

Ada satu film yang menarik minat Saya untuk menuliskannya di Kompasiana. Judulnya Care of Kancharapalem (sering disingkat c.o Kancharapalem).

Jika dirangkum dalam satu frasa, film ini adalah film dengan latar belakang masyarakat India dengan plot twist bagus yang sama sekali tidak bisa Saya tebak. Sebab salah satu kriteria film bagus buat Saya adalah yang akhir ceritanya tidak bisa Saya tebak.

Hal yang Saya suka dari film ini selain twist-nya, karena Sang Sutradara banyak mengangkat gambaran latar belakang masyarakat India dari berbagai sudut pandang pekerjaan dan peranan yang cukup kaya buat Saya, ada yang menjadi guru, siswa, pelayan di sekolah, penjual miras, wanita panggilan, tukang pukul,  hingga pembuat patung. Di film ini juga tidak ada sama sekali adegan joget India yang kadang suka Saya skip. Hehehe.

Over all, film ini bercerita tentang 4 peristiwa dalam proses menemukan partner hidup atau teman hidup. Meski 3 peristiwa berakhir dengan kegagalan tragis. Namun ada 1 peristiwa yang berhasil, tentu dikisahkan dengan perjuangan luar biasa.

Hal yang menjadi catatan tersendiri buat Saya dan membuat Saya tergerak untuk membedahnya, karena dalam setiap film yang Saya tonton, Saya akan lihat dari berbagai sudut pandang, termasuk sudut pandang Sang Sutradara yang ingin menanamkan nilai tertentu apa di benak para audiens atau penikmat film ini.

Nah, di film ini sangat santer dirasa vibrasi kekecewaan atau putus asa dengan Tuhan yang Saya tangkap. Karena di film ini banyak mengisahkan kisah cinta tak sampai, terutama yang Saya soroti adalah cinta kandas sebab perbedaan kesepahaman dan perbedaan agama. Serta pilihan Raju untuk tidak percaya Tuhan karena ia merasa telah banyak dikecewakan oleh Tuhan (meski ia sudah sungguh-sungguh berdoa dan menggantungkan harapan kepada Tuhan). 

Di sisi ini, penonton harus sangat cerdas dalam memilah dan memilih mana nilai-nilai yang akan dipegang Sebab opini Sang Sutradara, bukanlah suatu kebenaran universal. Bahkan ketika satu dunia berkonspirasi dengan opini yang sama akan hal itu. Itu tetap bukanlah kebenaran universal yang hakiki. Bukan kebenaran absolut atau kebenaran mutlak.

Karena jauh di lubuk hati terdalam setiap manusia, ketika dia sudah berdekatan dengan musibah dan kematian, dia akan paham bahwa ada "kekuatan" besar dari Sang Maha Pencipta, yang berada di luar kekuasaannya. Atau disaat ia menemui ajal dan bertemu dengan Tuhannya. Mungkin ia baru akan mengenal 'kembali' wajah Tuhannya.

Sejenak, Saya jadi teringat indahnya konsep suffering (penderitaan) dari Prof. Jeffrey Lang, profesor matematika atheis (tidak percaya adanya Tuhan), yang kemudian memilih menjadi mualaf. Ulasan dari Prof. Jeffrey Lang sangat elegan buat Saya dalam menjelaskan konsep suffering. 

Jadi, bagi Anda yang merasa hidup ini kok terasa sulit terus ya? Nggak henti-hentinya kesulitan datang silih berganti. Padahal saya sudah selalu patuh kepada perintah Tuhan dan selalu berdoa. Kenapa ya? Kenapa harus Saya yang mengalaminya?  Kenapaaa?

Nah, bagi yang berpikir seperti itu, mungkin penjelasan dari Prof. Jeffrey Lang bisa membantu. Mantan atheis yang kemudian menjadi mualaf ini, pernah menceritakan perjalanannya memeluk Islam. Dalam proses pencerahan itu ia menemukan bahwa Al-Qur'an selalu menekankan 3 point penting untuk mendapat keimanan.

Point pertama, Intellect , kemampuan manusia untuk menggunakan akal pikiran. Kedua, Choice , kemampuan manusia untuk memilih mana yang benar dan yang salah. Ketiga, Suffering , keadaan ketika manusia harus mengalami penderitaan di muka bumi. Ia menjelaskan, yang menarik adalah poin ketiga, yaitu suffering (mengalami penderitaan).

