Mungkin sebagian teman-teman di luar sana ada yang bertanya-tanya atau berpendapat, “apa sih baiknya menggunaan alat pembayaran non-tunai?”, “kenapa pula penggunaan non tunai mesti ditingkatkan?”, “bukannya malah lebih ribet ya, apalagi buat yang gaptek?”, “saya lebih afdhol kalau pegang uang tunai di dompet daripada pegang alat pembayaran non tunai, kalo nggak pegang uang tunai ibarat makan, tapi nggak pakai nasi.”. Hal ini saya kira wajar dan lumrah terjadi, karena setiap perubahan pasti memicu pertanyaan, memicu reaksi, memicu resistensi, pada awalnya. Sebelum akhirnya, berubah menjadi sesuatu yang biasa dan lumrah terjadi. Sama halnya seperti ketika mobil akan bergerak maju ke depan, pasti secara tak sadar badan kita akan terdorong/condong ke belakang sesaat, sebelum akhirnya kembali ke posisi semula.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya akan mulai dari mengulas manfaat dan keunggulan penggunaan alat pembayaran non tunai dibandingkan dengan uang tunai, diantaranya yaitu, [1] non tunai lebih praktis, hemat waktu dan higienis. Coba deh teman-teman bayangin kalau ada yang bayar tol dengan uang tunai, bayarnya pakai uang logam lagi..hahaha, tentu kasihan bikin kerjaan petugas jalan tol menghitung uangnya kan? Belum lagi kalau ada orang iseng yang bayarnya pake uang tunai palsu. Belum lagi kalau pengendara membayar dengan pecahan besar, sehingga pihak Jasa Marga selaku pengelola jalan tol harus menyiapkan uang kembalian yang bisa mencapai Rp 2,2 miliar per harinya. Otomatis jadi nggak praktis dan bikin antrian tol jadi panjang deh. Nah, sekarang coba bayangin hal sebaiknya, andaikan semua pengguna jalan tol punya e-toll card atau kartu elektronik lainnya semisal e-Money, tentunya antrian panjang yang biasanya terjadi ketika mendekati gerbang tol pasti bisa dikurangi. Kini Gerbang Tol Semanggi I juga sudah tidak menerima lagi transaksi tunai dan hanya melayani transaksi elektronik melalui penggunaan e-money seperti info yang saya dapat disini.
Mungkin saja beberapa tahun ke depan, semua jalan tol bayarnya wajib pakai alat bayar non tunai (APMK-Alat Pembayaran Menggunakan Kartu dan kartu elektronik) alias tidak menerima tunai. Atau bahkan nantinya nggak cuma jalan tol aja yang kena charge, tapi jalan-jalan arteri di pusat kota Jakarta yang biasanya langganan macet (seperti Jalan Sudirman, MH. Thamrin, dan lain sebagainya) akan diberlakukan dengan teknologi ERP (Electronic Road Pricing) dan bayarnya wajib pake instrumen non tunai (kartu bernama cashcard di mana cara kerjanya sama seperti kartu pra-bayar) yang terkoneksi dengan alat bernama In-Vehicle Unit (IU), kayak di Singapore itu loh. Who knows?
Manfaat selanjutnya dengan menggunakan alat pembayaran non tunai adalah [2] mampu meningkatkan akses masyarakat ke dalam Sistem Pembayaran. Dengan semakin beragamnya instrumen non tunai yang beredar di masyarakat, tentu akan berdampak semakin luasnya akses masyarakat ke dalam Sistem Pembayaran, sehingga perekonomian akan semakin maju dan masyarakat di dalamnya bisa merasakan pertumbuhan itu. Lalu [3] meningkatkan transparansi dalam bertransaksi. Kita bisa ambil contoh dari keberhasilan Bapak Ahok dalam meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) DKI Jakarta hingga 20 kali lipat per harinya dengan memberlakukan Parkir Meter di Jl. Sabang Jakarta Pusat dan mewajibkan pembayarannya menggunakan e-money, dan keberhasilan Bapak Ignatius Jonan dalam membidani PT.KAI dari awalnya merugi Rp 83,4 miliar pada tahun 2008 hingga akhirnya dua tahun kemudian mampu menaikkan laba bersih PT. KAI hingga lebih dari Rp 200 miliar dengan memberlakukan sistem kartu sebagai alat pembayarannya. Dari dua fakta tak terbantahkan di atas kita bisa melihat bahwa dengan menerapkan pembayaran non tunai, semua riwayat tercatat, kebocoran yang sebelumnya terjadi bisa ditutup lubangnya, kejahatan kriminal bisa dicegah lebih efektif, dan ujung-ujungnya mampu menaikkan pendapatan hingga berkali-kali lipat.
Manfaat non tunai berikutnya adalah [4] meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya pengelolaan rupiah. Tahukah Anda bahwa Bank Indonesia menganggarkan dana sekitar Rp 3 triliun setiap tahunnya untuk biaya mencetak, menyimpan, mendistribusikan, dan memusnahkan uang tunai. Tahun 2014 kemarin, saya mendapatkan info disini, bahwa ada sekitar 5,19 miliar bilyet atau Rp111,7 triliun uang kertas yang dimusnahkan, karena uang tersebut sudah lusuh (yaitu bentuk dan fisiknya tak berubah tapi kondisinya telah berubah karena jamur, minyak, bahan kimia atau coretan) ataupun sudah rusak (yaitu bentuk ukuran dan fisik uang tersebut berubah bisa karena terbakar, berlubang, robek atau mengkerut). Jikalau kita tahu bahwa biaya pengelolaan rupiah dan biaya cash handling terbilang cukup besar, tentunya kita jadi lebih mengerti, mengapa transaksi non tunai perlu ditingkatkan agar diharapkan dapat menekan produksi uang kartal sehingga Bank Sentral dapat lebih hemat dalam operasional. Selain itu [5] pembayaran non tunai juga mampu meningkatkan sirkulasi uang dalam perekonomian (velocity of money). Karena pada hakikatnya, uang itu mirip dengan air. Ia akan lebih bermanfaat ketika berpindah tempat, berputar dan mengalir dari satu tempat ke tempat yang lain. Jikalau air itu stuck atau diam saja di tempat, bisa dipastikan pasti ada yang menghambatnya (entah ranting kayu, entah sampah, atau benda lainnya) dan biasanya relatif lebih kotor/keruh dibandingkan dengan air yang mengalir. Sama halnya dengan uang, ia akan lebih bermanfaat ketika berpindah tempat dari satu orang ke orang yang lain, menjadi suatu sirkulasi dan membentuk suatu siklus yang dinamakan siklus ekonomi yang bisa memberikan kesejahteraan bagi yang terlibat di dalamnya. Semakin cepat perputaran uangnya, semakin banyak pihak yang terlibat dalam siklus ekonomi tersebut, semakin maju perekonomian di negara itu.