Mohon tunggu...
Annisa Nurrahmawati
Annisa Nurrahmawati Mohon Tunggu... Guru - GURU

Seorang yang bekerja di bidang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengejar Senja

26 September 2024   10:26 Diperbarui: 26 September 2024   14:42 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MENGEJAR SENJA

Annisa Nurrahmawati

 

Senja hari ini menawarkan cerita baru. Di saat aku sedang mengabadikan moment kepulangan senja, tatapanku terkunci pada punggung seorang laki-laki yang juga tengah mengantar senja kembali ke peraduannya. Deburan ombak Parangtritis menambah kekhusyukan sore itu. Aku tersenyum, terjebak dalam keheningan pikiranku sendiri. Menikmati lukisan maha sempurna yang tersaji tepat di hadapanku. Seorang siluet laki-laki berlatar semburat warna merah jingga. Tanganku refleks mengambil kamera yang menggantung di leherku, mengabadikan moment indah tersebut dengan kamera niconku, mengarahkan bidikan pada dirinya dan menekan tombol shutter. Aku tersenyum melihat jepretanku. Siluet laki-laki berlatar senja. Aku jatuh cinta.

Aku pulang dengan perasaan bahagia. Hanya karena siluet laki-laki berlatar senja, aku jatuh cinta. Jatuh cinta pada senja juga pada laki-laki tersebut. Sayangnya, aku tidak mampu melihat wajahnya dengan jelas, dia terburu-buru pergi setelah senja benar-benar kembali dalam pelukan bumi. Suasana gelap di pinggir pantai membuat memori otakku tak bisa menyimpan bagaimana rupa laki-laki tersebut. Namun, bagiku keindahan dirinya dan senja telah mewakili rupa menawannya. Dan entah untuk alasan apa, aku membulatkan tekad untuk mencarinya, bermodal sebuah foto siluet dirinya berlatar senja.

xxx

Semenjak itu, aku tak pernah melewatkan hari untuk mengantar kepulangan senja. Aku selalu menyempatkan diri untuk menemui senja. Aku jelajahi setiap sudut kota yang menarik untuk mengantar kepulangan senja dengan membawa harapan dapat bertemu laki-laki itu kembali. Ditemani Kinan, sahabat terbaikku, sahabat yang telah 7 tahun menemani hari-hariku, aku berkeliling mencari senja. Tak lupa, foto siluet laki-laki berlatar senja selalu aku bawa. Jogja adalah tujuan pertamaku dalam pencarian senja, karena memang di kota ini lah aku dan dirinya dipertemukan. Namun, pada kenyataannya pencarianku dan Kinan tidak membuahkan hasil, Selanjutnya, aku dan Kinan berburu senja di berbagai belahan tempat di Indonesia. Sebenarnya, Kinan tak terlalu mencintai senja, hanya karena sahabatnya, yaitu aku, dan Nawang, laki-lakinya yang seorang penikmat senja, dia pun tertarik untuk ikut serta dalam petualanganku. Di sisi lain, Kinan ingin memaknai senja juga menemukan alasan kenapa Nawang begitu mencintai senja.

“Nan, aku jatuh cinta.” Kataku kala itu pada Kinan sebelum kami memutuskan untuk berburu senja. Kinan terkejut menatapku, namun pada detik berikutnya dia tertawa. Aku mengerti benar alasan Kinan tertawa, aku bukanlah orang yang dengan mudahnya mengatakan “aku jatuh cinta” dan sekarang aku mengatakan kalimat picisan tersebut, wajar jika Kinan menertawakanku. Aku tertunduk menunggu Kinan menyudahi tawanya.

“Maaf-maaf. Jatuh cinta itu anugerah, tak usah malu De.” Katanya sembari menghentikan tawa nakalnya. “Ngomong-ngomong siapa laki-laki beruntung yang berhasil merebut hati seorang Jade?” lanjut Kinan.

“Entahlah. Baru sekali aku bertemu dengannya dan sepertinya dia seorang penikmat senja, sama seperti kekasihmu.” Kinan mengerutkan kening dan menunjukkan ekspresi bingung.

“Tak perlu dibahas, cukup temani aku berburu senja. Oke?” Aku tersenyum.

“Kenapa tak kamu ajak Nawang saja? Kamu tahu dia sangat tergila-gila dengan senja. Aku berani bertaruh bahwa dia lebih mencintai senja dibanding aku.” Cerocos Kinan.

“Oke, aku dan Nawang berburu senja dan pada akhirnya kami saling jatuh cinta, begitu?” Sejenak aku menghentikan kalimatku, menatap serius pada Kinan. “Sudahlah, kamu yang temani aku atau aku akan pergi sendiri.” Lanjutku.

“Demi persahabatan dan demi Jade yang sedang jatuh cinta.” Kinan mengangguk.

Di sinilah aku dan Kinan sekarang, di pantai Losari, salah satu pantai terbaik di Makassar. Aku duduk di bibir pantai, melihat salah satu sudut langit yang menampakkan cahaya merah keemasan yang perlahan turun dari ketinggian. Beberapa orang mengatakan pantai ini memiliki keistimewaan untuk menikmati pemandangan matahari terbenam. Benar saja, senja di pantai ini sungguh menakjubkan. Pantainya yang begitu luas menghadirkan kemolekan senja yang begitu mempesona dan tanpa batas. Kulirik perempuan yang duduk di sampingku, dia tersenyum menatap laut lepas. Aku mengikuti arah pandangannya, aku pun tersenyum. Masih dengan harapan yang sama, bertemu sosok yang telah mengobrak-abrik hati dan pikiranku.

xxx

Sampai suatu ketika, Kinan menyerah berburu senja denganku. Dia letih dengan pencarianku yang selalu saja nihil. Kinan memutuskan kembali ke Jogja, melanjutkan rutinitas hidup normalnya. Berkali-kali aku memaksanya untuk tetap tinggal dalam pencarianku, berkali-kali juga Kinan menolak. Kinan selalu mengatakan bahwa aku naif, gila senja, tingkahku tak masuk akal, dan berbagai umpatan lainnya. Aku tidak pernah menyangkal, memang begitulah adanya. Jatuh cinta dengan seseorang yang baru aku temui untuk pertama kalinya dan bahkan tidak tahu rupanya adalah hal yang tidak terlogika. Aku masih ingat pembicaraan terakhirku dengan Kinan di pelataran bukit Sabang, tempat terakhir terbenamnya matahari di Indonesia. Dan, di sana pula aku dan Kinan terakhir mengantar senja bersama-sama.

 “De, sampai kapan kamu mau mencari laki-laki itu?” Tanya Kinan memecah keheningan sore itu.

“Kamu bosan menemaniku?” Aku balik bertanya, menoleh ke arahnya.

“Bukan begitu, tapi mencari orang yang bahkan kamu tidak tahu wajahnya bukanlah hal yang mudah. Sudahlah, berharap pada sesuatu yang tidak pasti itu percuma. Kamu tentu tahu filosofi mengenai senja, senja itu indah, namun senja hanya bersifat sementara. Begitu juga laki-laki senjamu itu.” Kinan bicara panjang lebar sembari serius menatapku. Aku menghela nafas, tatapanku kembali ke langit senja.

“Nan, kamu melupakan satu hal, walaupun sementara bukan berarti senja tak pernah menyapa lagi. Kehadirannya pasti dan dinanti banyak penikmatya. Apa pernah kamu melihat langit sore tanpa senja? Jika kamu berpikiran langit mendung menganggalkan kedatangan senja kamu salah. Senja selalu datang, senantiasa ada bahkan dalam mendung sekali pun, di balik kelamnya awan diam-diam senja hadir dan hanya para penikmat sejatinya yang mampu merasakan kehadirannya.”

“Dan apakah kamu tahu kenapa senja harus berganti malam, De? Karena hidup ini proses, tak selamanya kamu mendapatkan yang indah, terkadang perlu kegelapan dan kepahitan dalam warna hidupmu. Tapi, kamu juga harus ingat bahwa gelap tak selamanya menakutkan, gelap dapat dimaknai indah jika kamu mampu menghadirkan bintang di sana. Hidup ini tak melulu soal senja, De.” Aku tersentak mendengarnya, tak pernah terpikir Kinan mampu meracik kata sedemikian rupa sehingga berhasil membuatku tertampar oleh kata-katanya.

“Tapi, aku ingin senja Nan.” Kataku lesu.

“Kamu memang tidak berbeda dengan Nawang, keras kepala ketika berbicara tentang senja. Jika kamu ingin melajutkan pencarianmu ini, lakukan saja. Aku menyerah. Aku ingin kembali ke Jogja.”

Mataku berkaca-kaca mengingat percakapanku dengan Kinan. Tak terasa cahaya temaram senja mulai memudar, langit kelam perlahan membawa pergi sinar merah keemasan dan meninggalkan Pantai Kuta dalam kegelapan. Dengan langkah gontai aku kembali ke penginapan. Aku rebahkan badan di atas kasur dan memejamkan mata. Berbagai peristiwa bersama Kinan berkelebat dalam pikiranku. Peristiwa pertama kali aku mengenal Kinan dan pertama kalinya Kinan mengenalkan Nawang padaku. Semuanya terasa bagai film yang sedang diputar di kepalaku. Tak terasa perlahan mataku terasa berat dan aku terlelap di alam mimpi.

Pukul 22.11 WITA aku terbangun. Masih setengah sadar aku mengarahkan pandanganku pada tiap sudut kamar, seperti orang linglung. Setelahnya, baru aku benar-benar terjaga dan menyadari bahwa aku masih di penginapan, di Kuta, Bali. Tanganku menggapai meja di samping tempat tidur, mengambil handphone. Ada satu email masuk.

Dari: kinantiprameswari@gmail.com

Kepada: jadesekarputri@gmail.com

Subjek: Pernikahan.

Jade, aku rasa kamu harus beristirahat sejenak dalam pencarianmu, karena aku dan Nawang akan segera menikah. Kamu wajib pulang ke Jogja secepatnya. Nanti setelah pernikahanku dan Nawang selesai, kamu bisa melanjutkan pencarianmu kembali. Aku berjanji akan menemanimu asal Nawang ikut dalam pencarian kita J hahaha

Kinan dan Nawang menanti kehadiran seorang Jade. Lekas pulang. Jogja merindukanmu.

Aku tersenyum membaca email dari Kinan, Kinan dan Nawang merupakan pasangan serasi. Nawang adalah laki-laki dewasa yang mampu membimbing Kinan. Dan, Kinan adalah perempuan yang membuat hidup Nawang lebih berwarna dengan tingkah lucunya. Setelah lebih dari 3 tahun menjalin kasih, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Aku bahagia Kinan telah menemukan penyeimbang hidupnya. Di sisi lain, aku bersedih tak ada lagi sahabat yang bisa aku ajak pergi kemana pun aku ingin, karena nantinya Kinan akan memiliki kehidupan bersama Nawang. Namun, aku selalu berdoa yang terbaik untuk mereka berdua.

Tanpa sadar air mataku menetes memandangi email dari Kinan, aku membiarkan air mataku terus berjatuhan dan tidak berniat sedikit pun menghapusnya. Setelah puas dengan tangis sunyiku, aku tersenyum sekali lagi dan mulai melarikan jari-jariku pada keyboard laptop.

Dari: jadesekarputri@gmail.com

Kepada: kinantiprameswari@gmail.com

Subjek: Selamat!

Kinaaaaaan kamu harus bertanggung jawab telah membuatku menangis haha. Aku pastikan aku akan tiba di Jogja besok pagi. Aku juga sudah mulai letih dengan pencarianku ini, tapi sepertinya aku terlanjur jatuh cinta dengan senja. Selama perjalanan, muncul keinginan untuk mengkhatamkan senja di Indonesia. Bukan lagi tentang laki-laki senja itu, tapi murni tentang senja. Senja lukisan sang Kuasa.

Aku juga rindu Jogja. Salam untuk Nawang.

Aku beranjak dari tempat tidurku, mengemasi barang-barang kemudian memasukkannya dalam koper. Tak lupa aku memesan tiket pesawat online untuk kepulanganku ke Jogja besok pagi. Setelah segala urusan packing selesai, aku kembaali rebahan di kasur, memandangi foto siluet laki-laki berlatar senja.

“Kamu di mana? Aku sudah mengunjungi senja di berbagai tempat tapi tetap tak kutemukan sosokmu. Baik-baik sajakah? Sebenarnya, aku hanya ingin mengabarkan bahwa aku akan menghentikan pencarianku. Terima kasih sudah mengenalkanku dengan senja. Doaku, semoga kamu dalam keadaan baik.“

xxx

Jogja, 15 Desember 2015

Pernikahan Kinanti Prameswari dan Nawang Rhysaka digelar di halaman Queen of The South Beach Resort. Sebuah hotel yang berada di bukit Parangtritis. Hotel yang menawarkan pesona senja yang mengagumkan berlatar Pantai Parangtritis. Ya, tidak heran jika Nawang memilih tempat ini untuk merayakan pesta pernikahannya. Senja. Itulah alasannya.

Senyum mengembang pada pasangan pengantin Kinan dan Nawang, menerima uluran tangan tanda kebahagiaan dari setiap tamu yang datang. Aku duduk menyaksikan pasangan tersebut dari kejauhan. Sesekali mengedarkan pandangan. Mengamati lalu lalang orang yang  larut dalam keceriaan. Tawa bahagia terlihat pada setiap tamu yang hadir. Beberapa di antara mereka, ada yang tengah asik berfoto, menikmati sajian yang dihidangkan, ada juga yang hanya duduk berbincang dengan rekannya. Di tengah keasikanku menikmati pemandangaan tersebut, seorang MC mulai berbicara.

“Ya, waktu yang ditunggu telah tiba. Sebentar lagi matahari akan terbenam, sesuai permintaan pengantin, mereka akan mengucap janji suci di bawah naungan senja. Untuk itu kepada hadirin, dimohon untuk berdiri menyaksikan ucap janji dari pasangan yang berbahagia hari ini yaitu Nawang dan Kinan.”

Aku pun berdiri. Benar saja, matahari perlahan mulai turun ke peraduannya. Rona jingga nampak indah melukis langit. Siluet Nawang dan Kinan begitu indah di bawah lembayung senja. Keduanya saling menautkan jemari mereka. Sungguh pemandangan yang sempurna. Sepasang kekasih dan senja. Adakah yang lebih indah dari itu semua? Aku tersenyum.

Deg.

Seketika aku terpaku pada sosok yang tengah tersenyum bahagia. Sosok yang selama ini aku cari pada tiap kepulangan senja. Sosok yang berhasil membuatku mengucap kata “aku jatuh cinta”. Sosok yang meninggalkan gelisah pada hati yang lupa akan jalan pulang. Dan, sosok itu berdiri di sana. Siluet laki-laki senjaku hadir kembali.

“Nawang, kaukah itu?”

SELESAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun