Kau tahu, Aminah?
Beberapa tahun yang lalu, setiap ku menangis dan ia berteriak menyuruhku diam, mengatakan bahwa tangisku begitu murah karena itu hanyalah senjata agar aku dikasihani. Di tengah sesak dada yang tersengal, aku protes padanya, "Kau pikir perasaan itu ada tombol on-off-nya? Kau pikir semudah itu menghentikan tangis?"
Sekarang aku bisa menyeringai tajam. Sempat kutemukan tombol rasa ini. Kau nyatanya bisa mengelabui otakmu sendiri, Aminah. Bagai menggigit gigimu sendiri, kau tipu dirimu, dan voila! Siapa yang butuh kemuliaan jika penipuan bisa begitu bermanfaat untuk mengendalikan perasaan sedihmu yang tidak berguna itu.
Rasa itu bisa dengan mudah kumatikan kemudian. Berkali-kali. Dia sekarang sudah jarang muncul ke permukaan.
Aku kadang (mari kulembutkan kalimat ini dengan kata 'kadang') merasa bagaikan setan. Kebas dan punya luapan energi yang banyak seperti amarah. Tapi bahkan marah itu ... aku lupa bagaimana rasanya ...
Seringaiku begitu sering muncul belakangan ini, Aminah. Mungkin akan lebih manis dengan taring yang sedikit lebih panjang, wajah yang pucat dan rambut yang awut-awutan, ha.. ha.. bahkan geli lucu dari lawakanku sendiri pun, terasa ... tidak terasa apa-apa.
Kau benar, temanku ...
Lagi-lagi aku menghilangkan tombol bangsat itu. Hanya saja kini kondisinya terlanjur 'Off'. Lampunya sudah tidak menyala. Dia sementara ini sedang mati, semoga saja hanya mati suri.
Oh iya, bagaimana kabarmu, pengantin baru?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H