Prof. Lang mengatakan bahwa dalam hal suffering ini Islam berbeda konsep dengan agama-agama lain. Ada agama lain yang menawarkan konsep penyelamatan (salvation), yaitu dengan cara Tuhan turun ke dunia untuk menebus dosa umatnya.

Ada agama yang menawarkan latihan meditasi agar bisa melalui kesulitan tanpa mengalami rasa derita. Ada agama yang mengatakan bahwa suffering adalah hukuman buat manusia.

Namun Islam mengatakan lain, dalam Al-Qur'an justru dikatakan bahwa manusia harus mengalami suffering untuk mendapatkan iman. Silakan renungi ayat-ayat berikut dari sekian banyak ayat yang lain:

"Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah." (QS Al-Balad [90]:4)

"Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang bersamanya berkata, 'Kapankah datang pertolongan Allah?' Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS Al-Baqarah [2]: 214).

Dijelaskan pula bahwa memang tidak ada Surga di dunia ini buat orang beriman, yang ada sebaliknya, jalan yang mendaki lagi sukar. Buat orang-orang yang tidak beriman, jalan mendaki lagi sukar ini cukup menakutkan sehingga mereka menjauhinya. Namun orang-orang beriman justru dengan rela hati menempuhnya.

Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? Salah satunya adalah menolong sesama saudara yang menderita. Itu artinya mengalahkan ego dan keserakahan, untuk kemudian berbagi dengan orang lain. Itu juga diartikan kita harus tengok kanan dan kiri (seperti filosofi salam terakhir disaat sholat) serta melangkah ke tempat-tempat orang membutuhkan pertolongan.

Jadi, berhati-hatilah bila Sahabat Kompasiana saat ini sedang dimanja dengan kemudahan dan fasilitas. Seperti halnya filosofi naik sepeda, ketika jalan menanjak dan terasa berat perjuangan dalam mengayuh, itu sejatinya hidup Anda sedang bergerak menuju ke atas (naik kelas), sedang jika jalan menurun terus, drastis, jangan cepat terlena, karena bisa saja hidup.

Sahabat sedang bergerak ke bawah (mengalami kemunduran). Jangan biarkan keluarga dan anak Anda ikut termanjakan. Sebab bila mereka ikut termanjakan, mereka tidak akan siap mengalami suffering. Padahal manusia (beriman atau tidak) ditakdirkan untuk mengalami momen-momen suffering di dunia ini.

Was dich nicth umbringt, macht dich nur starker. What doesn't kills you, makes you stronger. Sesuatu yang tidak membunuhmu, akan membuatmu lebih kuat -- Nietzsche

Ayah dan Ibu yang bijak akan mengajar anaknya bekerja keras dibanding memanjakan. Melatih membiasakan anak sedikit bersabar dalam menahan keinginan sampai saatnya tiba, padahal mereka lebih dari mampu untuk mengabulkan semua permintaan anak seketika itu juga.

Ketika mengalami sedikit Suffering dalam sabar dan ketabahan itulah, aspek Intellect dan Choice anak akan berkembang. Ke depannya, anak akan mampu menajamkan logika untuk mencari solusi atau jalan keluar. Ia juga akan mampu memilih kebaikan dibanding keburukan walaupun keburukan tampak sangat sangat menggiurkan kelihatannya.

Sama persis ketika puasa di Bulan Ramadhan di tengah pandemi Covid 19 yang telah kita lewati bersama ini, sedikit rasa penderitaan itu menempa kesabaran kita dalam menahan diri menunggu waktu adzan Magrib tiba, menempa kita juga untuk bersabar tahun ini tidak mudik. Sedikit penderitaan merasakan lapar menempa kita untuk berempati kepada mereka yang nasibnya kurang beruntung dibandingkan kita. 

Suffering tersebut mengasah aspek 'intellect' kita, sehingga pada akhirnya menajamkan aspek 'choice' kita untuk pada akhirnya bergerak melakukan aksi. Jadi, sungguh, dalam kadar tertentu, rasa sakit dan penderitaan (suffering) itu diperlukan dan baik bagi kita. Dan ini janji Tuhan, bahwa Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya, diluar batas kemampuan hamba-Nya tersebut. Semua sudah ditakar dan kita pasti mampu melewatinya.

Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruh urusannya itu baik. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan (penderitaan), maka ia bersabar. Itu pun baik baginya -- HR. Muslim no.2999

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun